Maman S Mahayana
Menafsir puisi, tentu saja tidak sama dengan memasukkan huruf-huruf untuk mengisi kotak-kotak kosong dalam teka-teki silang. Jika jawaban pada kotak menurun atau mendatar itu salah, maka jawaban itu akan mengganggu huruf lain yang menempati salah satu kotak pada lajur menurun atau mendatar. Menafsir puisi, juga tidak semudah menyusun kembali gambar-gambar puzzle. Jika salah satu bagian gambar itu salah letak, maka keseluruhan gambar itu akan memunculkan bagian yang nyeleneh atau nyengsol, berantakan.
Dalam tafsir puisi, tidak ada yang seratus persen tepat benar. Di
Bahasa puisi sejatinya memang ajaib. Di
***
Membaca antologi puisi Tuhan, Aku Sendirian … karya Azwina Aziz Miraza, sungguh, saya seperti dihadapkan pada deretan kata—kalimat yang membangun larik-larik ajaib. Keajaiban itu bukan lantaran puisi-puisi dalam antologi ini sebagian besar menggunakan pola tipografi rata tengah (center). Juga bukan lantaran ada permainan enjambemen. Lalu, apa yang membuatnya ajaib?
Puisi-puisi Azwina Aziz Miraza –seperti juga kebanyakan puisi karya penyair lain—menawarkan beragam tema. Tetapi, tema apa pun yang diangkatnya, kita merasakan ada sesuatu yang sengaja dihadirkan, sekaligus juga disembunyikan. Di
Periksalah, misalnya, puisi yang berjudul: “Aku Bukan Gradasi!” Kesan yang muncul serempak dalam puisi itu adalah hasrat membuncah untuk menunjukkan kejatidiriannya. Jelas, di
Aku seperti langit yang memeluk bumi
bagai laut yang membusungkan janji
walau cuma sendiri!
Tampak di sana, problem eksistensial itu terjadi lantaran tidak (atau belum) adanya pengakuan subjek lain atas eksistensinya, keberadaannya, peranannya. Faktor itulah yang mendorongnya merasa perlu untuk menunjukkan jati diri: Inilah aku! Jadi, jika si aku liris merasa punya peran penting dalam kehidupan ini, mengapa ia tak percaya diri dan merasa perlu untuk berteriak lantang: inilah aku!
Tambahan lagi, manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Oleh karena itu, individuasi seseorang, justru dalam hubungannya dengan orang lain, dengan masyarakat. Di situlah keajaiban puisi itu seperti hendak menunjukkan kediriannya justru dalam kaitan dengan subjek lain, orang lain, pihak lain. Eksplisit si aku liris seperti langit yang memeluk bumi/bagai laut yang membusungkan janji/walau cuma sendiri// implisit ia bagai langit yang memerlukan bumi; laut yang memerlukan janji; sendiri yang memerlukan orang lain. Inilah yang saya maksud dua kutub yang berlawanan, tetapi tetap mengalir berkelindan. Itulah keajaiban puisi.
Cermati pula puisinya yang berjudul “Bagimu Sekadar Kata Kujaga”. Puisi ini pun sesungguhnya juga memperlihatkan problem eksistensial yang ambivalensi itu. Meski demikian, kali ini si aku lirik berhadapan dengan Tuhan yang merasa diperlukan, tetapi tokh mengapa pula ia berjalan sendiri tanpa Tuhan. Dengan begitu, dua kutub itu tidak berlawanan, bukan kontradiksi. Bagaimana kita dapat merumuskan sesuatu yang diperlukan, tetapi kemudian tidak diperlukan lantaran ia merasa dapat mengatasi sendiri persoalannya?
Hal lain yang juga terasa segar dalam puisi-puisi Azwina Aziz Miraza adalah semangatnya dalam melakukan eksploitasi bahasa. Usaha penciptaan metafora dan paradoks yang coba menghindar bentuk klise itu jadi terasa tidak sekadar asal enak dibaca melalui permainan kesamaan bunyi akhir, tetapi ia justru memberi bobot pada tema-tema yang diusungnya. Di situ pula keajaiban yang lain muncul lagi. Saya berhadapan dengan begitu banyak tema yang berhubungan dengan problem eksistensial ketika Tuhan berada entah di mana, tetapi terasa begitu dekat.
Rangkaian tema spiritualitas perhubungan manusia dengan Tuhan dalam puisi-puisi Miraza agak berbeda dengan tema sejenis yang pernah diangkat penyair lain. Sebutlah kompleks kerinduan manusia dengan Tuhan yang dapat kita telusuri pada puisi-puisi Abdul Hadi WM, Amir Hamzah, Hamzah Fansuri sampai terus ke belakang memasuki puisi-puisi para penyair sufi. Kerinduan si aku liris adalah hasrat penyatuan dengan Tuhan, manungguling kawula Gusti, harapan berjumpa dengan Tuhan di dunia keabadian, keikhlasan menerima apa pun, atau ketakjuban pada misteri Tuhan. Artinya, Tuhan ditempatkan nun jauh di sana atau diyakini begitu dekat, tetapi penuh misteri dan berada di singgasananya yang dibatasi sebuah garis tipis yang juga misterius. Tuhan menjadi sebuah misteri yang menakjubkan, sekaligus mempesona. Misteri itulah yang menghadirkan gairah rindu—bersatu dengan Tuhan meski Ia tetap sebagai misteri yang selalu gagal ketika hendak dirumuskan. Ia hanya dapat dirasakan.
