Maman S. Mahayana
“Toeti Heraty adalah satu-satunya wanita penyair di tengah para penyair Indonesia mutakhir yang terkemuka.”[1] Demikian A. Teeuw mengawali komentarnya ketika memasuki topik pembicaraan Toeti Heraty di dalam konteks penyair Indonesia pasca-1966. Pernyataan kritikus sastra asal Belanda itu tentu bukan tanpa alasan. Ia memandang, kepenyairan wanita kelahiran Bandung, 27 November 1933 itu sangat khas. Oleh karena itu, ia punya tempat tersendiri di dalam peta kepenyairan Indonesia. Pendapat Teeuw yang terkesan melebih-lebihkan itu, menjadi sangat wajar manakala kita mencermati ulasannya atas sajak “Cocktail Party”. “Dari semua sajak yang saya sukai dan (saya) pilih untuk pembicaraan kumpulan ini barangkali sajak Cocktail Party-lah yang paling sulit dikupas.”[2] Selanjutnya, Teeuw mengatakan: “...barangkali sajak inilah yang paling rumit, yang paling banyak memerlu-kan analisa dan penafsiran di berbagai tingkat sekaligus.”[3]
Nada yang sama dengan ungkapan yang berbeda, dikemukakan pula Budi Darma dalam Kata Pengantar antologi Nostalgi = Transendensi.[4] Di akhir Kata Pengantar itu, Budi Darma mengatakan: “Toety Heraty sanggup menjadikan sajak-sajak dia benar-benar menjadi miliknya sendiri. Sebagai penyair dia merupakan sosok tersendiri. Dalam tulisan “Sajak-Sajak Toeti Heraty” (Horison, Oktober 1967, hlm. 308), Subagio Sastrowardoyo[5] juga menyatakan bahwa Toeti Heraty sanggup berdiri di luar arus, dan karena itu tidak sama dengan penyair-penyair lain.”[6]
Komentar kritikus-kritikus itu tentu saja boleh kita setujui, boleh juga tidak. Tak ada larangan untuk itu. Meskipun demikian, seperti juga penyair yang diizinkan untuk mengolah apapun menjadi miliknya sendiri, kita, pembaca dan penikmat sastra, juga punya hak yang sama. Perbedaan pandangan dan penafsiran atas sebuah teks sastra, dimungkinkan lantaran kompleksitas dan kuatnya ketaksaan yang melekat dalam diri teks sastra itu sendiri. Bahkan, di dalam karya-karya sastra apapun, terlebih lagi puisi, selalu terbuka peluang lahirnya penafsiran dan pemaknaan yang beraneka ragam, dan ketika karya itu dibaca ulang, sangat mungkin pula akan lahir makna baru yang tiba-tiba muncul dan mengganggu pikiran kita. Begitulah penafsiran dan pemahaman atas sebuah teks, sering kali sangat tergantung pada pengalaman pembacanya.
Dalam hal itulah, teks sastra menjadi sesuatu yang hidup, yang merepotkan kita mencari berbagai alat untuk membongkarnya, mengisi bagian-bagian yang terbuka, dan mengungkapkan apapun yang tersembunyi. Bahwa di dalam pelaksanaannya kita berhasil atau gagal, itu soal lain lagi. Kegagalan atau keberhasilan dalam konteks ini, tidaklah berhubungan dengan soal salah-benar, melainkan berkaitan dengan tingkat apresiasi dan latar belakang pengalaman masing-masing. Yang pasti, apapun yang kita kerjakan dalam memperlakukan teks sastra, hakikatnya tidak lain adalah pengejawantahan apresiasi kita selaku pembaca yang hendak menempatkan teks itu secara proporsional.
***
Antologi Nostalgi = Transendensi karya Toeti Heraty ini berisi 78 buah puisi yang dihasilkannya dalam kurun waktu lebih dari dua dasawarsa. Sebelum itu, ia telah menerbit-kan antologi Sajak-Sajak 33 (1973) dan Mimpi dan Pretensi (1982). Kiprah kepenyairannya sendiri telah dimulai sejak enam buah puisinya dimuat majalah Horison, Oktober 1967. Selepas itu, puisinya banyak dimuat di majalah Budaja Djaja (1968, 1970, 1974), Sastra (1969), Basis (1979), dan Zaman (1980).[7] Sejumlah besar puisinya yang terdapat dalam Nostalgi = Transendensi pernah dimuat di majalah-majalah tersebut.
Membaca dan mencoba mencermati antologi Nostalgi = Transendensi, kita seolah-olah dibawa oleh sebuah arus besar yang bernama kegelisahan; kegelisahan seorang pencari yang tak pernah jumpa; penanya yang tak pernah dapat jawaban; dan pemikir yang tak hendak berhenti berpikir. Sebagian besar, direfleksikannya lewat potret galau perasaan dan gagasannya yang terkadang sangat ironis, bahkan paradoksal; atau sekadar menumpahkan kegetirannya melalui gambar-gambar orang lain. Maka, pada saat tertentu, mungkin saja ia menempatkan dirinya selaku subjek, dan pada saat yang lain sekaligus juga sebagai objek, atau bertindak sepenuhnya sebagai subjek, meski objek yang diamatinya memantulkan kepedihan bagi dirinya sendiri.
