Maman S Mahayana
Depok sesungguhnya mempunyai sejarah panjang tentang riwayat perjalanan
Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia. Keberagaman masyarakat Depok boleh dikatakan sebagai miniatur penduduk
Bagi para pendatang yang kemudian menjadi penduduk Depok, Depok bukan sekadar wilayah administrasi tempat mereka diakui –sesuai Kartu Tanda Penduduknya—sebagai warga Depok, bukan juga sebagai “tempat mereka menumpang “tidur”, melainkan sebagai tanah pengabdian dalam kehidupan bermasyarakat dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Dengan demikian, meskipun lapangan pekerjaan mereka kebanyakan berada di
Itulah yang terjadi dan dilakukan sejumlah intelektual, budayawan, seniman, dan sastrawan Depok. Mereka bertempat tinggal di Depok dan coba berkiprah dan memberi makna bagi tanah pengabdiannya itu. Lalu, siapa sajakah mereka itu? Niscaya kita akan menjumpai deretan panjang nama-nama. Tentu juga pengantar ini tidak berpretensi untuk menderetkan nama-nama itu. Tetapi setidak-tidaknya, pengantar ini hendak menegaskan, bahwa sesungguhnya warga Depok banyak yang punya reputasi internasional. Di kalangan sastrawan, misalnya, sebutlah nama cerpenis Hamsad Rangkuti, dramawan, penyair, dan budayawan, Rendra, lalu penyair, kritikus, intelektual, Sapardi Djoko Damono. Tiga nama ini adalah warga Depok. Belum lagi di bidang lain, niscaya kita akan menjumpai daftar panjang nama-nama yang kiprahnya sudah mendunia dan dikenal masyarakat internasional.
***
Sebagai langkah awal memperkenalkan beberapa di antara warga Depok yang reputasinya mencapai tingkat nasional, bahkan tingkat antarbangsa –internasional—buku ini coba menghimpun sejumlah puisi karya para penyair yang tinggal di Depok. Tentu saja, buku ini belum merepresentasikan keseluruhan penyair –warga Depok—yang punya reputasi internasional. Meskipun begitu, perkenalan ini diharapkan dapat memberi penyadaran serba-sedikit, betapa sesungguhnya para penyair ini termasuk sastrawan
Mari kita periksa!
***
Buku antologi puisi ini disusun berdasarkan urutan alfabetis. Oleh karena itu puisi-puisi A. Badri AQ T menempati urutan awal. Badri adalah penyair generasi 1990-an yang kiprahnya di bidang kesenian semula lebih banyak dalam bidang teater dan penulisan naskah drama. Secara keseluruhan, puisi-puisi Badri cenderung reflektif, artinya ekspresi kreatifnya lebih banyak mengungkapkan kegelisahan batinnya tentang segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya. Maka, yang muncul kemudian bukanlah sebongkah reaksi yang wujud dalam bentuk kritik sosial atau kontemplasi yang bermuara pada hubungan manusia—Tuhan, melainkan serangkaian romantisismenya tentang suasana malam dengan bulan sebagai pemicu perasaan syahdu dan kecewa, sekaligus juga harapan yang tidak pernah jadi kenyataan. Badri laksana sengaja hendak membangun suasana murung dan pesimisme.
Tetapi, romantisisme Badri tidaklah sama dengan semangat romantik para penyair Eropa zaman Romantik (1800—1850) yang menawarkan semangat kembali ke alam (back to nature), spiritualisme, individualisme, dan melankolisme sebagai reaksi atas rasionalisme, industrialisasi, eksploitasi kekayaan alam, dan peminggiran nilai-nilai kemanusiaan. Juga berbeda dengan romantisisme sastrawan Angkatan 80 Belanda (De Tachtiger Beweging) yang menempatkan suara hati sebagai suara Tuhan: Tuhan mendekam dalam hatiku yang terdalam; dan penyair meneriakkan suara hatinya seolah-olah Sang Tuhan hendak memberi pencerahan kepada umat manusia. Romantisisme Badri juga tak sama dengan ekspresi para penyair Pujangga Baru yang menolak pantun, kisah-kisah istana sentris, ungkapan mendayu berbungan-bunga, dan menempatkan masa lalu sebagai telah mati semati-matinya.
Kemurungan Badri adalah pesimismenya atas masa depan, meski dengan sisa-sisa keyakinannya, ia tetap mencoba menjalani usahanya meraih masa depan. Jadi, ada ambivalensi psikologis atau paradoks atas sikapnya yang mendua dan bipolar. Dikatakannya: bulan terseok-seok/oleng kembali ke senja/matahari mengunyahnya/menjadi warna tembaga;/ dan rambu-rambu/bukan lagi peta buntu/bagi sekerat hati melaku// ingat! Selalu kulambai bulan …//
Mengapa perjalanan malam tak memberinya harapan, sementara siang pun menjerumuskannya pada kekelaman. Apakah jalan terang yang dikatakannya bukan lagi peta buntu itu sekadar hendak menegaskan luka hati atau kesia-siannya. Spiritualitas Badri yang reflektif itu memang kemudian cenderung menjadi sesuatu yang sangat individual. Dengan demikian, Badri seperti tidak dapat menghindar dari pandangannya tentang kehidupan yang kerap paradoksal.
Lihat saja puisi-puisinya yang lain, seperti “Sembunyi” yang mengungkapkan hasrat melepaskan diri dari kesepian dan keterasingan, tetapi tokh si aku liris seperti terjerat oleh kecemasannya sendiri. Periksa juga puisinya yang berjudul “Sajak Pamungkas”. Harapan untuk sampai pada sesuatu, ternyata tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya dulu. Kini segalanya telah berubah; kenyataan tidak lagi sesuai harapan. Bukankah paradoks antara harapan dan kenyataan sering kali menciptakan pesismisme, bahkan kecemasan? Badri coba menerjemahkan paradoks itu dalam sejumlah puisinya, meski ia bercerita tentang pengalamannya sendiri yang sangat individual.
***
Adri Darmadji Woko adalah penyair Indonesia yang kiprahnya dimulai sejak tahun 1970-an. Puisi-puisinya berbicara tentang kehidupan persekitaran, tentang kegamangannya memandang alam yang berubah, yang menyimpan misteri, yang membawanya pada makna tentang hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan. Adri tak coba menyentuh wilayah tema-tema besar. Cukuplah ia berbicara tentang kefanaan (“Kehilangan Daun Gugur”), suasana alam persekitaran yang inspiring (“Mimpi Haiku”) atau makna di balik para pelayat jenazah (“Fragmen”).
Cermatilah metafora yang dibangunnya. Adri, sesungguhnya berbicara tentang kehidupan manusia. Ada semangat universalitas untuk menempatkan persoalan remeh-temeh itu sebagai masalah kemanusiaan. Kesederhanaan daya ungkapnya menyimpan makna tentang kefanaan universal. Periksa saja puisinya yang berjudul “Tiang Listrik”. Tiang listrik dengan kekuatan sekiat watt/mungkin ada piyama atau laying-layang mainan bocah/ menyangkut di sana// (Tiang listrik mengingatkan pada Simon yang suka meniru/malaikat memuji serta memuliakan nama-Nya/bergelantungan di angkasa biru/ ya persis di kawat listrik/ agar Tuhan lihat dan dengar doanya mantap//
Bukankah setiap saat di mana pun kita kerap berjumpa dengan tiang listrik yang di atasnya berjuntai kabel-kabel. Di sana ada bekas benang layangan atau kerangka layang-layang bergelayutan menciptakan pemandangan khas. Bukankah pemandangan itu merupakan hal yang sangat biasa, tidak istimewa. Tetapi, Adri justru menyulap hal yang biasa itu menjadi luar biasa ketika pemandangan itu dikemasnya dalam larik-larik puisi.
Di belakang itu, ada elan nostalgia tentang masa kecil dan dunia kanak-kanak. Bukankah kerinduan pada dunia kanak-kanak merupakan representasi dari hidup manusia yang selalu tidak ingin gagal membenamkan masa lalunya yang indah. Bukankah manusia pada dasarnya menyukai segala apa pun yang bernama permainan, karena di sana solah-olah mendekam kebahagiaan. Bukankah muara segala perbuatan dan tindakan manusia, tidak lain adalah kebahagian. Masa kanak-kanak dan permainan adalah latar belakang sejarah umat manusia dan kebahagiaan adalah latar depan manusia melangkahkan kakinya dalam menapaki kehidupan.
Puisi-puisi Adri mengingatkan saya pada ekspresi bersahaja Li Tai Po (701—762) atau gaya penyair Tionghoa lainnya yang hidup pada zaman dinasti Tang (618—907), atau para penyair klasik Jepang sebagaimana yang dapat kita cermati pada larik-larik Manyoshu atau pada karya-karya Matsuo Basho. Adri bagai terperangkap pada filsafat Timur, khasnya yang menyangkut persoalan mikrokosmos—makrokosmos. Maka, tempatnya berdiri adalah tempatnya memandang persoalan. Dari sanalah tema puisinya dihadirkan. Dengan demikian, komunikasi yang dibangun penyair antara teks—pembaca seperti sekadar say hello yang justru dengan begitu, alih-alih memberi penyadaran bagi pembacanya tentang persoalan keseharian yang sering kali luput sebagai alat permenungan.
Terlepas dari kemungkinan adanya keterpengaruhan itu, puisi-puisi Adri memang bersahaja, meski tetap menyimpan pesonanya dengan usahanya yang coba memancarkan citraan sebagai salah satu kekuatan puisinya, sebagaimana juga yang banyak diperlihatkan penyair seangkatannya, terutama Abdul Hadi WM. Dalam puisi-puisi Adri, kita merasakan adanya tarik-menarik antara masa kini sebagai sumber ilham dan masa lalu sebagai kenangan nostalgia yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
***
Asrizal Nur adalah penyair tahun 1980-an yang pada dasawarsa berikutnya, terutama menjelang keruntuhan Rezim Soeharto, ikut terlibat dalam ingar-bingar gerakan perlawanan. Puisi-puisinya yang terhimpun dalam antologi ini terkesan reaktif sebagai bentuk evaluasi atas persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya. Meski begitu, reaksi yang wujud dalam larik-larik puisinya, bukanlah pamflet propaganda. Juga bukan ekspresi perlawanan yang artifisial. Di sana, ada permenungan yang kemudian ditariknya pada spiritualitas; ada tanggapan evaluatif yang coba ditawarkannya; ada elan vitalitas dalam menyikapi berbagai persoalan yang terus mendera dan bergentayangan di hadapannya.
Lihatlah puisinya yang bertajuk “Membangun Taman Teduh”. Kecemasan si aku liris seperti sebuah senandung keprihatinan. Secara metaforis, dikatakannya, bahwa ketika pembangunan fisik menjadi berhala, jurang konsumerisme akan menelan spirit manusia dan kemanusiaan, idealisme akan dilahap fisikalisme yang dikatakannya: generasi hilang di rimba iklan/petani keteduhan tak punya taman//
Bagaimana jika sebuah negeri dibangun atas semangat kementerengan fisik dan kemegahan menjadi berhala, sementara nilai-nilai spiritualitas diabaikan? Model pembangunan yang seperti itulah yang akan menciptakan manusia sebagai robot, solidaritas sosial dan keguyuban berubah menjadi hubungan dengan pamrih, perhitungan untung rugi, bahkan humanisme pun didasari semangat materialisme. Jika sudah demikian, seperti dikatakan Asrizal, apalah artinya kota terang/bila hati kelam//
Begitulah, pembangunan negeri yang semata-mata berorientasi pada segala sesuatu yang kasat mata dengan tata nilai yang diukur oleh benda-benda, maka negeri itu sesungguhnya sedang menggali lubang kubur bagi masyarakatnya. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Tidak ada lagi hati nurani di sana, karena jiwa manusia telah membatu yang diungkapkan Asrizal dalam puisinya yang berjudul “Negeri Batu”. Di negeri batu:/orang orang batu/telah bunuh diri/hingga akhirnya tak punya negeri//
Asrizal Nur agaknya tak dapat menutup mata atas serangkaian peristiwa yang meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. Modernisme dan industrialisasi yang cenderung abai pada spiritualitas dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi tema sentral untuk menyelusupkan pesan-pesan moralnya. Dan Asrizal mengingatkan agar pembangunan apa pun hendaknya dilandasi semangat memanusiakan manusia.
Dalam sejarah peradaban manusia, pesan moral sebagaimana yang disampaikan Asrizal Nur sesungguhnya telah menjadi catatan panjang sejarah kesusastraan dunia. Romantisisme adalah salah satu gerakan yang dilandasi semangat memberi penyadaran tentang pentingnya persahabatan manusia dengan manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan. Puisi-puisi sejumlah penyair Amerika awal abad ke-19, seperti Walt Whitman atau Robert Frost, mengingatkan pemberhalaan industrialisasi akan berakibat pada pudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, manusia akan diperlakukan sebatas sebagai angka-angka atau benda-benda. Kehancuran pada kemanusiaan tinggal menunggu waktu saja.
Asrizal Nur juga semangatnya coba mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap apa pun yang bernama pembangunan. Maka, membangun sebuah negeri, mestinya didasari oleh semangat membangun manusianya, dan bukan sekadar gedung-gedung bertingkat dan pusat-pusat perbelanjaan. Model puisi itu mengingatkan saya pada puisi berjudul “Negeri Kami” karya Langston Hughes, penyair negro Amerika, yang sezaman dengan Robert Frost. Dikatakan Hughes, Kami harus punya negeri penuh pepohonan/… dan bukan negeri ini, di mana burung kelabu// Akh, kami harus punya negeri gembira/Penuh kasih dan girang, anggur dan lagu/dan bukan ini negeri di mana bahagia tak pantas//
Itulah suara penyair. Di mana pun sama. Ketika sebuah negeri dibangun dengan semangat kebendaan, ketika segala benda diberhalakan, ketika itulah penyair akan berteriak menyampaikan suara hati, kegelisahan, dan sikap kepenyairan dalam usahanya mengangkat martabat manusia. Tanpa itu, manusia akan jatuh pada kubangan kenistaan dan segalanya kelak akan diukur oleh angka dan benda-benda.
Apa yang disampaikan Asrizal Nur tentang negeri batu, tentu saja berkaitan dengan kepeduliannya pada lingkungan sosial. Kegelisahan penyair tidak lain lantaran kecemasannya memandang segala sesuatu atas nama pembangunan, cenderung menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan itulah yang terjadi di negeri ini. Setidak-tidaknya, itulah pesan spiritualitas Asrizal dalam memainkan peran kepenyairannya.
***
Diah Hadaning adalah salah seorang penyair wanita yang kemunculannya dimulai pada dasawarsa tahun 1970-an dan makin matang dasawarsa berikutnya. Ia termasuk penyair wanita yang penting dalam konstelasi kepenyairan Indonesia. Puisi-puisinya cenderung simbolik, meski juga ia tidak meninggalkan kekuatan metaforanya. Dengan cara demikian, penyair leluasa mengumbar kritiknya tentang penguasa dan kekuasaan. Tetapi, pilihan style yang simbolik dan metaforis itu menempatkan kritik sosial yang disampaikannya berbeda dengan gaya Rendra, Taufiq Ismail, atau Hamid Jabbar. Diah Hadaning tidak bermain dalam tataran ekspresif. Kritik sosialnya cenderung impresif. Boleh jadi karena itu pula, kritik sosial yang sebenarnya pedas dan tajam itu, menjelma sebuah perenungan tentang hakikat kekuasaan, hakikat hidup, hakikat manusia sebagai khalifah di bumi.
Cermatilah puisinya yang berjudul “Narasi Kursi Tua (I—V)”. Kelima puisi itu sesungguhnya berbicara tentang penguasa dan kekuasaan. Hadaning secara tajam menyorot sejumlah penyelewengan, penyimpangan, sampai pada usahanya memberi penyadaran bahwa hakikat kekuasaan –dalam kehidupan ini—tidak lain adalah kesementaraan. Meski yang dimaksud kesementaraan itu tidak dalam pengertian carte diem –raihlah selagi ada kesempatan—Hadaning justru menempatkan kesementaraan sebagai lapangan untuk berbuat kebajikan, mengusung kebenaran, dan bukan sebaliknya.
Dalam konteks itu, Diah Hadaning sesungguhnya telah menyodorkan sebuah trisula: satu mata tombak, ia melakukan kritik sebagai bentuk penentangan dan permusuhannya pada segala penyelewengan kekuasaan, sebagai sikap kepenyairannya dalam melawan kebrengsekan; satu mata tombak yang lain, ia mengajak pembaca melakukan permenungan, introspeksi, dan mengembalikan kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan yang tidak dapat menafikan kesementaraan; dan satu mata tombak lainnya lagi, ia tetap menjaga estetika puitik sebagai sarana menumpahkan kreativitasnya. Dengan demikian, puisi itu tetap terjaga keindahannya, puitikanya, estetikanya, dan tidak terjerumus sebagai pamflet, propaganda, atau dakwah yang artifisial. Dengan cara itu pula, kritik yang disampaikan Diah Hadaning menjadi lebih tajam sampai ke inti persoalannya.
Gaya pengucapan yang seperti itu agaknya telah menjadi trade mark kepenyairan Diah Hadaning. Maka, simbolisme dan metafora yang dibangunnya dalam puisi “Dongeng Negeri Semut Hitam (I—II)” tetap menyodorkan trisulanya. Dalam sejumlah puisi Diah Hadaning itu, saya melihat adanya kelembutan dan sekaligus keakasan, ada kegemulaian dan sekaligus ketajaman; ada kritik tajam dan keras, sekaligus nasihat yang dalam, meskipun tidak membawa kita pada pemikiran filosofis. Jadi ada dua sisi yang komplementer, saling melengkapi, tetapi tidak saling melawan—menentang. Kontradiksi itu seperti pasangan yang kehadirannya mengada begitu saja.