Nikmat-Mu segala puji
pagi yang kuhampar
siang yang menampar
untai tasbih yang kutebar
wangi malam bagai batu yang kulontar
Puji bagi-Mu, Rindu, sunyiku bergetar
(“Badai Bumi Badai Langit”)
Puisi-puisi Miraza yang lain, justru seperti tak menggambarkan itu. Ada kerinduan pada Tuhan. Ada hasrat bercengkerama dan coba menyapa-Nya melalui kegelisahan si aku liris pada fenomena sosial. Tetapi tak ada semangat untuk berjumpa –di dunia entah. Si Aku liris seperti hendak memperlakukan Tuhan sebagai sahabat, teman bermain—bercengkerama, dan misteri yang kerap tidak dapat dipahaminya, lantaran ternyata Tuhan juga tidak dapat memecahkan problem sosial. Di sinilah uniknya.
Tentu saja spiritualitas yang terasa aneh dan nyeleneh ini, bukan tanpa risiko. Implikasinya jatuh pada suasana dan tone –gema—puisi yang dibangunnya. Saya merasakan, tone dalam puisi-puisi Miraza tidak hadir sebagai nada, melainkan sebagai gema batin dari sosok manusia yang gelisah oleh berbagai-bagai persoalan yang dijumpainya, yang bertebaran di hadapannya, dan yang tidak dapat dipecahkannya sendiri. Dengan atau tanpa Tuhan atau sesiapa pun, si aku liris tetap harus melangkah. Hutan Cahaya, bertabur warna tembaga kuning kemilau/anak-anak awan berlarian mengurung Tanya/dan aku berdiri, melangkah tanpa kau// (“Di Tubuh Batinku Tumbuh Matahari”).
Di bagian puisinya yang lain, ia memunculkan serangkaian derap mendesak yang bagai hendak berkejaran dengan Tuhan:
Ia tak kunjung datang — karena hidup sudah lewat
terhempas kodrat
padahal masih kutumpuk segala ingin
oleh hatiku dingin
Mereka telah pergi, jauh sekali tinggal sisa perih
pelik batin, cuma benih tumbuh sedih
Kuberlari mengejar pusaran Cahaya
memancar ke segala arah tapi ia tak di sana
di atas sajadah kulihat ia di sebelah
Karena hidup sudah lewat bicaralah di antara sekat
aku pun sama ketika ma’rifat
di sini aku ada dan melihat
Periksa pula puisi yang berjudul “Tuhan, Aku Sendirian!” yang kemudian dijadikan judul buku ini. Menurut hemat saya, puisi ini dapat dianggap merepresentasikan keseluruhan tema dalam antologi ini. Persahabatan dengan Tuhan dalam hubungannya dengan kehidupan sosial. Jadi, di satu sisi, ada semangat spiritualitas yang mewartakan kedekatan si aku liris dengan Tuhan, dan pada sisi yang lain, ketika ia berhadapan dengan problem sosial, ia harus bertindak sendiri, tanpa Tuhan, sebab Tuhan juga dalam kenyataannya, tidak dapat menyelesaikan urusan sosial. Ia seperti hendak mengatakan: perkara manusia harus diselesaikan oleh manusia sendiri.
Dalam konteks itu, hubungan vertikal dengan Tuhan dan hubungan horisontal dengan masyarakat, bagi si aku liris, tidak dalam makna doktrin agama tentang konsep habluminanas—habluminaallah, melainkan dalam makna profanitas. Inilah yang membedakan spiritualitas Azwina Aziz Miraza dengan para penyair sufi. Kedekatan dengan Tuhan justru digunakan sebagai spirit untuk memasuki problem sosial, dan bukan sebagai hasrat hendak menyatu dengan Tuhan: manunggaling kawula Gusti. Tuhan tetap diperlakukan sebagai misteri yang menakjubkan. Tetapi tidak untuk melupakan tanggung jawabnya atas kehidupan di sekitar. Jadi, kecintaannya pada Tuhan, bukan sebagai usaha untuk berjumpa dengan Dia, melainkan agar ada spirit menjejakkan kaki dalam kehidupan sosial.
Begitulah, kesadaran spiritualitas tentang pengalaman rohaninya dalam memaknai keberadaan Tuhan, disadari sebagai kesia-siaan jika ia ikut hanyut berdiam diri, bergeming, tanpa bertindak, tanpa berbuat. Oleh karena itu, kesadaran spiritualitas itulah yang justru seperti memaksanya berbuat dalam memaknai eksistensinya sebagai makhluk sosial. Maka, membaca puisi-puisi dalam antologi ini, saya merasakan semangat si aku liris untuk berbuat, bertindak, menunjukkan keberadaannya, eksistensinya, jati dirinya dalam hubungannya dengan kehidupan di sekitar. Maka, sebelum Tuhan turun tangan, berbuatlah selagi ada kesempatan: carpe diem! Dalam hubungan itulah, tone dalam keseluruhan puisi dalam antologi ini, laksana gema batin si aku liris berkejaran dengan Tuhan. Ia berderap, berbuat, bertindak, sebelum Tuhan turun tangan!
Bojonggede, 1 April 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar