Senin, 20 Oktober 2008

ELAN VITAL PARA PENYAIR DEPOK

Maman S Mahayana

Depok sesungguhnya mempunyai sejarah panjang tentang riwayat perjalanan kota itu, termasuk perubahan dan perkembangan kehidupan sosial-budaya masyarakatnya, meski sebagai kota administratif relatif masih baru. Dalam perjalanannya yang panjang itu, Depok masih tetap menyimpan berbagai potensi: kekayaan alam, khasnya sejumlah situ (danau), meskipun beberapa di antaranya telah disulap menjadi perumahan. Potensi budaya menyangkut beberapa bangunan bersejarah peninggalan zaman kolonial Belanda dan berbagai kesenian tradisional yang hingga kini masih dipertahankan masyarakatnya. Komunitas masyarakat Indo (Belanda atau yang lebih dikenal dengan sebutan Belanda Depok) di Belanda, konon juga sampai sekarang masih aktif mengadakan pertemuan tahunan. Tentu saja kita masih dapat menderetkan potensi lainnya yang justru merupakan aset penting bagi pemerintah daerah.

Potensi lain yang tidak kalah pentingnya adalah sumber daya manusia. Keberagaman masyarakat Depok boleh dikatakan sebagai miniatur penduduk Jakarta (: Indonesia). Di sana hadir berbagai suku bangsa dengan segala etnisitasnya. Seperti Jakarta yang diserbu para pendatang, Depok juga mengalami hal yang sama, dan mereka –penduduk pendatang ini—mengklaim diri sebagai warga Depok dan menunjukkan keberadaannya melalui kiprah mereka dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.

Bagi para pendatang yang kemudian menjadi penduduk Depok, Depok bukan sekadar wilayah administrasi tempat mereka diakui –sesuai Kartu Tanda Penduduknya—sebagai warga Depok, bukan juga sebagai “tempat mereka menumpang “tidur”, melainkan sebagai tanah pengabdian dalam kehidupan bermasyarakat dengan lingkungan sosial di sekitarnya. Dengan demikian, meskipun lapangan pekerjaan mereka kebanyakan berada di Jakarta atau berada di luar Depok, Depok tetap ditempatkan sebagai tanah pengabdiannya. Di sinilah keunikan warga Depok. Di satu sisi, mereka tinggal di wilayah Depok, dan resmi sebagai penduduk kota itu, di sisi lain, kiprah mereka melampaui wilayah Depok, bahkan banyak di antaranya yang jauh melewati batas wilayah Indonesia dan berkiprah di mancanegara. Jadi, beberapa di antara mereka itu tidak sedikit yang berkiprah di tingkat dunia.

Itulah yang terjadi dan dilakukan sejumlah intelektual, budayawan, seniman, dan sastrawan Depok. Mereka bertempat tinggal di Depok dan coba berkiprah dan memberi makna bagi tanah pengabdiannya itu. Lalu, siapa sajakah mereka itu? Niscaya kita akan menjumpai deretan panjang nama-nama. Tentu juga pengantar ini tidak berpretensi untuk menderetkan nama-nama itu. Tetapi setidak-tidaknya, pengantar ini hendak menegaskan, bahwa sesungguhnya warga Depok banyak yang punya reputasi internasional. Di kalangan sastrawan, misalnya, sebutlah nama cerpenis Hamsad Rangkuti, dramawan, penyair, dan budayawan, Rendra, lalu penyair, kritikus, intelektual, Sapardi Djoko Damono. Tiga nama ini adalah warga Depok. Belum lagi di bidang lain, niscaya kita akan menjumpai daftar panjang nama-nama yang kiprahnya sudah mendunia dan dikenal masyarakat internasional.
***

Sebagai langkah awal memperkenalkan beberapa di antara warga Depok yang reputasinya mencapai tingkat nasional, bahkan tingkat antarbangsa –internasional—buku ini coba menghimpun sejumlah puisi karya para penyair yang tinggal di Depok. Tentu saja, buku ini belum merepresentasikan keseluruhan penyair –warga Depok—yang punya reputasi internasional. Meskipun begitu, perkenalan ini diharapkan dapat memberi penyadaran serba-sedikit, betapa sesungguhnya para penyair ini termasuk sastrawan Indonesia garda depan. Dengan demikian, mereka tidak pelak lagi, merupakan aset penting bagi Depok dalam usaha mengangkat keharuman nama dan reputasi Depok. Dalam hal ini, Depok bukanlah sekadar wilayah administrasi yang secara geografi menjadi salah satu wilayah penyangga Jakarta, melainkan wilayah yang secara kultural dapat memberi kontribusi penting bagi Jakarta, bahkan juga bagi Indonesia. Lalu, sejauh mana kualitas karya-karya mereka dipandang reputasional, sehingga dikatakan mencapai tingkat internasional?

Mari kita periksa!
***

Buku antologi puisi ini disusun berdasarkan urutan alfabetis. Oleh karena itu puisi-puisi A. Badri AQ T menempati urutan awal. Badri adalah penyair generasi 1990-an yang kiprahnya di bidang kesenian semula lebih banyak dalam bidang teater dan penulisan naskah drama. Secara keseluruhan, puisi-puisi Badri cenderung reflektif, artinya ekspresi kreatifnya lebih banyak mengungkapkan kegelisahan batinnya tentang segala sesuatu yang dilihat dan dialaminya. Maka, yang muncul kemudian bukanlah sebongkah reaksi yang wujud dalam bentuk kritik sosial atau kontemplasi yang bermuara pada hubungan manusia—Tuhan, melainkan serangkaian romantisismenya tentang suasana malam dengan bulan sebagai pemicu perasaan syahdu dan kecewa, sekaligus juga harapan yang tidak pernah jadi kenyataan. Badri laksana sengaja hendak membangun suasana murung dan pesimisme.

Tetapi, romantisisme Badri tidaklah sama dengan semangat romantik para penyair Eropa zaman Romantik (1800—1850) yang menawarkan semangat kembali ke alam (back to nature), spiritualisme, individualisme, dan melankolisme sebagai reaksi atas rasionalisme, industrialisasi, eksploitasi kekayaan alam, dan peminggiran nilai-nilai kemanusiaan. Juga berbeda dengan romantisisme sastrawan Angkatan 80 Belanda (De Tachtiger Beweging) yang menempatkan suara hati sebagai suara Tuhan: Tuhan mendekam dalam hatiku yang terdalam; dan penyair meneriakkan suara hatinya seolah-olah Sang Tuhan hendak memberi pencerahan kepada umat manusia. Romantisisme Badri juga tak sama dengan ekspresi para penyair Pujangga Baru yang menolak pantun, kisah-kisah istana sentris, ungkapan mendayu berbungan-bunga, dan menempatkan masa lalu sebagai telah mati semati-matinya.

Kemurungan Badri adalah pesimismenya atas masa depan, meski dengan sisa-sisa keyakinannya, ia tetap mencoba menjalani usahanya meraih masa depan. Jadi, ada ambivalensi psikologis atau paradoks atas sikapnya yang mendua dan bipolar. Dikatakannya: bulan terseok-seok/oleng kembali ke senja/matahari mengunyahnya/menjadi warna tembaga;/ dan rambu-rambu/bukan lagi peta buntu/bagi sekerat hati melaku// ingat! Selalu kulambai bulan …//

Mengapa perjalanan malam tak memberinya harapan, sementara siang pun menjerumuskannya pada kekelaman. Apakah jalan terang yang dikatakannya bukan lagi peta buntu itu sekadar hendak menegaskan luka hati atau kesia-siannya. Spiritualitas Badri yang reflektif itu memang kemudian cenderung menjadi sesuatu yang sangat individual. Dengan demikian, Badri seperti tidak dapat menghindar dari pandangannya tentang kehidupan yang kerap paradoksal.

Lihat saja puisi-puisinya yang lain, seperti “Sembunyi” yang mengungkapkan hasrat melepaskan diri dari kesepian dan keterasingan, tetapi tokh si aku liris seperti terjerat oleh kecemasannya sendiri. Periksa juga puisinya yang berjudul “Sajak Pamungkas”. Harapan untuk sampai pada sesuatu, ternyata tak sesuai dengan apa yang dibayangkannya dulu. Kini segalanya telah berubah; kenyataan tidak lagi sesuai harapan. Bukankah paradoks antara harapan dan kenyataan sering kali menciptakan pesismisme, bahkan kecemasan? Badri coba menerjemahkan paradoks itu dalam sejumlah puisinya, meski ia bercerita tentang pengalamannya sendiri yang sangat individual.
***

Adri Darmadji Woko adalah penyair Indonesia yang kiprahnya dimulai sejak tahun 1970-an. Puisi-puisinya berbicara tentang kehidupan persekitaran, tentang kegamangannya memandang alam yang berubah, yang menyimpan misteri, yang membawanya pada makna tentang hubungan manusia dengan alam, dengan Tuhan. Adri tak coba menyentuh wilayah tema-tema besar. Cukuplah ia berbicara tentang kefanaan (“Kehilangan Daun Gugur”), suasana alam persekitaran yang inspiring (“Mimpi Haiku”) atau makna di balik para pelayat jenazah (“Fragmen”).

Cermatilah metafora yang dibangunnya. Adri, sesungguhnya berbicara tentang kehidupan manusia. Ada semangat universalitas untuk menempatkan persoalan remeh-temeh itu sebagai masalah kemanusiaan. Kesederhanaan daya ungkapnya menyimpan makna tentang kefanaan universal. Periksa saja puisinya yang berjudul “Tiang Listrik”. Tiang listrik dengan kekuatan sekiat watt/mungkin ada piyama atau laying-layang mainan bocah/ menyangkut di sana// (Tiang listrik mengingatkan pada Simon yang suka meniru/malaikat memuji serta memuliakan nama-Nya/bergelantungan di angkasa biru/ ya persis di kawat listrik/ agar Tuhan lihat dan dengar doanya mantap//

Bukankah setiap saat di mana pun kita kerap berjumpa dengan tiang listrik yang di atasnya berjuntai kabel-kabel. Di sana ada bekas benang layangan atau kerangka layang-layang bergelayutan menciptakan pemandangan khas. Bukankah pemandangan itu merupakan hal yang sangat biasa, tidak istimewa. Tetapi, Adri justru menyulap hal yang biasa itu menjadi luar biasa ketika pemandangan itu dikemasnya dalam larik-larik puisi.

Di belakang itu, ada elan nostalgia tentang masa kecil dan dunia kanak-kanak. Bukankah kerinduan pada dunia kanak-kanak merupakan representasi dari hidup manusia yang selalu tidak ingin gagal membenamkan masa lalunya yang indah. Bukankah manusia pada dasarnya menyukai segala apa pun yang bernama permainan, karena di sana solah-olah mendekam kebahagiaan. Bukankah muara segala perbuatan dan tindakan manusia, tidak lain adalah kebahagian. Masa kanak-kanak dan permainan adalah latar belakang sejarah umat manusia dan kebahagiaan adalah latar depan manusia melangkahkan kakinya dalam menapaki kehidupan.

Puisi-puisi Adri mengingatkan saya pada ekspresi bersahaja Li Tai Po (701—762) atau gaya penyair Tionghoa lainnya yang hidup pada zaman dinasti Tang (618—907), atau para penyair klasik Jepang sebagaimana yang dapat kita cermati pada larik-larik Manyoshu atau pada karya-karya Matsuo Basho. Adri bagai terperangkap pada filsafat Timur, khasnya yang menyangkut persoalan mikrokosmos—makrokosmos. Maka, tempatnya berdiri adalah tempatnya memandang persoalan. Dari sanalah tema puisinya dihadirkan. Dengan demikian, komunikasi yang dibangun penyair antara teks—pembaca seperti sekadar say hello yang justru dengan begitu, alih-alih memberi penyadaran bagi pembacanya tentang persoalan keseharian yang sering kali luput sebagai alat permenungan.

Terlepas dari kemungkinan adanya keterpengaruhan itu, puisi-puisi Adri memang bersahaja, meski tetap menyimpan pesonanya dengan usahanya yang coba memancarkan citraan sebagai salah satu kekuatan puisinya, sebagaimana juga yang banyak diperlihatkan penyair seangkatannya, terutama Abdul Hadi WM. Dalam puisi-puisi Adri, kita merasakan adanya tarik-menarik antara masa kini sebagai sumber ilham dan masa lalu sebagai kenangan nostalgia yang tidak dapat dilupakan begitu saja.
***

Asrizal Nur adalah penyair tahun 1980-an yang pada dasawarsa berikutnya, terutama menjelang keruntuhan Rezim Soeharto, ikut terlibat dalam ingar-bingar gerakan perlawanan. Puisi-puisinya yang terhimpun dalam antologi ini terkesan reaktif sebagai bentuk evaluasi atas persoalan sosial yang terjadi di sekitarnya. Meski begitu, reaksi yang wujud dalam larik-larik puisinya, bukanlah pamflet propaganda. Juga bukan ekspresi perlawanan yang artifisial. Di sana, ada permenungan yang kemudian ditariknya pada spiritualitas; ada tanggapan evaluatif yang coba ditawarkannya; ada elan vitalitas dalam menyikapi berbagai persoalan yang terus mendera dan bergentayangan di hadapannya.

Lihatlah puisinya yang bertajuk “Membangun Taman Teduh”. Kecemasan si aku liris seperti sebuah senandung keprihatinan. Secara metaforis, dikatakannya, bahwa ketika pembangunan fisik menjadi berhala, jurang konsumerisme akan menelan spirit manusia dan kemanusiaan, idealisme akan dilahap fisikalisme yang dikatakannya: generasi hilang di rimba iklan/petani keteduhan tak punya taman//

Bagaimana jika sebuah negeri dibangun atas semangat kementerengan fisik dan kemegahan menjadi berhala, sementara nilai-nilai spiritualitas diabaikan? Model pembangunan yang seperti itulah yang akan menciptakan manusia sebagai robot, solidaritas sosial dan keguyuban berubah menjadi hubungan dengan pamrih, perhitungan untung rugi, bahkan humanisme pun didasari semangat materialisme. Jika sudah demikian, seperti dikatakan Asrizal, apalah artinya kota terang/bila hati kelam//

Begitulah, pembangunan negeri yang semata-mata berorientasi pada segala sesuatu yang kasat mata dengan tata nilai yang diukur oleh benda-benda, maka negeri itu sesungguhnya sedang menggali lubang kubur bagi masyarakatnya. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya. Tidak ada lagi hati nurani di sana, karena jiwa manusia telah membatu yang diungkapkan Asrizal dalam puisinya yang berjudul “Negeri Batu”. Di negeri batu:/orang orang batu/telah bunuh diri/hingga akhirnya tak punya negeri//

Asrizal Nur agaknya tak dapat menutup mata atas serangkaian peristiwa yang meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan. Modernisme dan industrialisasi yang cenderung abai pada spiritualitas dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi tema sentral untuk menyelusupkan pesan-pesan moralnya. Dan Asrizal mengingatkan agar pembangunan apa pun hendaknya dilandasi semangat memanusiakan manusia.

Dalam sejarah peradaban manusia, pesan moral sebagaimana yang disampaikan Asrizal Nur sesungguhnya telah menjadi catatan panjang sejarah kesusastraan dunia. Romantisisme adalah salah satu gerakan yang dilandasi semangat memberi penyadaran tentang pentingnya persahabatan manusia dengan manusia, dengan alam, dan dengan Tuhan. Puisi-puisi sejumlah penyair Amerika awal abad ke-19, seperti Walt Whitman atau Robert Frost, mengingatkan pemberhalaan industrialisasi akan berakibat pada pudarnya nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, manusia akan diperlakukan sebatas sebagai angka-angka atau benda-benda. Kehancuran pada kemanusiaan tinggal menunggu waktu saja.

Asrizal Nur juga semangatnya coba mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap apa pun yang bernama pembangunan. Maka, membangun sebuah negeri, mestinya didasari oleh semangat membangun manusianya, dan bukan sekadar gedung-gedung bertingkat dan pusat-pusat perbelanjaan. Model puisi itu mengingatkan saya pada puisi berjudul “Negeri Kami” karya Langston Hughes, penyair negro Amerika, yang sezaman dengan Robert Frost. Dikatakan Hughes, Kami harus punya negeri penuh pepohonan/… dan bukan negeri ini, di mana burung kelabu// Akh, kami harus punya negeri gembira/Penuh kasih dan girang, anggur dan lagu/dan bukan ini negeri di mana bahagia tak pantas//

Itulah suara penyair. Di mana pun sama. Ketika sebuah negeri dibangun dengan semangat kebendaan, ketika segala benda diberhalakan, ketika itulah penyair akan berteriak menyampaikan suara hati, kegelisahan, dan sikap kepenyairan dalam usahanya mengangkat martabat manusia. Tanpa itu, manusia akan jatuh pada kubangan kenistaan dan segalanya kelak akan diukur oleh angka dan benda-benda.

Apa yang disampaikan Asrizal Nur tentang negeri batu, tentu saja berkaitan dengan kepeduliannya pada lingkungan sosial. Kegelisahan penyair tidak lain lantaran kecemasannya memandang segala sesuatu atas nama pembangunan, cenderung menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Dan itulah yang terjadi di negeri ini. Setidak-tidaknya, itulah pesan spiritualitas Asrizal dalam memainkan peran kepenyairannya.
***

Diah Hadaning adalah salah seorang penyair wanita yang kemunculannya dimulai pada dasawarsa tahun 1970-an dan makin matang dasawarsa berikutnya. Ia termasuk penyair wanita yang penting dalam konstelasi kepenyairan Indonesia. Puisi-puisinya cenderung simbolik, meski juga ia tidak meninggalkan kekuatan metaforanya. Dengan cara demikian, penyair leluasa mengumbar kritiknya tentang penguasa dan kekuasaan. Tetapi, pilihan style yang simbolik dan metaforis itu menempatkan kritik sosial yang disampaikannya berbeda dengan gaya Rendra, Taufiq Ismail, atau Hamid Jabbar. Diah Hadaning tidak bermain dalam tataran ekspresif. Kritik sosialnya cenderung impresif. Boleh jadi karena itu pula, kritik sosial yang sebenarnya pedas dan tajam itu, menjelma sebuah perenungan tentang hakikat kekuasaan, hakikat hidup, hakikat manusia sebagai khalifah di bumi.

Cermatilah puisinya yang berjudul “Narasi Kursi Tua (I—V)”. Kelima puisi itu sesungguhnya berbicara tentang penguasa dan kekuasaan. Hadaning secara tajam menyorot sejumlah penyelewengan, penyimpangan, sampai pada usahanya memberi penyadaran bahwa hakikat kekuasaan –dalam kehidupan ini—tidak lain adalah kesementaraan. Meski yang dimaksud kesementaraan itu tidak dalam pengertian carte diem –raihlah selagi ada kesempatan—Hadaning justru menempatkan kesementaraan sebagai lapangan untuk berbuat kebajikan, mengusung kebenaran, dan bukan sebaliknya.

Dalam konteks itu, Diah Hadaning sesungguhnya telah menyodorkan sebuah trisula: satu mata tombak, ia melakukan kritik sebagai bentuk penentangan dan permusuhannya pada segala penyelewengan kekuasaan, sebagai sikap kepenyairannya dalam melawan kebrengsekan; satu mata tombak yang lain, ia mengajak pembaca melakukan permenungan, introspeksi, dan mengembalikan kesadaran manusia sebagai makhluk Tuhan yang tidak dapat menafikan kesementaraan; dan satu mata tombak lainnya lagi, ia tetap menjaga estetika puitik sebagai sarana menumpahkan kreativitasnya. Dengan demikian, puisi itu tetap terjaga keindahannya, puitikanya, estetikanya, dan tidak terjerumus sebagai pamflet, propaganda, atau dakwah yang artifisial. Dengan cara itu pula, kritik yang disampaikan Diah Hadaning menjadi lebih tajam sampai ke inti persoalannya.

Gaya pengucapan yang seperti itu agaknya telah menjadi trade mark kepenyairan Diah Hadaning. Maka, simbolisme dan metafora yang dibangunnya dalam puisi “Dongeng Negeri Semut Hitam (I—II)” tetap menyodorkan trisulanya. Dalam sejumlah puisi Diah Hadaning itu, saya melihat adanya kelembutan dan sekaligus keakasan, ada kegemulaian dan sekaligus ketajaman; ada kritik tajam dan keras, sekaligus nasihat yang dalam, meskipun tidak membawa kita pada pemikiran filosofis. Jadi ada dua sisi yang komplementer, saling melengkapi, tetapi tidak saling melawan—menentang. Kontradiksi itu seperti pasangan yang kehadirannya mengada begitu saja.
***

Dianing Widya Yudhistira adalah penyair wanita generasi selepas reformasi. Puisi-puisinya dalam antologi ini masih memperlihatkan kesan menempatkan objek sebagai bagian dari dirinya sendiri. Seperti juga kebanyak penyair generasi seangkatannya, permainan bahasa kerap digunakan untuk menyelimuti makna. Maka, ketika tindakan bertentangan dengan ucapan atau sebaliknya, penggambarannya membawa kita (: pembaca) pada ketaksaan (ambiguitas). Cermatilah puisinya yang berjudul “Tersesat di Tubuh”. Apakah tubuh di sana bermakna fisikal, psikis atau simbolik—metaforis.

Arloji meleleh di tanganku/tatkala lidah memberi kesaksian/kau terperangkap dalam rakaat panjang/dalam zikir, dalam tafakur yang hampa// Begitulah Yudhistira coba menggambarkan suasana permenungan yang mendalam si aku liris di hadapan Tuhannya. Pada saat yang demikian, memang waktu menjadi sesuatu yang tak penting atau ia terbebas dari dimensi ruang dan waktu –arloji meleleh di tanganku. Tetapi siapakah persona orang kedua –kau—yang hanyut saat coba berkomunikasi dengan tuhannya. Apakah itu sebuah monolog aku liris –aku—engkau—atau Tuhan atau siapa? Mengapa pula rakaat panjang dan zikir harus diakhiri dengan tafakur hampa? Jadi, di sana ada semacam kontradiksi, apa yang sesungguhnya sedang dilakukan si aku liris?

Begitulah ketika penyair berjuang menyelimuti makna begitu tersembunyi, sementara ia tak berbaik hati menyertakan sinyal-sinyal yang dapat digunakan untuk menerjemahkan teks dengan makna referensialnya, kita sering berhadapan dengan medan tafsir yang mahaluas. Periksa lagi puisinya yang berjudul “Riwayat Air Mata”:

Mengapa kau kirim aku
sebidang tanah kering yang ditinggalkan petani
sedang serpihan-serpihan retina mata kirimu
tetap agung di antara riuh klakson juga asap knalpot

Boleh jadi yang dimaksud sebidang tanah kering sebagai lapangan pekerjaan dan si aku lirik berhadapan dengan kepungan kehidupan metropolis yang serba-sibuk. Tetapi bagaimana dengan simblisme retina mata kiri? Inilah yang saya maksud, pentingnya sinyal untuk mencantelkan teks dengan referensi atau dengan makna metaforisnya. Boleh jadi persoalannya lebih menyangkut pada personalitas ungkapan yang digunakan Yudhistira. Maka di situlah permainan bahasa tidak sekadar menghadirkan metafora atau majas lainnya sebagai sarana puitik, tetapi juga memberi isyarat tertentu bagi pembaca untuk mencantelkan teks dengan konteksnya atau teks dengan makna referensialnya. Bagaimanapun, puisi bukanlah hutan belantara yang dapat membuat pembacanya kehilangan arah mata angin menuju pemaknaan, tetapi sebuah dunia yang membuka terjalinnya komunikasi antara teks dan pembaca.
***

Endang Supriadi adalah salah seorang penyair penting Indonesia. Kepenyairan Endang Supriadi ditandai dengan kemunculannya pada akhir dasawarsa 1980-an dan kemudian menunjukkan kemapanannya pada dasawarsa 1990-an. Puisi-puisinya cenderung reflektif dengan metafora alam menjadi bagian penting dalam menyampaikan ekspresi kreatifnya. Meski penyair ini mengangkat tema-tema yang beragam, ia konsisten pada style yang coba ditawarkannya. Di samping itu, Supriadi tampak begitu memperhatikan bunyi persajakan. Maka, di sana-sini kita menjumpai adanya enjambemen –pemenggalan kalimat—untuk memperoleh efek keindahan bunyi persajakan akhir. Dengan cara demikian, ada kesadaran puitik yang coba dikembangkan Supriadi pada puisi-puisinya. Perhatikan beberapa contoh enjambemen berikut ini:

aku terbaring di antara tebing-tebing
waktu. mencabuti duri dalam diri
dan mengunyahnya agar jadi embun atau
kembang gula yang kutemukan pada masa
kecilku dulu

Jika dibaca, bait puisi ini akan menjadi seperti berikut ini:
aku terbaring di antara tebing-tebing/waktu.
mencabuti duri dalam diri
dan mengunyahnya agar jadi embun atau/kembang gula
yang kutemukan pada masa/kecilku dulu

Secara tematik, Supriadi menarik objek persoalannya menjadi milik sendiri, individualisasi yang sesungguhnya juga merupakan pengalaman orang per orang. Jadi, segala pengalaman yang kemudian menjadi tema puisinya, seperti pisau bermata dua: sebagai pengalaman pribadi, dan sekaligus sebagai pengalaman manusia secara universal. Tarik-menarik antara kekhasan pengalaman individual dan universalitas itu, secara konsisten terus dipertahankan, sehingga ia menjadi style. Supriadi seperti telah menemukan pilihan yang tepat dalam membangun estetika puisinya.

Periksalah puisinya yang berjudul “Aku Terbaring”. Bukankah pada saat-saat seperti itu, kita –manusia—selain dihinggapi suasana ketidakberdayaan, jiwa sering dibawa berkelana oleh pikirannya sendiri: tentang pengalaman masa kecil sampai ke kecemasannya menatap kematian. Dalam hal ini, pengalaman spiritual penyair tidak (: belum) menciptakan kerinduan untuk jumpa dengan Tuhan, melainkan kecemasan ketika kesadaran membawa kenangan pada masa lalunya yang hitam. Ada kecemasan, ada rasa berdosa, tetapi tokh, pada saat seperti itu, ia harus pasrah menerima keadaan. Seperti puisi pendek Sapardi Djoko Damono: Tuan, Tuhan bukan?/tunggu sebentar/saya sedang keluar//

Jika Sapardi Djoko Damono seperti hendak melakukan kompromi dengan Tuhannya, maka Supriadi sekadar berkisah tentang pengalamannya ketika ia sakit dan digayuti suasana kematian. Bukankah pengalaman itu bersifat universal; gambaran tentang manusia yang berada dalam keadaan tak berdaya, kerap diganggu oleh kecemasan menghadapi kematian.

Bagi Endang Supriadi apa pun dapat diolah menjadi tema puisi. Tetapi tentu saja peristiwa yang diangkatnya merupakan peristiwa yang menggetarkan, menakjubkan, bahkan juga menakutkan. Sebuah pengalaman spiritual manusia ketika menghadapi misteri kehidupan, mysterium tremendum et fascinans: rahasia yang menakjubkan—menakutkan—mempesona dan menariknya pada kesadaran transendental, kesadaran teologis!

Begitulah, Endang Supriadi menempatkan segala pengalaman yang menggetarkan itu sebagai bagian dari pengalaman individual. Tetapi di sana, ada makna universal tentang pikiran, perasaan atau kegelisahan manusia ketika berhadapan dengan misteri kehidupan. Dengan demikian, secara keseluruhan, puisi-puisi Endang Supriadi sesungguhnya berbicara tentang dirinya sendiri, tentang pengalaman yang sangat individual, tetapi di balik itu, penyair seperti hendak memberi penyadaran, bahwa sangat mungkin pengalaman itu juga akan menerjang siapa pun. Dalam hal ini, penyair seperti hendak mewartakan peristiwa kemanusiaan. Dengan cara itu, puisi dapat digunakan sebagai sumber inspirasi atau sekadar alat untuk berbagi pengalaman.
***

Jimmy S Johansyah sebuah nama yang kepenyairan mulai diperhitungkan belakangan ini, meski ia telah berkiprah pada awal 2000-an. Seperti kebanyakan penyair seangkatannya, Johansyah terkesan bermain dalam tataran gagasan yang melompat ke sana ke mari. Oleh karena itu, teks puisi tidak berdiri sendiri sebagai makna yang terpencil dan mengurung diri, melainkan punya cantelan referensial ke berbagai peristiwa lain yang berada di luar teks. Dengan demikian, puisi menjadi sebuah wacana tentang berbagai peristiwa.

Dalam beberapa kasus, puisi yang dikembangkan Johansyah memang menghadapkan pembaca dengan aneka macam referensi, bukan sebagai sesuatu yang hendak membangun citraan, melainkan gagasan tentang serangkaian peristiwa. Meskipun demikian, sinyal-sinyal tertentu yang diselusupkan penyairnya, memberi kesempatan kepada kita (: pembaca) untuk bebas menerjemahkannya dalam medan tafsir. Periksa saja puisinya yang berjudul “Notasi dalam Nyanyian Sunyi”. Pesan tematik yang hendak menggambarkan sosok Mangunwijaya (Romo Mangun) menjadikan puisi itu laksana sebuah bayangan tentang tokoh itu hingga menemui kematiannya.

Dalam kasus itu, Johansyah tidak coba mengungkapkan pengalaman fisik atau pengalaman batin atas peristiwa yang dihadapinya, melainkan sebuah peristiwa imajinatif tentang sesuatu. Tentang sesuatu itulah yang kemudian dikemas dalam larik-larik puisi. Hal yang juga terjadi pada puisinya yang berjudul “Mencatat Cinta di Jalan-Jalan”. Hampir setiap lariknya menghadirkan peristiwa. Dan rangkaian peristiwa itu membangun sebuah wacana tentang kecompang-campingan Indonesia. Dengan demikian, puisi menjadi sebuah narasi besar, dan di sana pembaca dibebaskan untuk menjelajahi medan tafsir sesuai dengan segala referensi yang dimilikinya.

Penyair tentu saja bebas membangun style-nya sendiri. Ia telah melakukan pilihan atas daya ungkap dan ekspresi kreatifnya. Tetapi, tentu saja setiap pilihan selalu berhadapan dengan risiko. Johansyah telah memilih style-nya model itu. Maka, tafsir atas puisinya tidaklah sama dengan usaha kita melakukan tafsir atas puisi penyair lain. Dalam hal ini, metafora yang oleh banyak penyair sering digunakan untuk menciptakan keindahan puitik, justru disulap menjadi serangkaian abstraksi. Dengan cara itu, abstraksi mesti diperlakukan sebagai metafora atau simbolisme. Di situlah citraan (image) dan pencitraan (imagery) kadangkala kurang mendapat tempat mengingat posisinya yang tergeser oleh abstraksi.

Meskipun demikian, Johansyah tidak terlena oleh hasrat untuk menyelimuti pesan tematiknya secara begitu tersembunyi. Ia membiarkan saklar imajinasi pembaca tetap menyala melalui sinyal-sinyal yang diselusupkannya. Maka, tema puisi tidak terkunci dalam lemari besi, melainkan tertata dalam setiap larik puisinya yang menciptakan rangkaian peristiwa. Dalam hal ini, suasana peristiwa memang seperti sengaja dilewatkan begitu saja. Di situlah peristiwa yang dihadirkan melalui abstraksi sering tidak menyentuh suasana mengingat hasratnya hendak menciptakan sebuah wacana.

Dalam sejarah sastra Indonesia, Toto Sudarto Bachtiar termasuk penyair garda depan yang membangun estetika puisinya melalui kekuatan penghadiran suasana.
***

Rieke Diah Pitaloka adalah penyair wanita pascareformasi yang kemunculannya dalam sastra Indonesia cukup menghebohkan lewat antologi puisinya, Renungan Kloset (2003) dan Ups! (2005). Sejumlah puisinya terkesan seperti main-main –yang mengingatkan saya pada puisi mbeling, majalah aktuil, awal tahun 1970-an. Meski kesan main-main itu lebih pada makna, dan bukan bentuk, Pitaloka justru hendak menegaskan bahwa puisi serius dapat mengungkapkan makna yang membuat pembacanya tersenyum. Atau, boleh jadi penyair sengaja membuat semacam parodi, meski tetap dengan kemasan puisi yang baik.

Dalam antologi puisi ini, Pitaloka terkesan membangun puisinya dengan semangat mencoba berbagai kemungkinan ekspresi. Maka, berbagai tipografi coba dihadirkan untuk mengukuhkan usahanya menawarkan sesuatu yang lebih segar dan baru. Cermatilah puisinya yang berjudul “Bulan yang Gelisah”. Dalam puisi itu, kita berjumpa dengan berkelindannya monolog—dialog si aku liris yang seperti tak kuasa menembus tembok besi kekuasaan atau apa pun. Ketidakberdayaan si aku liris hadir sebagai sesuatu yang disadarinya. Jadi, sesungguhnya Pitaloka seperti hendak menggugat banyak hal yang tak beres di negeri ini, tetapi tokh harus diterima begitu saja sebagai keniscayaan. Bukankah di negeri ini setiap saat kita berhadapan dengan ketidakadilan, kebusukan, dan sejumlah kebrengsekan lainnya, tetapi kita tak punya kekuatan apa pun untuk mendobraknya. Sebuah ironi yang mewartakan kegelisahan penyair dalam menghadapi kekuasaan yang serba absurd, untouchable, berada di luar jangkauan manusia.

Puisinya yang lain, seperti “Eksodus” dan “Londo Ireng” memperlihatkan kepedulian penyairnya atas nasib rakyat kecil, wong cilik, seperti juga yang diungkapkan dalam “Mencari-Mu”. Jika dalam “Eksodus” penyair memanfaatkan pola repetisi, maka dalam “Londo Ireng” simbolisme menjadi bagian penting dalam estetika puisinya. Simbolisme tidak hanya menegaskan makna pesan yang hendak disampaikannya, tetapi juga memperlihatkan kekuatan penyair dalam menghadirkan metafora.

***

Sosok penyair wanita yang mewakili generasi terkini dapat kita sematkan pada diri Rita Zahara. Meski Zahara seperti masih percaya pada kekuatan keindahan bahasa dengan berbagai abstraksinya, sebagaimana tampak dalam puisinya “Caravansary”, dalam puisinya “Galau” dan “Dialog Langit” ia coba memanfaatkan citraan alam memasuki wilayah makna. Perhatikan puisinya yang berjudul “Dialog Langit” berikut ini:

Biru laut …
Kepak elang
Gugusan pulau membentang jarak …
Sebutir cahaya meloncat
Arungi takdir

Tentu saja puisi ini seperti ungkapan penyairnya atas keterpukauan dan keterpesonaannya ketika ia memandang laut, dan laut menyedot pikirannya untuk menuliskan pengalaman itu dalam larik-larik puisi. Ia bagai lintasan gagasan yang tiba-tiba hadir dan menggelisahkannya. Sesungguhnya, perenungan yang intens merupakan hal yang penting dalam menerjemahkan pengalaman. Puisi adalah representasi pengalaman yang mengungkapkan makna yang mendekam di sebaliknya. Puisi ini boleh jadi sekadar ekspresi keterpukauan. Oleh karena itu, biru laut, kepak elang, atau gugusan pulau masih menampakkan dirinya dalam makna denotatifnya. Di masa depan, Rita Zahara agaknya perlu memperhitungkan berbagai kemungkinan mencantelkan teks dengan konteks atau dengan berbagai hal yang berada di luar itu atau yang mendekam di dalamnya. Di situlah tugas penyair mewartakan sesuatu dan menggiringnya dalam medan makna dan lautan tafsir.
***

Sihar Ramses Simatupang agaknya punya style yang lain lagi. Tema yang diangkatnya cukup beragam, dan itu tampak mempengaruhi gaya pengucapannya. Lihat saja puisinya yang berjudul “Di Pengadilan Munir (1)” dan bandingkan dengan puisinya yang berjudul “Sepantun Biografi” atau “Sepantun Rindu”. Potret tentang karut-marut dunia pengadilan kita (“Di Pengadilan Munir (1)”) yang diangkat penyair, terkesan berbeda dengan daya ungkapnya ketika penyair berbicara tentang pengalaman batinnya. Di situlah, kadang kala penyair terjebak oleh hasratnya menutupi pesan secara tersembunyi.

Bandingkan lagi puisi “Di Pengadilan Munir (1) dengan puisinya yang lain, seperti “Requiem: Sepantun Airmata” atau “Kini Kau Jadi Wacana Bisu”. Aku liris barangkali dapat kita identifikasikan sebagai si pencerita, mungkin mewakili suara penyair mungkin mewakili persona tertentu. Tetapi ketika kita coba membawa engkau liris ke lapangan tafsir, ia bisa menjadi persona siapa saja. Apakah ia sang kekasih atau objek yang menjadi sumber masalahnya. Di sini pula, ketika penyair tidak memberi sinyal-sinyal referensial, ketika itulah kita (: pembaca) seperti dibiarkan menjelajahi medan makna meskipun kemudian menjelma menjadi sebuah hutan makna.

Perhatikan larik berikut: lihatlah, hutan rimba kata yang terbakar di ujung bibirku/tetap kualamatkan juga sebaik cinta ke pintu rumahmu// Apakah yang dimaksud hutan rimba kata itu simpang-siur informasi dan sejumlah berita yang berceceran di media massa ataukah gossip tentang hubungan aku—engkau. Lalu klausa: yang terbakar di ujung bibirku dimaksudkan sebagai gambaran, bahwa segala berita dan gosip itu menjelma kemarahan atau hangus begitu saja (terbakar?). Meskipun demikian, si aku liris tetap menyampaikan segala berita atau gosip itu dengan semangat membangun harmoni (cinta).
***

Pengantar ini niscaya masih memerlukan pendalaman lebih jauh. Justru di situlah fungsi pengantar sekadar pengenalan apresiatif atas sejumlah puisi yang terhimpun dalam antologi ini. Tugas pembaca adalah meneroka lebih mendalam, sejauh mana puisi-puisi dalam antologi ini memancarkan kekuatannya. Bagaimanapun, membaca puisi tidaklah sama dengan membaca berita di suratkabar. Kedalaman atau kedangkalan pemahaman seseorang atas sebuah puisi sangat bergantung pada tingkat dan kualitas apresiasinya. Oleh karena itu, pengantar ini seyogianya diperlakukan sebagai pintu masuk yang –boleh disetujui boleh juga tidak—dapat digunakan untuk menukuk lebih jauh pada kedalaman maknanya. Selepas itu, segalanya terserah pembaca.

Sebagai buku puisi pertama yang menghimpun sejumlah penyair Depok, kiranya bolehlah antologi puisi ini ditempatkan sebagai pioneer. Semoga demikian!

Bojonggede, 23 Januari 2008

LORONG GELAP YANG MENGASYIKKAN

Maman S. Mahayana


Hamparan semangat menggelegak. Manakala ia tak dapat ditahan dan pecah, seketika itu pula ekspresinya muncrat berhamburan, bercipratan, menerabas apa pun. Lalu hinggap di berbagai tempat yang dijawilnya sesuka hati. Mungkin sama sekali ia tak bermaksud melakukan tegur-sapa, say hello, atau bahkan juga gugatan. Ia sekadar hendak merepresentasikan gumpalan kegelisahan yang lama bersemayam dan mengeram dalam kerajaan gagasannya. Boleh jadi ia lahir atas kesadaran, bahwa gagasan yang sekian lama dipenjara, bakal berakibat buruk pada denyar pikiran dan denyut batinnya. Mungkin juga ada kesadaran lain, bahwa tuhan tidak melarang makhluknya berkisah tentang apa pun. Bukankah tidak ada undang-undangnya yang menyatakan bahwa tuhan kelak akan menghukum manusia yang mengumbar imajinasinya bergentayangan ke berbagai wilayah imajinasi yang lain? Bahkan, sebaliknya, tuhan menempatkan manusia sebagai makhluk yang berada lebih tinggi derajatnya dari makhluk lain, justru lantaran faktor imajinasi itu.

Dalam konteks itu, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat seperti merepresentasikan kesadarannya tentang wilayah imajinasi. Cermati saja segenap larik yang dibangunnya dalam antologi puisinya ini. Ia begitu deras menghamburkan gelegak semangatnya. Ia laksana sengaja menikmati betul kebebasannya berekspresi. Maka, yang dapat kita tangkap dari larik-larik puisinya itu adalah kebebasan menguak serangkaian perkara (: tema) sesuka—semau nalarnya mengatakan itu. Ia bagai tak peduli konvensi. Yang dilakukannya adalah pembebasan imajinasi dari kerangkeng yang dianggapnya membelenggu. Maka, berhamburanlah model reduplikasi yang terasa lebih segar. Selain itu, muncul keriuhan atas sejumlah gagasan yang melompat-lompat, nemplok di sana-sini, dan bergentayangan ke belahan dunia lain yang tak terbayangkan. Itulah gerakan pembebasan imajinatif, kebebasan berpikir, kebebasan berekspresi yang sudah punya sejarahnya sendiri yang begitu panjang dan melelahkan.
***

Masih ingatkah Socrates yang memilih minum racun ketimbang mengkhianati keyakinannya berekspresi? Plato, Aristoteles dan sederet panjang pemikir masa lalu adalah manusia yang telah menyemarakkan sejarah panjang kebebasan berpikir, berekspresi, berimajinasi. Dari sanalah kebudayaan dan peradaban manusia menggelinding deras tak terbendung. Ingat pula Giordano Bruno yang dibakar hidup-hidup lantaran perjuangannya mengusung kebebasan berpikir. Galileo Galelei, Rene Descartes, Copernicus, dan sejumlah nama lain dalam deretan pemikir Barat adalah tokoh-tokoh yang bergerak dalam perjuangan pemikiran. Dari sanalah kemudian ilmu pengetahuan berkembang semarak hingga manusia mempunyai kemampuan mengejawantahkan jati dirinya secara paripurna. Hingga kini nama-nama itu terus bergentayangan, meskipun sejumlah tokoh lain, macam Ferdinand de Saussure, Roland Barthes, Derrida, hingga para penganjur postmodernisme –poststrukturalisme— telah bertengger kokoh menggantikannya.

Dalam dunia Timur, deretan nama-nama itu tidak kalah panjangnya. Ibn Thufail, Ibn Arabi, Ibn Sina, Al-Hallaj, Al Ghazali, Muhammad Iqbal sampai ke belahan bumi kita –Hamzah Fansuri dan Syekh Siti Jenar— adalah tokoh-tokoh yang langsung atau tidak, telah ikut mengubah dan menanamkan tonggak pemikirannya dalam kebudayaan—peradaban dan kesusastraan Indonesia. Jadi, keliaran dan kehendak mengusung kebebasan kreasi sungguh bukan hal yang baru. Persoalannya tinggal, apakah ia hendak menghancurkan paradigma lama –menurut gagasan Thomas Khun—dan memancangkan paradigma baru atau sekadar melakukan pemberontakan.

Dalam dunia sastra, siklus empiris atau lingkaran paradigma itu dihembuskan dalam konsep ketegangan antara konvensi dan inovasi. Tarik-menarik antara konvensi dan inovasi sesungguhnya bersumber pada kehendak mengekspresikan kebebasan kreasi, melakukan eksplorasi kreatif, dan mengeksploitasi berbagai kemungkinan estetik. Dalam hal ini, licentia poetica didasarkan pada semangat menawarkan bentuk baru, kreativitas baru, dan memojokkan konvensi sebelumnya menjadi sesuatu yang dipandang sudah out of date, usang, kadaluwarsa. Maka, yang muncul kemudian adalah kebaruan yang dalam karya sastra (teks) diselusupkan pada sejumlah unsur intrinsiknya, meski dengan tidak menutup rapat-rapat pada aspek ekstrinsikalitasnya. Itulah dunia sastra, sebuah dunia yang di sana berbagai macam peristiwa kreatif dihadirkan dengan kesadaran estetik yang erat kaitannya dengan kegelisahan kultural.

Dalam peta perjalanan kepenyairan Indonesia, deretan nama penyair garda depan, seperti Amir Hamzah, Chairil Anwar, Sutardji Calzoum Bachri, Afrizal Malna dan nama-nama lain yang bertaburan dalam peta perpuisian Indonesia, pada hakikatnya juga bergulat dalam tarik-menarik antara konvensi dan inovasi.

Meski begitu, kita juga tidak menutup mata pada bermunculannya para penyair kontemporer kita yang juga mencoba melakukan pembelotan, pemberontakan atas nama inovasi, atas nama kreativitas, atas nama pembaruan. Kadangkala, ia mengusung semangat sekadar beda dan eksperimental. Tidak apa-apa. Tokh, tuhan pun tidak melarang umat manusia melakukan itu. Jadi, sah-sah saja jika kemudian muncul penyair Indonesia yang juga hendak melakukan gerakan kebebasan kreatif. Boleh jadi, ia tidak puas atas model-model estetika sebelumnya. Boleh jadi juga ia punya kesadaran estetik melakukan gugatan. Sangat mungkin pula ia mengusung semangat sekadar beda, seperti halnya juga kemungkinan ia tidak dapat menahan gelegak gagasannya yang bertumpuk-tumpuk.

Dengan kesadaran dan pemahaman itu, maka jika kini kita menghadapi antologi puisi Nurel Javissyarqi yang mengesankan muncratnya berbagai gagasan, berhamburannya ide-ide liar, dan rumitnya kita menemukan bentuk konvensional aturan berbahasa yang lazim, segalanya dibolehkan dan sah. Ia tidak melanggar hukum tuhan. Ia sekadar memberontak pada konvensi puitik, pada ekspresi berbahasa yang dalam sejarahnya memang senantiasa diserang pemberontakan. Lalu, bagaimana hasilnya? Bagaimana Nurel menggerakkan kreativitasnya.
***

Sebagai sebuah puisi yang sarat gagasan dan liar imajinasinya, kita memang seperti berhadapan dengan lorong panjang yang di sana bertebaran pula lorong lainnya yang bercabang-cabang. Berbeda dengan Sutardji Calzoum Bachri yang menghancurkan konvensi dan menawarkan estetika mantra atau Afrizal Malna yang mengusung keterpecahan, fragmen-fragmen, dan semangat menawarkan inkoherensi, Nurel Javissyarqi lebih menyerupai bentuk ekspresi atas hamparan semangat yang menggelegak. Ia seperti telah sekian lama menyimpan sejumlah kegelisahan dan gagal menjumpai katup pembukanya. Maka, yang muncul kemudian adalah penghancuran struktur kalimat, pemorakporadaan imaji-imaji, dan penciptaan bentuk-bentuk metafora yang sempoyongan, berantakan dalam gerakan dewa mabuk. Yang juga menarik dilakukan Nurel adalah penciptaan bentuk-bentuk reduplikasi yang terasa segar, meski juga bukan hal yang baru. Sebutlah kata wewangi, pepintu, wewaktu, pepohon, bebayang, gegunung dan seterusnya untuk menunjukkan bentuk jamak sejumlah kata-kata itu.

Pencarian makna memang kadangkala menghadapi kegagalan. Tetapi, justru di situlah tantangannya. Ada semacam teror, tetapi tidak sampai pada tingkatan menciptakan huru-hara dalam pikiran kita. Bahkan, dalam beberapa hal, kita masih dapat menangkap model Khahlil Gibran atau Muhammad Iqbal. Periksa misalnya, beberapa larik berikut ini ketika Nurel berbicara tentang dunia perempuan:

Perempuan itu kembang di petamanan mimpi
....
Kaulah perempuan, dari kerajaan misteri

Bukankah style itu mengingatkan kita pada model refleksi Khahlil Gibran? Dalam beberapa hal, kesan itu kadangkala menyentuh rasa estetik kita (aesthetic contaxt). Dan selepas itu, kita tiba-tiba saja disergap gagasan lainnya yang liar, tak terkendali, sehingga cenderung terasa menjadi teror. Perhatikan lagi larik berikut yang menggambarkan keindahan wajah perempuan:

Dan alis kerudung kedua bagimu; bila alis dicukur habis
Hilanglah bulan sabit menggantung anggun di tengah malam,
Sedang lampu-lampu kota adalah hiasan
.

Dua larik pertama menunjukkan, betapa alis bagi wanita adalah asesoris penting yang menjadi bagian dari keindahan, bahkan juga sensualitas perempuan. Tetapi, bagaimana hubungannya dengan lampu-lampu kota yang ditempatkannya sebagai hiasan? Di sinilah, cantelan sensualitas perempuan –alis lentik yang bagai bulan sabit itu— tiba-tiba diteror lampu-lampu kota, Bagaimana hubungannya, asosiasinya, dan cantelan imajinasinya? Itulah teror yang sepertinya memang sengaja dibangun untuk menghancurkan imaji itu sendiri.

Dalam kasus lain, Nurel bertindak bagai sosok pertapa yang dalam hal tertentu, terkadang menyulap dirinya menjadi sosok Sisifus. Ia sekadar berkehendak, berbuat, dan bergerak membawa imajinasinya yang liar ke dalam lorong-lorong. Periksa lagi larik berikut ini:

Mari hadir bersama keindahan, bimbing kesadaran alam hingga terdalam
Sia-sia dipenuhi hikmah, malapetaka bila ajaran berharga dibuat bangga

Saya membayangkan sosok Iqbal atau Gibran menyampaikan fatwanya tentang keindahan, tentang alam yang memercikkan keindahan (tuhan). Lalu, mengapa pula orang yang memperoleh hikmah, dianggap sia-sia. Lalu apa pula maknanya dengan malapetaka bila ajaran berharga dibuat bangga? Boleh jadi, doktrin, ajaran, atau hikmah, cukup sebagai pemberi cahaya pada hati, dan tidak perlu membuat seseorang jadi takabur, lupa diri. Apakah nur ilahi atau percik cahaya tuhan itu sebagai representasi dari hikmah, dari sebuah ajaran yang memberi pencerahan?

Model-model berfatwa itu, di sana-sini memang tampaknya sengaja dihadirkan sebagai pengejawantahan sosok aku liris yang memposisikan dirinya sebagai resi atau pertapa yang berkhotbah dari atas gunung. Sejumlah fatwanya terasa asyik, meskipun tidak jarang membawa kita pada lorong gelap atau gagasan yang berkeliaran di tengah hutan belantara.

Kunang-kunang terbang malam, berikan cahayanya pada kalian/ Sebuah fatwa yang mengingatkan saya pada ajaran Konfusianisme. Tetapi apa yang terjadi pada larik berikutnya: kumpulan tersebut, terselimuti kegelapan yang terjaga// Dalam konteks itu, tampak, ada semangat membangun paradoks. Lalu, apa maknanya fatwa itu jika kehendak memberi pencerahan, memasuki selimut kegelapan?
***

Secara keseluruhan, Nurel Javissyarqi dalam antologi puisinya, Kitab Para Malaikat mengusung banyak hal, menyodorkan berbagai pemikiran filsolofis dan menyerap pengaruh dari begitu banyak filsuf. Tetapi, mengingat begitu saratnya gagasan menggayuti isi kepalanya, ia seperti ingin segera melakukan pembebasan. Ia hendak memuncratkan semuanya dalam sebuah tarikan nafas. Itulah problemnya. Sebuah hasrat membuncah, mengeram sekian lama, tiba-tiba membobol tanggul penghalangnya, maka muncratlah hasrat itu menerabasi apa pun, menggilas-melindas segala yang berada di hadapannya. Dengan begitu, kesan yang seketika muncul adalah serangkaian keasyikmasyukan, keterlenaan, dan ekstase yang memabukkan dirinya sendiri. Maka, gagasan-gagasan yang terlontar adalah suara pemikirannya sendiri yang seperti peluru mitraliur yang justru dapat mencederai banyak pesan yang hendak ditawarkannya.

Antologi Kitab Para Malaikat ini disusun ke dalam dua puluh bagian. Bagian terakhir seperti mewartakan serangkaian kesaksian atas berbagai pengalaman yang diperlakukannya sebagai pengayaan batin dan pemikiran sosok seorang Nurel Javissyarqi. Ia menikmati kegelandangannya sebagai perburuan gagasan. Oleh karena itu, dapat dipahami jika Nurel seperti tak kuasa menahan beban gagasannya sendiri yang bertumpuk-tumpuk.

Terlepas dari berbagai persoalan itu, saya menikmati antologi puisi ini sebagai sosok pengelana yang tersesat di belantara rimba raya. Ada hasrat untuk segera keluar dari ketersesatan itu, tetapi tokh asyik juga menikmati ketersesatannya. Seperti sosok Sisifus. Nikmati sajalah, maka kelak kita akan sampai juga di jalan yang benar!


Bojonggede, 30 April 2006

MISTERI LAUT—PESONA LAUT

Maman S Mahayana

Laut adalah sebuah dunia yang penuh misteri. Ia kadang diperlakukan sebagai sesuatu yang kejam, dahsyat, dan membinasa. Dalam posisi yang demikian, hamparan lut laksana merepresentasikan kekuasaan Tuhan, dan manusia menjadi makhluk maha-Liliput di tengah dunia raksas Gulliver. Manusia menjadi sebutir pasir di hadapan hamparan pantai mahaluas. Maka, manakala laut mempertontonkan kedahsyatannya, tak ada kekuatan apa pun yang dapat mengajaknya kompromi. Tak ada belas kasihan bagi apa pun ketika laut menunjukkan kemarahannya. Amuk laut adalah kedahsyatan yang tak terbantahkan. Ia sebuah dunia yang kerap memamerkan serangkaian yang mengerikan. Itulah laut dengan segala kemahadahsyatannya.

Meskipun manusia sadar akan segala misteri tentang laut –dengan segenap kemahadahdyatannya itu, manusia tokh tetap tidak dapat menyembunyikan kecintaan dan kekaguman akan seluruh keindahan yang memancar dari misteri laut. Bukankah orang rela mengorbankan harta bendanya sekadar hendak menikmati keindahan laut. Lihatlah, berapa banyak dan entah sejak kapan manusia mengejar keindahan laut ke belahan bumi yang lain.Panorama laut menjadi perburuan manusia. Sekadar nongkrong di pinggir pantai saat matahari terbenam atau saat matahari terbit, menjadi sesuatu yang eksotik. Dan orang bahagia menikmati eksotisme itu.

Selain itu, laut juga yang menyimpan kekayaan yang konon jauh lebih banyak dibandingkan kekayaan yang berada di daratan. Di sana, ada kesadaran, bahwa laut jugalah yang menghidupkan umat manusia sejak entah kapan sampai entah kapan. Laut menyajikan dan sekaligus menjajikan kekayaannya bagi umat manusia. Entah sejak kapan manusia hidup bahagia dengan kekayaannya itu. Jadi, lautlah yang menjadikan kehidupan manusia menjadi hidup, sehidup-hidupnya.

Begitulah laut. Ia memancarkan serangkaian misteri yang menakutkan sekaligus mempesona. Ombaknya yang bergulung-gulung dahsyat seperti jalinan sihir yang tiada pernah habis, tiada pernah berhenti, dan tiada pernah menyembunyikan keindahannya.

Itulah laut! Dan penyair atau seniman kerap memanfaatkannya sebagai sumber inspirasi dan menjadikannya inspiring.
***

Antologi puisi karya Endang Supriyadi dan Slamet Rahardjo Rais yang diberi judul Kota Dermaga Tua ini, tersurat jelas hendak menampilkan tema-tema yang berkaitan dengan laut. Dermaga adalah sebuah perhentian ketika seseorang hendak memasuki laut atau hendak meninggalkan laut. Ia menjadi sebuah terminal untuk berangkat atau pulang (ke darat). Di sanalah pertemuan dan perpisahan saling menyapa, menciptakan garis panjang kerinduan atau melepaskannya, meski di belakangnya, pertemuan itu menyimpan banyak peristiwa, kenangan, duka-lara atau suka-cita.

Sebagaimana galibnya manusia ketika berhadapan dengan laut dengan segala misterinya yang menakutkan dan mempesona, Endang Supriyadi memandang segalanya itu sebagai sarana kontemplasi. Keterpesonaannya pada butiran pasir –yang kecil dan seolah-olah tak bermakna itu— misalnya, justru dipandangnya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan makrokosmos.

Penyair menempatkannya sebagai pintu masuk untuk merefleksikan kontemplasinya pada kekuatan dari segala sumber kekuatan. Ia menjadi alat untuk memecahkan kerinduannya pada Sang Khalik. Maka, pasir, nyiur, ombak, gelombang, angin, dan segala yang berkaitan dengan kehidupan laut itu, bisa tiba-tiba menjelma menjadi dunia metaforis. Alam laut, bagi Endang adalah metafora kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Sebuah lanskap hamparan panjang pantai, sebuah panorama yang penuh pesona telah dibangun dan dilesapkan dalam larik kata-kata puitik.
***

Sesungguhnya, kontemplasi Endang Supriadi tentang segala yang berkaitan dengan laut itu, pada dasarnya tidaklah berbeda dengan yang dilakukan Slamet Rahardjo Rais. Laut yang inspiring, laut pula yang menjadi sumber Slamet Rahardjo Rais merekfleksikan keicntaannya pada Sang Khalik. Meski begitu, bagi Slamet, laut adalah awal ia memandang dan kemudian ia coba berangkat memasuki ceruk kedalamannya.

Mungkin penyair tak menemukan Tuhan di sana, tetapi pancaran laut dengan segala isinya adalah representasi kekuasaan Tuhan. Jadi, manakala penyair mencoba menggapai laut, mencoba menggenggamnya, dan mengejar kedalaman misterinya sampai ke entah, duduk perkaranya bukanlah terletak pada pertanyaan: apakah penyair jumpa dengan Sesuatu yang dikejarnya atau tidak, melainkan proses mencari yang menjadi inti semangat penyair. Seperti ombak, ia tak lelah bergerak, tak hendak berhenti. Mencari adalah hakikat hidup. Dan laut laksana potret segala hakikat hidup itu sendiri.

Lalu, mengapa mesti ada dermaga sebagai tempat perhentian jika proses mencari adalah hakikat hidupnya? Bagi Slamet Rahardjo Rais, dermaga adalah sebuah persinggahan yang di sana, perpisahan dan pertemuan berada dalam garis demarkasi yang sangat tipis. Kesan yang hendak disampaikannya seperti sebuah keprihatinan mendalam tentang peradaban manusia yang tega mencederai alam laut dengan segala pesonanya. Dermaga tua laksana sesosok manusia yang ringkih dan cemas, seperti dikatakannya: “dermaga tua mengucurkan airmata.”

Tetapi, sesungguhnya, ia sedang bercerita tentang sebuah peradaban manusia yang belum selesai, sebuah proses panjang tentang perjalanan sejarah umat manusia. Sampai di manakah sejarah itu akan berhenti. Di kota dermaga manakah tempat perhentian terakhir riwayat manusia? Slamet Rahardjo Rais tampaknya tidak bermaksud menyelesaikan kisahnya yang memang masih misteri. Ia sekadar mengungkap salah satu sisi dari berbagai-bagai aspek kehidupan tentang laut.

Begitulah, kecemasan penyair sesungguhnya refleksi atas keterpesonaan dan sekaligus kerinduannya menukik masuk ke kedalaman laut, menjadi bagian dari kelindan ombak, menyatu penuh dengan misterinya.
***

Bagi saya, kedua penyair –Endang Supriyadi dan Slamet Rahardjo Rais—tidak hanya telah berhasil mengangkat dunia laut sebagai sumber inspirasi yang kemudian menjelma menjadi sejumlah puisi yang cantik dan menyentuh, tetapi jau lebih penting dari itu adalah kesadarannya tentang laut sebagai bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia.

Dengan demikian, antologi puisi ini, bolehlah dimanfaatkan sebagai sarana untuk membetot seseorang mencintai laut, mengagumi keindahannya, dan sekaligus memberi penyadaran bahwa di balik itu, ada kekuatan mahadahsyat: Tuhan! Dalam hal ini, kedua penyair itu telah berhasil menempatkan laut sebagai ekspresi religiusitas transendensi. Jadi, tanpa perlu berkhotbah atau menyampaikan ayat-ayat suci, kedua penyair itu, telah dengan sangat halus menawarkan hal yang paling substansial dari hakikat kehidupan manusia: mencintai Tuhan dan mengekspresikan rasa cintanya dengan bersahabat dengan ciptaan-Nya yan penuh misteri: laut!

Sebuah antologi puisi yang niscaya akan sangat besar kontribusinya jika dapat digunakan sebagai salah satu bahan pengayaan pembelajaran di sekolah!

Bojonggede, 28 Oktober 2007

GERBONG GAGASAN MARHALIM ZAINI*

Catatan atas Antologi Langgam Negeri Puisi

Maman S. Mahayana**

Hakikat puisi adalah citraan (imagi). Dengan kekuatan citraan itulah, penyair coba membangun pesan moral, ideologi, atau apapun dalam bahasa yang kemas, padat, dan langsung. Tentu saja di dalamnya ia juga coba menghadirkan nilai estetis yang mungkin hendak ditawarkannya. Oleh karena itu, dalam puisi, penyair bergulat dalam tarik-menarik antara keinginan mengolah pesan dan menyampaikannya lewat citraan dan bahasa yang kemas-padat, tetapi juga dengan tetap memperhatikan nilai-nilai estetiknya. Akibatnya, penyair tidak punya banyak kesempatan untuk menguraikan sesuatu dengan deskripsi yang panjang atau menjelaskan perkara atau apa pun dengan uraian yang begitu terinci. Pertimbangan kehematan bahasa menjadi taruhan.

Itulah konvensi puisi. Setidak-tidaknya, citraan itulah yang menjadi salah satu ciri yang khas dan penting bagi puisi dibandingkan ragam sastra lainnya. Sebutlah sebuah kata tertentu, maka serempak dengan kata itu, pembaca digiring untuk membayangkan banyak hal tentang kata itu dan keberkaitannya dengan hal lain, baik secara sintaksis, maupun semantik. Kata “Braak!” misalnya, memaksa kita membayangkan sesuatu yang patah, ambruk, atau pecah. Sesuatu yang patah itu sendiri bisa kayu, dahan, kaca, atau bahkan hati. Jadi, hanya dengan satu kata itu saja, berbagai pembayangan dan asosiasi hadir secara serempak. Itulah yang dimaksud citraan. Lalu, agar sesuatu yang patah itu bermakna, harus ada rentetan kata lain untuk membangun tema yang dihadirkan di sana.

Meskipun demikian, konvensi itu tentu saja bukan tanpa risiko. Dalam hal ini, penyair terpaksa melakukan banyak pertimbangan untuk melakukan penyisihan sejumlah kata, frase, klausa atau kalimat yang dianggap dapat mengganggu nilai estetik puisi yang bersangkutan. Jadi, puisi apapun harus dipandang telah melewati proses panjang kesadaran penyairnya untuk melakukan pemilahan dan pemilihan yang berkaitan dengan diksi, style, atau gaya bahasa lainnya. Jika ada kata-kata tertentu yang dianggap tak perlu benar kehadirannya, penyair akan segera menyisihkannya agar keseluruhan bangunan puisi itu sendiri tak terganggu.

Mengingat kedudukannya itu, muncul tuntutan lain yang tak dapat dielakkan. Bahkan kerap menjadi kegelisahan para penyair, yaitu tindak eksplorasi bahasa. Efisiensi dan penghematan bahasa, penghadiran citraan, dan berbagai kemungkinan melakukan tindak eksplorasi bahasa merupakan bagian inheren dari kegelisahan sang penyair. Jika itu tak dilakukan, maka ia akan terjerembab dan masuk wilayah para perajin puisi. Mereka akan cukup puas mendapat label penulis puisi, meski tertolak sebagai penyair.
***

Puisi adalah puisi! Begitulah aliran Kritik Baru (New Criticism) mencoba mendefinisikan puisi. Sebuah rumusan yang sebenarnya secara logika tidak menjelaskan apa-apa, tetapi sekaligus juga menunjukkan betapa puisi tak gampang didefinisikan dengan seperangkat kata yang memberi pengertian tertentu. Ketika ia didefinisikan, ketika itu pula serempak lahir masalah atas rumusan yang mencoba mengikat puisi dalam kotak definisi. Lalu untuk apa puisi dipelajari jika ia “gagal” didefinisikan? Di sinilah kekhasan dunia sastra (: puisi). Keberadaannya penting bukan sekadar untuk dipelajari, melainkan juga untuk diapresiasi, dimaknai, dan diberi nilai. Maka, yang seyogianya dilakukan adalah mencermati substansinya, ciri-cirinya, dan ruh yang mendiaminya, kemudian coba menerjemahkan melalui kemampuan penafsiran kita.

Salah satu ciri yang lain yang juga penting bagi puisi adalah hadirnya apa yang disebut mukjizat komunikasi (the miracle of communication), begitu pandangan Cleanth Brooks –salah seorang tokoh penting dalam aliran Kritik Baru. Sebuah kekhasan yang ajaib; bagaimana sebuah kata atau serangkaian kata dalam puisi berpotensi menghadirkan sejumlah makna sesuai dengan konteksnya. Melalui konteks itulah, kata-kata dalam lingkaran metafora, simbol, ironi, paradoks atau majas yang lain, seperti didesakpaksa atau dibiarkan bergulir memancarkan berbagai makna. Oleh karena itu, puisi mestilah diperlakukan semata-mata sebagai puisi. Ia lahir dari sebuah sikap yang memperlakukan objek sebagai bagian dari dirinya. Subjektivitas penyair membawa penghayatannya atas objek, masuk, menyatu-padu dalam emosi atau obsesi dan kegelisahan pribadinya.

Sesungguhnya, Kredo Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya sendiri” mesti dipahami dalam kerangka menyimpan berbagai potensi makna dan ia sanggup memancarkan keberagaman makna, dan bukan sebaliknya, menjadi sesuatu yang tak bermakna. Kata atau sejumlah kata yang digunakan penyair mesti diterima dan dicurigai menyimpan kekayaan potensi makna, serangkaian makna, dan siap memancarkan makna-makna baru. Bagaimanapun juga, puisi hadir dalam kapasitasnya sebagai hasil pergulatan kultural –sekaligus intelektual—dari sosok seorang penyair yang tidak pernah berhenti menyimpan kegelisahan atas dunia di sekitarnya.

Atas dasar pemahaman itulah, maka di satu pihak, kita dapat bersetuju pada ambisi kaum struktural yang menempatkan sastra (: puisi) bebas dari beban berbagai persoalan yang melatarbelakanginya, dan di pihak yang lain, kita tetap membuka diri dari kemungkinan menghubungkaitkannya dengan ruh yang melahirkannya atau bahkan dari semangat kultural yang menjiwainya. Kita tidak hendak mempersempit ruang bergerak kita, ketika kita hendak mendekati dan coba memberi apresiasi terhadapnya. Dengan cara pandang demikian, berbagai kemungkinan dapat kita lakukan. Dengan begitu, dalam batas-batas tertentu kita dapat menerima pandangan bahwa puisi sebagai sebuah struktur dinamis hadir dengan berbagai kelengkapannya, dan oleh karena itu, ia tidak memerlukan perangkat lain untuk menjelaskan atau untuk menggali kedalaman maknaya. Meski begitu, ia sekaligus membuka kemungkinan lain ketika kita mencoba menelusuri semangat kultural yang sejatinya melekat erat dalam karya itu sendiri.

Dalam perspektif itulah antologi puisi Langgam Negeri Puisi (Dewan Kesenian Bengkalis, 2004) karya Marhalim Zaini (MZ) akan didekati, ditafsirmaknai, dan coba diapresiasi berdasarkan teks dan konteksnya.
***

Antologi Langgam Negeri Puisi (LNP) berisi 69 puisi yang dibagi dalam tiga bagian subjudul, yaitu “Tersebab Laut”, “Nocturno Burung Api”, dan “Surat Cinta Beracun”. Kata Pengantar Taufik Ikram Jamil –yang tajam terpercaya—tentu saja sangat membantu menemukan semacam pintu masuk dari sejumlah pintu lain yang disediakan penyairnya sendiri. Meski begitu, sebagaimana lazimnya hampir semua kata pengantar, selalu saja ada kecenderungan menggiring kita (: pembaca) memasuki wilayah apresiasinya. Kata Pengantar kerap menyihir kita dan membuat kita malas atau bahkan tertantang untuk bekerja keras melakukan penggalian lebih jauh. Oleh karena itu, bijaksanalah jika kita menerima sihir itu, tetapi sekaligus coba mempertanyakannya kembali secara kritis. Dengan bahasa yang lain, kita menerima sambil membuka diri atas kemungkinan hadirnya alternatif-alternatif dan sekalian mencari pintu lain yang belum dimasukinya. Maka, izinkanlah saya memasuki LNP melalui pintu-pintu lain yang masih dibiarkan tertutup. Dan jika mungkin, sekalian kita memasuki setiap kamarnya, lalu melakukan identifikasi, dan berkenalan dengan para penghuninya.
***

Benar, membaca LNP, kita seperti memasuki sebuah rumah dengan berbagai bentuk kamarnya yang luas dan sempit. Tetapi, manakala kita memasuki setiap kamarnya, kita berhadapan dengan para penghuninya yang beragam. Dari merekalah kita disodori setumpuk kisah tentang pengalaman batin, lompatan-lompatan pikiran, keliaran gagasan, kegelisahan, kerinduan, obsesi, dan serangkaian gumam dari sebuah keinginan untuk memberontak. Bagaimana hubungan penghuni kamar yang satu dengan penghuni kamar lainnya? Mungkin mereka tidak saling mengenal, atau mungkin juga di sana terjadi perselingkuhan dan hubungan gelap atau permufakatan untuk merencanakan sesuatu.

Sampai di situ, muncul sesuatu yang mengejutkan. Dan saya dibuatnya terperangah! Salah satu tugas kritik adalah melakukan penafsiran, pemaknaan, apresiasi, dan coba menghubungkaitkan penghuni kamar yang satu dengan penghuni kamar lain. Selepas itu, ia juga mesti berusaha melakukan identifikasi, menerjemahkan dan menjelaskan identitas para penghuninya. Di dalamnya, tentu saja termasuk menjelaskan sesuatu yang mengejutkan itu. Tetapi, tiba-tiba saya merasa ada sesuatu yang kurang pas jika itu dikatakan sebagai rumah, beserta deretan kamar-kamarnya. Jika bukan rumah dan deretan kamar-kamar, lalu apa?

Pertanyaan itu tersimpan lama dan saya membawanya ke mana-mana. Sampailah kemudian pada sebuah daerah yang bernama Freudian, wilayah koloni Sigmund Freud yang kekuasaannya bernama psikonalisa. Di sana ada Christopher Bollas, teoretikus terdepan yang namanya kerap dijadikan acuan dalam kajian psikoanalisa dewasa ini.

Sungguh, LNP lebih pas tak disebut rumah dengan sejumlah kamarnya yang lebar dan sempit. LNP seperti sebuah kendaraan yang bergerak mengusung dan mengangkut setumpukan gagasan. Ia melaju dinamis. Dan gagasan-gagasan itu seolah-olah diam membeku ketika sekadar dipandangi belaka. Namun, tiba-tiba saja ia seperti menerkam kita dan memberondong dengan rentetan peluru gagasan. Lompatan-lompatan berbagai pikiran, bisa ditarik ulur ke sana ke mari. Asosiasi dan metaforanya kadang kala liar atau muncul secara hati-hati. Ia bisa berkisah tentang sebuah peristiwa yang tanpa disadarinya telah mengembalikannya ke masa lalu, ke tanah leluhur, tanah kelahiran. Ia rindu kampung halaman, tetapi cukuplah ditempatkan sebagai persoalan dirinya an sich yang menyadari akan segala keterbatasan. Maka, yang mungkin dan dapat dilakukannya adalah renungan reflektif, kegelisahan yang disadarinya sendiri tidak menyelesaikan masalah.

Dari situlah gagasan Christopher Bollas relevan dalam menerjemahkan LNP. Citraan dan asosiasi LNP dihadirkan dalam lompatan pikiran yang terikat masa lalu dan sekaligus tak dapat menyembunyikan obsesinya untuk melepaskan diri dari ikatan itu. Maka, pikiran-pikiran itu bergerak bebas dalam sebuah kendaraan yang terus melaju, dan kadang kala bergoncang-goncang. Itulah gerbong-gerbong gagasan, kereta pikiran yang berpenumpang emosi dan obsesi, berbusana imaji (citraan), asosiasi dan metafora. Sebuah metode asosiasi bebas yang didesain untuk mengungkapkan gerbong-gerbong gagasan. Dengan cara itu, penyair dapat mengungkapkan serangkaian jalur-jalur pikiran yang lain yang dapat dihubungkan dengan semacam logika tersembunyi.

Mungkin gagasan-gagasan itu seperti tidak berkaitan satu sama lain. Boleh jadi juga urutan pikiran itu terungkap melalui mata rantai gagasan yang kelihatannya juga tidak saling berhubungan. Meski begitu, di sana ada logika yang disembunyikan. Maka, harus kita dedahkan logikanya agar jelas, bagaimana mata rantai gagasan yang seperti tidak berhubungan itu dapat diterjemahkan. Harus dilacak pula maknanya, pesan di sebaliknya, dan barulah kemudian ditandai identitasnya.
***

Kecenderungan mambawa gerbong-gerbong gagasan dalam kereta pikiran itu sesungguhnya sudah tampak pada antologi puisi MZ yang terbit sebelumnya, Segantang Bintang Sepasang Bulan (Yayasan Pusaka Riau, 2003). Boleh jadi, itulah yang dimaksud MZ sebagai penghadiran “sebuah dunia yang di dalamnya menyimpan kemungkinan-kemungkinan ruang estetis yang tak terhitung jumlahnya. … ia menyerupai sarang lebah dengan ribuan lubang yang menyimpan madu. Sementara dengungan sayap lebah-lebah yang berterbangan di luarnya adalah langgam yang akan didendangkan oleh bahasa puisi yang telah jadi.” (SBSB, hlm. i)

Pernyataannya bahwa “puisi … adalah salah satu cara untuk mengucapkan sesuatu dengan bahasa yang paling jujur dan indah,” mesti ditempatkan dalam sebuah proses pencarian. Lihatlah puisi-puisinya yang terdapat pada bagian “Gumam Teluk Mambang.” Dalam bagian itu, yang dimaksud mengucapkan sesuatu, seperti memasuki sebuah lorong masa lalu tentang problem puaknya yang boleh jadi kemudian disadarinya sebagai telah membatasi ruang bergeraknya sendiri. Penyair tak dapat menghindari diri dari ketergodaannya pada problem puak dan masa lalunya itu.

Pada bagian “Melankholia Sebentuk Waktu” dan “Rel dan Jembatan Mati,” ketergodaan itu diejawantahkan pada kecenderungan untuk memotret apa saja, di mana dan kapan saja, tanpa merasa perlu terikat pada tema atau ideologi tertentu. Jadi, pernyataan berikutnya: “… bahasa menjadi serupa cermin yang memantulkan wajah jiwa dalam barisan kata-kata,” mesti dimaknai sebagai sebuah proses pencarian yang tak ingin lagi terpaku pada tema tertentu. Dan itu tercermin pada “Melankholia Sebentuk Waktu” dan “Rel dan Jembatan Mati”. Dalam hal ini, puisi-puisi MZ –dalam SBSB dan kemudian makin jelas dalam LNP—bisa saja menyerupai potret sosial, teriakan untuk memberi penyadaran, kegelisahan atas ketakberdayaan, kerinduan ilahiah atau sekadar bergumam sebagai bentuk respons atas apa yang dilihat dan dirasakannya. Sesungguhnya, dari sanalah MZ seperti mulai menemukan bentuk yang dicarinya, dan kemudian memperoleh saluran yang lebih leluasa pada LNP.

Demikianlah, LNP bolehlah ditempatkan sebagai salah satu capaian MZ selepas usaha pencariannya dalam SBSB.
***

Harus diakui, pengucapan MZ dan tema yang diusungnya dalam LNP agak berbeda dengan sejumlah penyair Riau lainnya. Bandingkanlah, misalnya, dengan gaya pengucapan Taufik Ikram Jamil yang cenderung obsesif terhadap dunia Melayu. Boleh jadi lantaran itu pula, suara kegelisahan Jamil terasa lebih kencang dan nyaring. Beberapa penyair lain –sekadar menyebut tiga di antaranya— seperti Syaukani Al Karim, Hoesnizar Hoed atau Hang Kafrawi, seolah-olah tak kuasa menutup mata atas problem sosial yang terjadi di lingkungan persekitarannya. Maka, kultur Melayu dengan peristiwa luka sejarah masa lalunya, kerap dipandang sebagai sebuah kecelakaan yang segala akibat dan kepahitannya harus menjadi beban generasi yang kemudian. Sikap itu pula yang lalu memunculkan semacam kecemasan dalam menatap masa depan puaknya.

Dalam wilayah keindonesiaan, problem sosial itu tidak jarang ditempatkan sebagai bagian dari kebijakan sentralitas hubungan Jakarta—Daerah yang secara faktual malah memarjinalkan puaknya. Dominasi Jakarta yang dipandang sebagai monster yang lebih kejam dari pihak kolonial, makin mengoyak luka yang ada. Akibatnya, kehidupan masyarakat persekitaran yang penuh koyak-moyak luka itu menjadi pemandangan yang sungguh menggelisahkan. Dari sanalah tuntutan untuk bersuara nyaring hadir tidak sekadar sebagai bentuk tanggung jawab sosialnya sebagai warga sepuak, tetapi juga sebagai sebuah perjuangan sosio-kultural.

Kesadaran kultural, sikap kebertanggungjawaban sosial, dan ingatan kolektif atas sejarah masa lalunya tentang puak Melayu –sadar atau tidak—telah menjadi semacam semangat atau élan yang mengerucut pada sebuah gerakan yang dikatakan Taufik Ikram Jamil sebagai Mazhab Riau. Sastra (: puisi) yang menjadi wilayah alternatifnya cenderung memperlihatkan semangat dan cita-cita yang sama. Maka, mungkin saja puisi yang dilahirkannya menyerupai potret sosial, romantisisme atas kebesaran marwah Melayu, gerakan melepaskan diri dari dominasi pusat (: Jakarta) atau usaha merumuskan kembali identitas yang lepas dari hegemoni pusat. Di sana, tak dapat disembunyikan adanya semangat menggelegak dari perasaan kolektif luka yang terkoyak.

MZ seperti begerak dengan caranya sendiri. Secara tematik, ia begitu bebas mengangkat latar tempat di mana pun, tanpa harus terus menerus mengusung problem puaknya. Dengan cara demikian, ia bisa memotret Kintamani, Selat Sunda atau bahkan ia bersimpuh di makam seorang wali, tanpa mesti dibebani oleh ideologi tertentu. Meski demikian, sebelah kakinya yang berada di masa lalu, menyeretnya untuk merasakan luka yang sama tentang alam dan masyarakatnya. Jadi, tentang luka yang terkoyak itu, MZ bukan tak ikut merasakan luka itu. Maka, yang dilakukannya adalah sekadar menjadi penonton yang ikut merasakan luka itu, sekadar memotret lantaran menyadari keterbatasannya, atau melepaskan kepedihan itu sebagai sejarah masa lalu dan kemudian menatap ke dunia lain. Oleh karena itu, kerinduan terhadapnya dan tanah leluhur, cenderung sebagai ungkapan romantik yang baru disadarinya sebagai keasingan, kekosongan, ketercerabutan dari akar atau ketercampakan oleh perjalanan waktu dan tuntutan zaman. Lihatlah larik akhir puisinya “Menggarami Rindu Sepanjang Juni” (hlm. 34), Sepanjang Juni, rinduku kehabisan garam, sebuah kerinduan yang sia-sia, basi dan asing. Juni –mungkin masa liburan panjang—makin mendesak dirinya pada keasingan.

Kerinduan pada tanah leluhur yang ternyata tak lagi seperti yang dibayangkan semula –lantaran perkembangan pengalaman hidup si aku—merupakan tema yang kerap diangkat para penyair. Lihatlah “Si Anak Hilang” Sitor Situmorang yang gamang menghadapi kerinduan ibu dan keangkuhan ayah. MZ tak merasakan itu, karena ia bermain di tataran alam. Ia tak mengatakannya sebagai Melayu, karena tanah lain pun di dataran lain, sangat mungkin menghadapi problem yang sama. Maka, kegamangannya pada tanah leluhur cukup dikatakannya: “Ah, lama-lama aku merasa seperti di Vietnam.”

Cermati juga keseluruhan puisi yang terdapat dalam LNP. Akan sia-sia kita menemukan kata Melayu! Tidak ada satu pun kata Melayu di sana, lantaran MZ menyulapnya dengan kata lain yang tidak sekadar mewakili sebuah puak. Meski begitu, sebagai manusia yang berada dalam dua wilayah –masa lalu dan masa kini— MZ pun tak dapat melepaskan diri dari kultur masyarakat yang melahirkan dan membesarkannya. Dan itu terungkap tidak hanya dari kosa kata Melayunya yang masih dapat dengan mudah kita jumpai di sana-sini, tetapi juga dunia bawah sadarnya yang tidak dapat melepaskan diri dari kosmos alam. Jadi, satu kaki MZ berada di luar puaknya, dan kaki yang lainnya tetap tertanam pada alam (tanah leluhur), tradisi dan sejarah masa lalunya. Boleh jadi karena itulah, MZ seperti sengaja bergumam sendiri dan menempatkan persoalan yang dihadapinya sebagai problem individu dirinya sendiri.

Dalam posisi kedua kakinya yang seperti itu, yang tampak kemudian adalah hasrat hendak melepaskan diri dari kungkungan tradisi dan masa lalu, tetapi sekaligus ia sadar bahwa tradisi dan masa lalu yang hendak dilepaskannya itu, kerap menjelma sebuah sihir yang pesonanya tak gampang dibenamkan. Ia telah terjerat oleh sihir itu, karena identitasnya adalah bagian dari sihir itu juga. Itulah yang dikatakan Anthony Gidden, guru besar sosiologi dari Cambridge University, sebagai manusia pascatradisional.

Untuk menukik lebih jauh dan mencari bukti-bukti tekstualnya, mari kita masuk dan coba menjelajahi gerbong gagasan LNP.
***

Tak begitu jelas, mengapa ke-69 puisi dalam LNP dipilah ke dalam tiga bagian: “Tersebab Laut” (27 puisi), “Nocturno Burung Api” (20 puisi), dan “Surat Cinta Beracun” (22 puisi). Dilihat dari style, pengucapan, majas yang digunakan dan tema-tema yang diusungnya, tak ada perbedaan signifikan yang menyertai alasan khas atas pembagian itu. Meski begitu, ada sejumlah kata tertentu yang berulang kali digunakan sebagai tanda yang berkaitan dengan tema. Kata-kata kunci itu dapat dijadikan titik berangkat untuk menerjemahkan puisi-puisi MZ. Melalui kata-kata itu pula kita memperoleh pintu masuk untuk menyelusup lebih jauh, apa yang sesungguhnya hendak disampaikan MZ.

Secara umum kata-kata kunci itu dapat dikelompokkan ke dalam empat ranah, yaitu laut (termasuk di dalamnya, pantai, teluk, ombak, pulau, samudera, asin), waktu (pagi, senja, malam, sejarah), hujan (air, gerimis, angin), dan bahasa (puisi—sajak). Pengulangan kata-kata itu tentu saja signifikan mengingat dalam hampir semua puisi dalam LNP, kata-kata itu tidak sekadar meluncur begitu saja, tetapi juga seperti sengaja dihadirkan untuk mewakili simbol dan makna tertentu. Kembali, gagasan Christopher Bollas tentang asosiasi bebas menjadi relevan untuk mengungkapkan naluri ketaksadaran MZ dalam merepresentasikan kegelisahannya. Perhatikanlah puisinya yang berjudul “Tersebab Laut” berikut ini.

Sebagaimana anak sungai kita bertarung
di ujung kuala, demi laut yang membentangkan
hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi.
Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan
burung-burung hitam yang membayang
di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat
sisa percakapan yang terbuang, merangkai
kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang
Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan
cinta pada setiap debur ombaknya, maka
asin pantai lebih terasa daripada badai.
Sebab laut senantiasa mengapungkan buih
nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan
rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara
ribuan butir pasir yang terhampar kalah

Dengan permainan enjambemen yang memenggal kalimat demi kepentingan persajakan atau keindahan bunyi, MZ tidak hanya berhasil membangun kekompakan dalam setiap larik puisinya, tetapi juga dapat mempererat hubungan makna secara keseluruhan. Puisi “Tersebab Laut” sesungguhnya dibangun lewat empat kata yang lantaran terjadi enjambemen puisi itu seperti disusun dalam 16 larik (kalimat). Perhatikan lagi urutan kalimat dalam “Tersebab Laut” berikut ini:

Sebagaimana anak sungai kita bertarung/di ujung kuala, demi laut yang membentangkan
hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi.//Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan
burung-burung hitam yang membayang/di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat/sisa percakapan yang terbuang, merangkai
kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang//Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.//Sebab laut senantiasa mengapungkan buih/nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan/rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara/ribuan butir pasir yang terhampar kalah//

Jika diparafrasekan, puisi itu coba mewartakan, betapa kehidupan yang laksana gelombang laut itu tidak dapat disikapi dengan cara bersantai. Sebagaimana anak sungai kita bertarung/di ujung kuala, demi laut yang membentangkan hidup, lebih dari sekedar gelombang mimpi// Harus ada perjuangan untuk mencapai sebuah cita-cita hidup, meskipun perjuangan itu sendiri tidak ringan lantaran di sana ada garis nasib dan serangkaian kekalahan dan kesia-siaan. Perahu waktu, batu-batu masa lalu, dan

burung-burung hitam yang membayang/di seraut wajah senja adalah lukisan usang
yang memanjang di dinding gudang, tempat/sisa percakapan yang terbuang, merangkai

kata-kata dalam bingkai sajak yang hilang// Masalah utamanya adalah ketaksadaran pada identitas, pada potensi dan kemampuan sendiri. Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.// Jika itu yang terjadi, maka perjuangan itu akan mengalir ke muara kekalahan. Sebab laut senantiasa mengapungkan buih/nama-nama ke tepian jauh, mengasingkan/ rindu ke sudut-sudut sejarah, di antara/ribuan butir pasir yang terhampar kalah//

Yang menarik dari citraan yang dikembangkan MZ adalah keterikatannya pada laut sebagai medan kehidupan, waktu sebagai sebuah perjalanan yang terikat masa lalu dan harapan di masa depan, dan sajak sebagai keputusan, sikap, atau alat perjuangan yang dalam banyak puisinya diposisikan dalam keadaan kalah, sia-sia, dan pesimisme. Kalaupun ada nada optimis, MZ menghadirkannya lewat pengandaian, seolah-olah harapan itu pun akan sia-sia belaka. Lihatlah nada optimistik yang dihadirkan di sana: Andai saja dayung di genggaman mengayuhkan/ cinta pada setiap debur ombaknya, maka/asin pantai lebih terasa daripada badai.// Andai perjuangan itu dilandasi cinta dalam setiap geraknya, maka hidup bisa lebih bermakna daripada kesia-siaan atau prahara. Mengapa nada optimistik itu harus dalam pengandaian? Atau, ia sendiri tak cukup yakin dengan langkah yang diperjuangkannya sendiri.

Pesimisme, kesepian, keterasingan, kesangsian, dan segala yang berkaitan dengan suasana muram seperti sengaja dihadirkan MZ dalam hampir semua puisinya. Maka LNP laksana serangkaian gumam sebuah suara yang datang dari dunia yang serba gelap. Lalu padam. Peti mati inilah rumah kita./Jagat yang legam, dan waktu tak bersisa// (Nocturno ‘Malam’ hlm. 67). Jika ditarik garis linier, LNP seperti hendak mewartakan sebuah perjalanan seorang anak manusia yang di belakangnya terbentang luka sejarah, di sekelilingnya bermunculan kegetiran hidup, dan di hadapannya masa depan seperti sebuah lorong panjang yang gelap. Itulah tema-tema yang diusung MZ dalam LNP.
Pertanyaannya kini: Siapakah MZ?
***

Mencermati keseluruhan puisi dalam LNP, agaknya kita mesti percaya bahwa sastra (: puisi) bagiamanapun juga dapat kita tempatkan tidak hanya sebagai potret sosial yang mengungkapkan semangat zamannya, tetapi juga sebagai potret diri sastrawan yang bersangkutan. Sastra dalam hal ini digunakan sebagai refleksi evaluatif atas problem sosial dan lingkungan persekitaran tempat sastrawan yang bersangkutan dilahirkan dan dibesarkan. Maka, di sana akan hadir catatan-catatan, perenungan, obsesi, kegelisahan dan harapan. Melalui bahasa sebagai medianya, sastra secara keseluruhan memantulkan wajah dan identitas sang penyairnya sendiri. Meskipun kita tidak harus serta-merta percaya pada pernyataan bahwa … bahasa menjadi serupa cermin yang memantulkan wajah jiwa dalam barisan kata-kata, setidak-tidaknya pernyataan itu merupakan refleksi kegelisahan penyairnya mengenai berbagai problem yang hadir sebagai pengalaman hidupnya.

Barangkali merupakan suatu yang kebetulan antologi puisi MZ ini diberi judul Langgam Negeri Puisi (LNP). Judul memang tidak selalu mewakili isi, tetapi makna kata langgam mengisyaratkan suatu gaya, cara, adat, kebiasaan atau bentuk irama lagu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 561) seseorang mengekspresikan dirinya. Mengingat MZ menggunakan puisi sebagai sarana ekspresinya, maka melalui puisi-puisi dalam LNP itulah kita coba memasuki wilayah identitas penyairnya.

Ada tiga dasar pemikiran yang menjadi alasan digunakannya pendekatan ini. Pertama, merujuk pada pernyataan Grebstein, kritikus sosio-kultural, bahwa pemahaman terhadap sastra hanya mungkin dapat dilakukan selengkapnya jika kita tidak melepaskan diri dari latar belakang sosio-budaya pengarangnya. Dengan demikian, menerjemahkan sebuah teks sastra melalui kajian sosio-budaya, tidak dapat lain, kecuali kita mencoba menelusuri lingkungan masyarakat dan kebudayaan yang telah melahirkan dan membesarkan pengarang yang bersangkutan.

Kedua, setiap karya sastra pada hakikatnya unik. Maka, pendekatan terhadap teks MZ dalam LNP dan mencoba memahami konteksnya belum tentu dapat dilakukan pada teks lain dari pengarang yang lain. Artinya, MZ menggunakan caranya sendiri dan dengan menelusuri cara MZ itulah, kita melakukan penafsiran atas teks yang dihasilkannya.