***
Dianing Widya Yudhistira adalah penyair wanita generasi selepas reformasi. Puisi-puisinya dalam antologi ini masih memperlihatkan kesan menempatkan objek sebagai bagian dari dirinya sendiri. Seperti juga kebanyak penyair generasi seangkatannya, permainan bahasa kerap digunakan untuk menyelimuti makna. Maka, ketika tindakan bertentangan dengan ucapan atau sebaliknya, penggambarannya membawa kita (: pembaca) pada ketaksaan (ambiguitas). Cermatilah puisinya yang berjudul “Tersesat di Tubuh”. Apakah tubuh di sana bermakna fisikal, psikis atau simbolik—metaforis.
Arloji meleleh di tanganku/tatkala lidah memberi kesaksian/kau terperangkap dalam rakaat panjang/dalam zikir, dalam tafakur yang hampa// Begitulah Yudhistira coba menggambarkan suasana permenungan yang mendalam si aku liris di hadapan Tuhannya. Pada saat yang demikian, memang waktu menjadi sesuatu yang tak penting atau ia terbebas dari dimensi ruang dan waktu –arloji meleleh di tanganku. Tetapi siapakah persona orang kedua –kau—yang hanyut saat coba berkomunikasi dengan tuhannya. Apakah itu sebuah monolog aku liris –aku—engkau—atau Tuhan atau siapa? Mengapa pula rakaat panjang dan zikir harus diakhiri dengan tafakur hampa? Jadi, di sana ada semacam kontradiksi, apa yang sesungguhnya sedang dilakukan si aku liris?
Begitulah ketika penyair berjuang menyelimuti makna begitu tersembunyi, sementara ia tak berbaik hati menyertakan sinyal-sinyal yang dapat digunakan untuk menerjemahkan teks dengan makna referensialnya, kita sering berhadapan dengan medan tafsir yang mahaluas. Periksa lagi puisinya yang berjudul “Riwayat Air Mata”:
Mengapa kau kirim aku
sebidang tanah kering yang ditinggalkan petani
sedang serpihan-serpihan retina mata kirimu
tetap agung di antara riuh klakson juga asap knalpot
Boleh jadi yang dimaksud sebidang tanah kering sebagai lapangan pekerjaan dan si aku lirik berhadapan dengan kepungan kehidupan metropolis yang serba-sibuk. Tetapi bagaimana dengan simblisme retina mata kiri? Inilah yang saya maksud, pentingnya sinyal untuk mencantelkan teks dengan referensi atau dengan makna metaforisnya. Boleh jadi persoalannya lebih menyangkut pada personalitas ungkapan yang digunakan Yudhistira. Maka di situlah permainan bahasa tidak sekadar menghadirkan metafora atau majas lainnya sebagai sarana puitik, tetapi juga memberi isyarat tertentu bagi pembaca untuk mencantelkan teks dengan konteksnya atau teks dengan makna referensialnya. Bagaimanapun, puisi bukanlah hutan belantara yang dapat membuat pembacanya kehilangan arah mata angin menuju pemaknaan, tetapi sebuah dunia yang membuka terjalinnya komunikasi antara teks dan pembaca.
***
Endang Supriadi adalah salah seorang penyair penting Indonesia. Kepenyairan Endang Supriadi ditandai dengan kemunculannya pada akhir dasawarsa 1980-an dan kemudian menunjukkan kemapanannya pada dasawarsa 1990-an. Puisi-puisinya cenderung reflektif dengan metafora alam menjadi bagian penting dalam menyampaikan ekspresi kreatifnya. Meski penyair ini mengangkat tema-tema yang beragam, ia konsisten pada style yang coba ditawarkannya. Di samping itu, Supriadi tampak begitu memperhatikan bunyi persajakan. Maka, di sana-sini kita menjumpai adanya enjambemen –pemenggalan kalimat—untuk memperoleh efek keindahan bunyi persajakan akhir. Dengan cara demikian, ada kesadaran puitik yang coba dikembangkan Supriadi pada puisi-puisinya. Perhatikan beberapa contoh enjambemen berikut ini:
aku terbaring di antara tebing-tebing
waktu. mencabuti duri dalam diri
dan mengunyahnya agar jadi embun atau
kembang gula yang kutemukan pada masa
kecilku dulu
Jika dibaca, bait puisi ini akan menjadi seperti berikut ini:
aku terbaring di antara tebing-tebing/waktu.
mencabuti duri dalam diri
dan mengunyahnya agar jadi embun atau/kembang gula
yang kutemukan pada masa/kecilku dulu
Secara tematik, Supriadi menarik objek persoalannya menjadi milik sendiri, individualisasi yang sesungguhnya juga merupakan pengalaman orang per orang. Jadi, segala pengalaman yang kemudian menjadi tema puisinya, seperti pisau bermata dua: sebagai pengalaman pribadi, dan sekaligus sebagai pengalaman manusia secara universal. Tarik-menarik antara kekhasan pengalaman individual dan universalitas itu, secara konsisten terus dipertahankan, sehingga ia menjadi style. Supriadi seperti telah menemukan pilihan yang tepat dalam membangun estetika puisinya.
Periksalah puisinya yang berjudul “Aku Terbaring”. Bukankah pada saat-saat seperti itu, kita –manusia—selain dihinggapi suasana ketidakberdayaan, jiwa sering dibawa berkelana oleh pikirannya sendiri: tentang pengalaman masa kecil sampai ke kecemasannya menatap kematian. Dalam hal ini, pengalaman spiritual penyair tidak (: belum) menciptakan kerinduan untuk jumpa dengan Tuhan, melainkan kecemasan ketika kesadaran membawa kenangan pada masa lalunya yang hitam. Ada kecemasan, ada rasa berdosa, tetapi tokh, pada saat seperti itu, ia harus pasrah menerima keadaan. Seperti puisi pendek Sapardi Djoko Damono: Tuan, Tuhan bukan?/tunggu sebentar/saya sedang keluar//
Jika Sapardi Djoko Damono seperti hendak melakukan kompromi dengan Tuhannya, maka Supriadi sekadar berkisah tentang pengalamannya ketika ia sakit dan digayuti suasana kematian. Bukankah pengalaman itu bersifat universal; gambaran tentang manusia yang berada dalam keadaan tak berdaya, kerap diganggu oleh kecemasan menghadapi kematian.
Bagi Endang Supriadi apa pun dapat diolah menjadi tema puisi. Tetapi tentu saja peristiwa yang diangkatnya merupakan peristiwa yang menggetarkan, menakjubkan, bahkan juga menakutkan. Sebuah pengalaman spiritual manusia ketika menghadapi misteri kehidupan, mysterium tremendum et fascinans: rahasia yang menakjubkan—menakutkan—mempesona dan menariknya pada kesadaran transendental, kesadaran teologis!
Begitulah, Endang Supriadi menempatkan segala pengalaman yang menggetarkan itu sebagai bagian dari pengalaman individual. Tetapi di sana, ada makna universal tentang pikiran, perasaan atau kegelisahan manusia ketika berhadapan dengan misteri kehidupan. Dengan demikian, secara keseluruhan, puisi-puisi Endang Supriadi sesungguhnya berbicara tentang dirinya sendiri, tentang pengalaman yang sangat individual, tetapi di balik itu, penyair seperti hendak memberi penyadaran, bahwa sangat mungkin pengalaman itu juga akan menerjang siapa pun. Dalam hal ini, penyair seperti hendak mewartakan peristiwa kemanusiaan. Dengan cara itu, puisi dapat digunakan sebagai sumber inspirasi atau sekadar alat untuk berbagi pengalaman.
***
Jimmy S Johansyah sebuah nama yang kepenyairan mulai diperhitungkan belakangan ini, meski ia telah berkiprah pada awal 2000-an. Seperti kebanyakan penyair seangkatannya, Johansyah terkesan bermain dalam tataran gagasan yang melompat ke sana ke mari. Oleh karena itu, teks puisi tidak berdiri sendiri sebagai makna yang terpencil dan mengurung diri, melainkan punya cantelan referensial ke berbagai peristiwa lain yang berada di luar teks. Dengan demikian, puisi menjadi sebuah wacana tentang berbagai peristiwa.
Dalam beberapa kasus, puisi yang dikembangkan Johansyah memang menghadapkan pembaca dengan aneka macam referensi, bukan sebagai sesuatu yang hendak membangun citraan, melainkan gagasan tentang serangkaian peristiwa. Meskipun demikian, sinyal-sinyal tertentu yang diselusupkan penyairnya, memberi kesempatan kepada kita (: pembaca) untuk bebas menerjemahkannya dalam medan tafsir. Periksa saja puisinya yang berjudul “Notasi dalam Nyanyian Sunyi”. Pesan tematik yang hendak menggambarkan sosok Mangunwijaya (Romo Mangun) menjadikan puisi itu laksana sebuah bayangan tentang tokoh itu hingga menemui kematiannya.
Dalam kasus itu, Johansyah tidak coba mengungkapkan pengalaman fisik atau pengalaman batin atas peristiwa yang dihadapinya, melainkan sebuah peristiwa imajinatif tentang sesuatu. Tentang sesuatu itulah yang kemudian dikemas dalam larik-larik puisi. Hal yang juga terjadi pada puisinya yang berjudul “Mencatat Cinta di Jalan-Jalan”. Hampir setiap lariknya menghadirkan peristiwa. Dan rangkaian peristiwa itu membangun sebuah wacana tentang kecompang-campingan Indonesia. Dengan demikian, puisi menjadi sebuah narasi besar, dan di sana pembaca dibebaskan untuk menjelajahi medan tafsir sesuai dengan segala referensi yang dimilikinya.
Penyair tentu saja bebas membangun style-nya sendiri. Ia telah melakukan pilihan atas daya ungkap dan ekspresi kreatifnya. Tetapi, tentu saja setiap pilihan selalu berhadapan dengan risiko. Johansyah telah memilih style-nya model itu. Maka, tafsir atas puisinya tidaklah sama dengan usaha kita melakukan tafsir atas puisi penyair lain. Dalam hal ini, metafora yang oleh banyak penyair sering digunakan untuk menciptakan keindahan puitik, justru disulap menjadi serangkaian abstraksi. Dengan cara itu, abstraksi mesti diperlakukan sebagai metafora atau simbolisme. Di situlah citraan (image) dan pencitraan (imagery) kadangkala kurang mendapat tempat mengingat posisinya yang tergeser oleh abstraksi.
Meskipun demikian, Johansyah tidak terlena oleh hasrat untuk menyelimuti pesan tematiknya secara begitu tersembunyi. Ia membiarkan saklar imajinasi pembaca tetap menyala melalui sinyal-sinyal yang diselusupkannya. Maka, tema puisi tidak terkunci dalam lemari besi, melainkan tertata dalam setiap larik puisinya yang menciptakan rangkaian peristiwa. Dalam hal ini, suasana peristiwa memang seperti sengaja dilewatkan begitu saja. Di situlah peristiwa yang dihadirkan melalui abstraksi sering tidak menyentuh suasana mengingat hasratnya hendak menciptakan sebuah wacana.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Toto Sudarto Bachtiar termasuk penyair garda depan yang membangun estetika puisinya melalui kekuatan penghadiran suasana.
***
Rieke Diah Pitaloka adalah penyair wanita pascareformasi yang kemunculannya dalam sastra Indonesia cukup menghebohkan lewat antologi puisinya, Renungan Kloset (2003) dan Ups! (2005). Sejumlah puisinya terkesan seperti main-main –yang mengingatkan saya pada puisi mbeling, majalah aktuil, awal tahun 1970-an. Meski kesan main-main itu lebih pada makna, dan bukan bentuk, Pitaloka justru hendak menegaskan bahwa puisi serius dapat mengungkapkan makna yang membuat pembacanya tersenyum. Atau, boleh jadi penyair sengaja membuat semacam parodi, meski tetap dengan kemasan puisi yang baik.
Dalam antologi puisi ini, Pitaloka terkesan membangun puisinya dengan semangat mencoba berbagai kemungkinan ekspresi. Maka, berbagai tipografi coba dihadirkan untuk mengukuhkan usahanya menawarkan sesuatu yang lebih segar dan baru. Cermatilah puisinya yang berjudul “Bulan yang Gelisah”. Dalam puisi itu, kita berjumpa dengan berkelindannya monolog—dialog si aku liris yang seperti tak kuasa menembus tembok besi kekuasaan atau apa pun. Ketidakberdayaan si aku liris hadir sebagai sesuatu yang disadarinya. Jadi, sesungguhnya Pitaloka seperti hendak menggugat banyak hal yang tak beres di negeri ini, tetapi tokh harus diterima begitu saja sebagai keniscayaan. Bukankah di negeri ini setiap saat kita berhadapan dengan ketidakadilan, kebusukan, dan sejumlah kebrengsekan lainnya, tetapi kita tak punya kekuatan apa pun untuk mendobraknya. Sebuah ironi yang mewartakan kegelisahan penyair dalam menghadapi kekuasaan yang serba absurd, untouchable, berada di luar jangkauan manusia.
Puisinya yang lain, seperti “Eksodus” dan “Londo Ireng” memperlihatkan kepedulian penyairnya atas nasib rakyat kecil, wong cilik, seperti juga yang diungkapkan dalam “Mencari-Mu”. Jika dalam “Eksodus” penyair memanfaatkan pola repetisi, maka dalam “Londo Ireng” simbolisme menjadi bagian penting dalam estetika puisinya. Simbolisme tidak hanya menegaskan makna pesan yang hendak disampaikannya, tetapi juga memperlihatkan kekuatan penyair dalam menghadirkan metafora.