Ketiga, jika bahasa –secara kolektif—mencerminkan bangsa, maka bahasa dalam karya sastra –secara individual—mencerminkan individu atau pribadi pengarangnya. Dalam hal ini, dikaitkan dengan pernyataan Grebstein tadi, yang dimaksud mencerminkan individu atau pribadi pengarangnya itu inheren dengan masyarakat dan kultur pengarang yang bersangkutan. Mengingat ada sejumlah kosa kata tertentu yang berulang kali digunakan MZ, maka melalui kosa kata itulah, kita mencoba menelusuri latar belakang sosial-budaya pengarangnya. Jadi, kosa kata itu pula yang digunakan sebagai pintu masuk mengungkapkan identitas seorang MZ.
Mari kita mulai!
***

Bukalah secara sembarang halaman-halaman LNP, maka dengan mudah kita akan menjumpai kata-kata kunci yang seperti telah disebutkan, dapat dikelompokkan ke dalam empat ranah, yaitu laut (termasuk di dalamnya, pantai, teluk, ombak, pulau, samudera, asin), waktu (pagi, senja, malam, sejarah), hujan (air, gerimis, angin), dan bahasa (puisi—sajak). Pertanyaannya, mengapa kata-kata dari empat ranah itu kerap muncul dalam puisi-puisi MZ? Apakah ia tidak punya kata lain lagi, sehingga dalam konteks apapun, kata-kata itu seperti muncul dari luar kesadarannya. Itulah yang dimaksud Christopher Bollas sebagai asosiasi bebas yang nongol dan mencolot begitu saja dari ruang ketidaksadaran individu. Ketidaksadaran itu tentu saja tidak terlepas dari masa lalu. Inilah soalnya. MZ tak dapat melepaskan diri dari masa lalu, dari sebuah tradisi besar yang telah membentuk ruh dan sikap kulturalnya. Maka, asosiasi bebas seorang MZ akan berbeda dengan seorang Zawawi Imron atau Sapardi Djoko Damono. Di sana ada problem kultur yang di dalamnya tradisi menjadi bagian penting.

Bagaimanapun juga, tradisi adalah sebuah orientasi ke masa lalu yang –sadar atau tidak—sangat berpengaruh pada sikap dan perilaku masa kini. Meskipun tradisi, seperti dikatakan Edward Said, selalu berubah-ubah, ia tetap memiliki daya tahan sebagai alat penentang desakan perubahan. Selalu ada jejak-jejak yang melekat dalam ingatan individu yang dalam konteks masyarakat menjadi ingatan kolektif. “Tradisi terkait dengan memori kolektif yang kemudian memancar dalam memori individu,” begitu keyakinan Anthony Giddens. Dalam hal itulah, puisi-puisi MZ punya cantelan kultural.

Ambillah salah satu puisinya secara sembarang, sebut saja sebuah puisinya yang berjudul “Laut Senja, Kota-Kota Mengapung” dan kemudian periksalah setiap lariknya. “Bukan sejarah benar yang merajai hidup, tapi keangkuhan/hiduplah yang membangun kerajaan sejarah”/Bagai menyeduh senja, kupetik senar kecemasan, setangkai/nada dari percikan halimun yang bergelombang di hamparan/Selat Sunda….

Meski larik awal itu mengingatkan saya pada gaya Chairil Anwar, duduk soalnya bukanlah terletak pada konteks pengaruh-mempengaruhi, melainkan pada sejumlah kata kunci, seperti sejarah (waktu), laut, puisi, dan hujan. Sesungguhnya, puisi ini bercerita tentang keterpesonaan aku lirik ketika ia berada di Selat Sunda. Apa hubungan Selat Sunda dengan sejarah, dengan masa lalu dan tradisi. Inilah sebuah contoh asosiasi bebas. Dari satu titik tertentu, pandangan terpesona oleh sesuatu atau sebuah peristiwa, pikiran mencantelkannya dengan sesuatu yang lain yang mungkin sebenarnya tak ada kaitannya, lalu dari sana, imajinasinya melayang ke masa lalu tentang sebuah puak.

Ketika ia membayangkan sejarah puaknya, ia menyadari bahwa kebesaran puaknya bukan dibangun oleh sejarah masa lalunya, melainkan oleh kebanggaan yang berlebih tentang sejarah itu sendiri. Maka, dikatakannya, “Bagai menyeduh senja” menghidangkan sesuatu yang sesungguhnya tinggal menunggu masa pudarnya. Dari titik itu ia hendak mengubur masa lalunya, karena yang dihadapinya kini hamparan kehidupan (laut) yang harus ia tempuh untuk menata masa depan. Kembali ia ragu, lantaran masa depan pun seperti mimpi yang menjelma terali besi. Di situlah ia menyadari eksistensinya. Ia terasing “dihimpit sepi”.

Begitulah, di mana pun ia berada, ia seperti berhadapan dengan sebuah paradoks. Masa lalu yang mengganggu yang ingin dikuburnya, tetapi sekaligus muncul begitu saja sebagai bagian dari masa kini dalam memandang masa depan. Yang muncul kemudian adalah kesepian, keterasingan, dan ketidakpercayaan pada masa depannya sendiri. Itulah langgam MZ: puisi sebagai representasi tarik-menarik antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Sayangnya, kebanggaan atas masa lalu, juga tidak menyelesaikan masalah, sementara pandangannya terhadap masa depan, juga penuh dengan pesimisme. Maka, yang dapat dilakukannya adalah memotret apa saja, di mana saja, sebagai tindak konkret keinginannya untuk berbuat. Puisilah yang kemudian menjadi pilihan; itulah buah dari serangkaian tindak berbuat. Dapat dipahami jika MZ menempatkan puisi sebagai suara hidupnya, representasi perjalanan hidup yang kini dialaminya dan hendak dijalaninya. Sebuah bangunan beragam peristiwa yang menjelma dalam puisi. Itulah ciri, corak, gaya dan kecenderungan yang menurut versi MZ sebagai langgam.

Ambil lagi puisi lainnya yang terhimpun dalam LNP, maka kita akan menjumpai langgam yang sama, meski ia bercerita tentang hal yang berbeda dari tempat di mana pun dan pada waktu yang kapan pun. Dengan demikian, puisi telah menjadi catatan peristiwa, gugatan sejarah, dan ekspresi pesimisme atas banyak hal yang terjadi di negeri ini. Lalu, apakah LNP sekadar kisah tentang segala yang diuraikan itu? Di mana estetikanya, metaforanya, langgam puitiknya, dan kekhasannya dibandingkan puisi lain dari cara pengucapan penyair lain?

Selain sejumlah kata-kata kunci tadi yang dalam bahasa Cleanth Brooks sebagai mukjizat komunikasi (the miracle of communication), yaitu potensi sebuah kata atau serangkaian kata menghadirkan sejumlah makna sesuai konteksnya, MZ secara royal juga memanfaatkan apa yang disebut sebagai enjambemen yaitu pemenggalan kalimat demi kepentingan persajakan atau keindahan bunyi. Perhatikan puisi yang berjudul “Hujan dalam Diri” berikut ini:

Dalam diri, hujan tiba-tiba:
selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri
sebelum sepi

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu
jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang
membaca teka-teki ini, bagai laying-layang
melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:
beribu langkah, menapak basah.
Cukuplah setetes darah
melukai sejarah?

Jika puisi itu tak menggunakan enjambemen, maka larik-lariknya sebagai berikut:
Dalam diri, hujan tiba-tiba:/selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri/sebelum sepi

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu/jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang/membaca teka-teki ini, bagai layang-layang/melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:/beribu langkah, menapak basah.
Cukuplah setetes darah/melukai sejarah?

Dengan pemenggalan yang seperti itu, maka MZ terkesan hendak membuat persajakan (kesamaan bunyi), tidak hanya antarlarik, tetapi juga dalam larik. Perhatikan kesamaan bunyi tersebut yang saya tandai dengan cetak miring berikut ini:
Dalam diri, hujan tiba-tiba:/selangkah lagi, kakimu adalah puisi.
Dan aku harus pergi, membelah diri/sebelum sepi

Betapa, menduga jarak di jengkal tanganmu/jauhnya tak hilang di ujung jalan.
Mataku, semangat anak-anak malam yang/membaca teka-teki ini, bagai layang-layang/melenggang di tengah lengang.

Dalam diri, hujan menderas:/beribu langkah, menapak basah.
Cukuplah setetes darah/melukai sejarah?

Perhatikan kata-kata: selangkah lagi/membelah diri/sebelum sepi, atau: betapa menduga jarak di jengkal … malam yang/bagai layang-layang/melenggang di tengah lengah, atau juga: langkah/basah/cukuplah darah/melukai sejarah//

Demikianlah, MZ di sana-sini begitu banyak memanfaatkan enjambemen semata-mata untuk membangun persajakan atau keindahan bunyi. Pemanfaatan enjambemen itu juga barangkali dimaksudkan agar MZ dapat lebih leluasan membuat metaforanya atau justru untuk menyembunyikannya sekaligus. Untuk menggambarkan betapa pendek dan singkatnya ketika kita menghitung-hitung usia kehidupan, misalnya dikatakan bagaikan jengkal tangan. Tetapi, semangat untuk mencari jawaban segala misteri kehidupan tetap tidak surut, yang dikatakannya: Mataku, semangat anak-anak malam yang tak pernah tidur karena menyadari kehidupannya berada pada malam hari. Dan semangat untuk mendapat jawaban itu dikatakannya, bagai layang-layang/melenggang di tengah lengang.

Dalam beberapa puisinya, tampak adanya jejak Amir Hamzah dan Chairil Anwar, meskipun tidak begitu menonjol. Tetapi dalam hal penciptaan metafora dan usaha menyelimuti pesan ideologinya, puisi-puisi MZ agak dekat pada apa yang pernah dirintis Toto Sudarto Bachtiar mengenai apa yang disebut puisi gelap. Dalam hal ini, MZ tak terjerumus pada kekrumitan yang tak perlu. Dengan begitu, kita masih dapat menikmati puisi itu dan tak terlalu sulit memahaminya jika kita mencoba menghayatinya lebih jauh.
***

Membaca LNP dan coba membuat apresiasi terhadapnya, dalam banyak hal, harus diakui, memberi keasyikan tersendiri. Asosiasi bebasnya membawa kita ke berbagai tempat, peristiwa, dan perkara yang ringan dan berat, bergantung dari perspektif mana kita memasukinya. Dalam konteks kepenyairan Riau, MZ melenggang sendiri, seperti tak terpengaruh pada tarikan kekuatan penyair di sekitarnya. Meski begitu, sebagai makhluk sosial yang dilahirkan dari sebuah tradisi besar puak Melayu, ia terus-menerus dibayangi masa lalu yang disadari tak kuasa ditinggalkannya. Dan itu dirasakan benar sebagai problem psikis manakala ia berada di luar puaknya. Tradisi dan masa lalu seperti telah menyatu dengan masa kini dan masa depan. MZ telah menjelma menjadi manusia pascatradisional, begitu menurut Anthony Giddens yang menempatkan betapa kuatnya pengaruh tradisi dalam diri seseorang.

Sampai di situ, muncul pertanyaan –dan ini yang justru agak mengganggu: begitu pentingkah tokoh-tokoh asing macam Jocasta, Cleopatra, atau Oedipus dihadirkan di sana (“Nocturno Burung Api”) padahal tanpa mereka pun, puisi itu bisa hidup sehat dan cerdas. Demikian juga dengan kata nocturno, sepertinya punya makna sangat khas dan ajaib, sehingga tak dapat diganti dengan ‘pada malam hari’ atau ‘malam’. Tanpa kata asing pun, tokh ia sudah merasa terasing, sehingga ia lebih banyak bergumam reflektif. Atau, itukah ciri manusia pascatradisional yang berada dalam transisi menuju modern?

Terlepas dari perkara itu, dalam konteks strukturalisme, LNP jelas telah membangun dirinya dengan berbagai perlengkapannya. Kekayaan penciptaan metafora, paradoks atau majas yang lain, tidak hanya memancarkan keindahan puitik, tetapi juga menghadirkan apa yang disebut sebagai mukjizat komunikasi. Demikian juga citraan yang dibangunnya, terasa segar dan khas. Sekadar contoh, sebutlah, menyiangi usia, kabut mencuri angin, sekuntum sunyi, sejengkal lagi kekal, diam berarti terbenam. Bukankah pola-pola itu jauh dari klise dan MZ telah berhasil memanfaatkannya secara optimal. Satu usaha luar biasa yang menunjukkan keseriusan penyairnya yang menempatkan puisi sebagai salah satu alat perjuangan budaya.

Akhirnya, mesti saya katakan: Membaca LNP saya seperti memasuki deretan gerbong yang penuh berisi gagasan. Itulah kereta pikiran, dan MZ tidak menempatkan dirinya sebagai masinis. Lalu, siapakah masinisnya? Kita, –pembaca— yang bertindak sebagai masinis yang akan membawa kereta pikiran itu menuju tujuan masing-masing.

Nah!


*) Makalah Diskusi Majelis Jumat diselenggarakan Yayasan Pusaka Riau, 5 November 2004 di Gedung Akademi Kesenian Melayu Riau, Pekanbaru.

**) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.