***
Sosok penyair wanita yang mewakili generasi terkini dapat kita sematkan pada diri Rita Zahara. Meski Zahara seperti masih percaya pada kekuatan keindahan bahasa dengan berbagai abstraksinya, sebagaimana tampak dalam puisinya “Caravansary”, dalam puisinya “Galau” dan “Dialog Langit” ia coba memanfaatkan citraan alam memasuki wilayah makna. Perhatikan puisinya yang berjudul “Dialog Langit” berikut ini:
Biru laut …
Kepak elang
Gugusan pulau membentang jarak …
Sebutir cahaya meloncat
Arungi takdir
Tentu saja puisi ini seperti ungkapan penyairnya atas keterpukauan dan keterpesonaannya ketika ia memandang laut, dan laut menyedot pikirannya untuk menuliskan pengalaman itu dalam larik-larik puisi. Ia bagai lintasan gagasan yang tiba-tiba hadir dan menggelisahkannya. Sesungguhnya, perenungan yang intens merupakan hal yang penting dalam menerjemahkan pengalaman. Puisi adalah representasi pengalaman yang mengungkapkan makna yang mendekam di sebaliknya. Puisi ini boleh jadi sekadar ekspresi keterpukauan. Oleh karena itu, biru laut, kepak elang, atau gugusan pulau masih menampakkan dirinya dalam makna denotatifnya. Di masa depan, Rita Zahara agaknya perlu memperhitungkan berbagai kemungkinan mencantelkan teks dengan konteks atau dengan berbagai hal yang berada di luar itu atau yang mendekam di dalamnya. Di situlah tugas penyair mewartakan sesuatu dan menggiringnya dalam medan makna dan lautan tafsir.
***
Sihar Ramses Simatupang agaknya punya style yang lain lagi. Tema yang diangkatnya cukup beragam, dan itu tampak mempengaruhi gaya pengucapannya. Lihat saja puisinya yang berjudul “Di Pengadilan Munir (1)” dan bandingkan dengan puisinya yang berjudul “Sepantun Biografi” atau “Sepantun Rindu”. Potret tentang karut-marut dunia pengadilan kita (“Di Pengadilan Munir (1)”) yang diangkat penyair, terkesan berbeda dengan daya ungkapnya ketika penyair berbicara tentang pengalaman batinnya. Di situlah, kadang kala penyair terjebak oleh hasratnya menutupi pesan secara tersembunyi.
Bandingkan lagi puisi “Di Pengadilan Munir (1) dengan puisinya yang lain, seperti “Requiem: Sepantun Airmata” atau “Kini Kau Jadi Wacana Bisu”. Aku liris barangkali dapat kita identifikasikan sebagai si pencerita, mungkin mewakili suara penyair mungkin mewakili persona tertentu. Tetapi ketika kita coba membawa engkau liris ke lapangan tafsir, ia bisa menjadi persona siapa saja. Apakah ia sang kekasih atau objek yang menjadi sumber masalahnya. Di sini pula, ketika penyair tidak memberi sinyal-sinyal referensial, ketika itulah kita (: pembaca) seperti dibiarkan menjelajahi medan makna meskipun kemudian menjelma menjadi sebuah hutan makna.
Perhatikan larik berikut: lihatlah, hutan rimba kata yang terbakar di ujung bibirku/tetap kualamatkan juga sebaik cinta ke pintu rumahmu// Apakah yang dimaksud hutan rimba kata itu simpang-siur informasi dan sejumlah berita yang berceceran di media massa ataukah gossip tentang hubungan aku—engkau. Lalu klausa: yang terbakar di ujung bibirku dimaksudkan sebagai gambaran, bahwa segala berita dan gosip itu menjelma kemarahan atau hangus begitu saja (terbakar?). Meskipun demikian, si aku liris tetap menyampaikan segala berita atau gosip itu dengan semangat membangun harmoni (cinta).
***
Pengantar ini niscaya masih memerlukan pendalaman lebih jauh. Justru di situlah fungsi pengantar sekadar pengenalan apresiatif atas sejumlah puisi yang terhimpun dalam antologi ini. Tugas pembaca adalah meneroka lebih mendalam, sejauh mana puisi-puisi dalam antologi ini memancarkan kekuatannya. Bagaimanapun, membaca puisi tidaklah sama dengan membaca berita di suratkabar. Kedalaman atau kedangkalan pemahaman seseorang atas sebuah puisi sangat bergantung pada tingkat dan kualitas apresiasinya. Oleh karena itu, pengantar ini seyogianya diperlakukan sebagai pintu masuk yang –boleh disetujui boleh juga tidak—dapat digunakan untuk menukuk lebih jauh pada kedalaman maknanya. Selepas itu, segalanya terserah pembaca.
Sebagai buku puisi pertama yang menghimpun sejumlah penyair Depok, kiranya bolehlah antologi puisi ini ditempatkan sebagai pioneer. Semoga demikian!
Bojonggede, 23 Januari 2008