Berbeda dengan penyair wanita sebelumnya, M. Poppy Hutagalung yang lebih ba-nyak menghasilkan sajak-sajak yang halus dan bersifat liris, atau sebagaimana dikatakan A. Teeuw, “lebih menunjukkan perasaannya yang lembut dan saleh ketimbang kreativitas kepenyairannya,” Toeti Heraty terkadang sengaja mempermainkan imajinasinya secara agak liar. Citra kewanitaan yang dilekatkan dalam diri aku liris, nyaris tidak pernah ditampilkan dalam gambaran yang lemah-lembut dan penuh pemaafan, melainkan dengan nada protes jika berhadapan dengan lawan jenis atau ironis jika memandang keterbodohan sejenisnya. Cara pengucapan Toeti Heraty pun sangat berlainan dengan penyair wanita sezamannya, semisal Isma Sawitri,[8] Diah Hadaning,[9] atau Susy Aminah Azis.[10]
Yang cukup menonjol dalam pengucapan Toeti adalah kentalnya kontemplasi dan perenungan atas masalahnya sendiri atau atas objek tertentu yang kadang-kadang justru membelit menjadi persoalannya sendiri ketika ia dikembalikan kepada pengalaman pribadi. Dalam sebagian besar puisinya, imaji yang dibangunnya menjadi sangat personal yang tidak jarang pula membangun perenungan filosofis. Inilah salah satu faktor yang menyebabkan kita --pembaca-- sering kali mengalami kesulitan untuk memahami puisi-puisi Toeti. Jika Teeuw[11] mengalami kesulitan memahami “Cocktail Party” lantaran ada tingkatan-tingkatan tertentu dalam proses pemahaman dan pemaknaannya, maka bagi saya justru karena kuatnya perenungan filosofis dan imaji personal yang menjadi alat ucapnya.
Kesulitan itu menjadi makin merepotkan ketika kita mencermati bentuknya. Tampak di sini, Toeti mengabaikan begitu saja ketentuan bait atau korelasi antar-larik. Ia lebih men-dahulukan gagasan. Boleh jadi, ia memperlakukan itu karena memang sengaja hendak mem-bebaskan gagasan dari ikatan-ikatan bentuk. Jadi, pemakaian enjambemen yang terdapat di sana-sini dalam sebagian besar puisi Toeti, tetap saja kurang begitu membantu ketika hendak menelusuri makna puisi bersangkutan. Bagaimana jelasnya persoalan itu? Mari kita telusuri!
***
Seperti telah disebutkan, antologi Nostalgi = Transendensi karya Toeti Heraty ini berisi 78 buah puisi. Secara tematis, ke-78 puisi itu mengangkat berbagai persoalan, meskipun keseluruhannya didominasi oleh tema yang menyangkut dan berkaitan dengan dunia wanita dengan berbagai problemnya. Dari ke-78 puisi itu, jika dikelompokkan berdasarkan cara pengucapan dan imaji yang hendak dibangunnya, maka kita akan menemukan bahwa sebagian besar (sekitar 60-an buah) puisinya menggambarkan suasana pikiran dan suasana hati.[12] Dalam beberapa puisinya, Toeti mencoba menggambarkan suasana pikiran atau suasana hati itu dengan memanfaatkan benda-benda alam, tetapi se-bagian besar dilakukan melalui pernyataan-pernyataan abstrak. Kesan yang kemudian mun-cul adalah sebuah ekspresi jiwa yang bersifat personal. Akibatnya, imaji yang dibangunnya juga cenderung bersifat personal.
Puisi pertama yang menjadi judul antologi ini “Nostalgi = Transendensi” misalnya sepintas lalu terkesan sebagai puisi yang mudah dipahami. Bahasanya enak dan setiap kata dalam urutan larik, disusun enteng seperti mengalir begitu saja. Tetapi, setelah pembacaan puisi ini selesai, timbul pertanyaan: “Lho, apa pesan yang hendak disampaikan puisi itu?” Nostalgi sama dengan transendensi/ sebuah penyimpulan yang sesungguhnya lahir dari proses panjang kegelisahan pikiran. Bagaimana kerinduan pada masa lalu, pada sesuatu yang sangat jauh, atau pada sesuatu yang mungkin sudah tidak ada lagi, diidentikkan begitu saja sebagai sesuatu yang bersifat rohani, gaib, dan abstrak (bersifat transenden). Dan kenyataan dalam hidup manusia memang demikianlah. Kita sering kali tiba-tiba saja merindukan sesuatu atau mengharapkan entah apa. Mengapa perasaan itu mendadak saja hadir dan mengganggu pikiran atau perasaan kita. Apakah kerinduan bisa direncanakan? Apakah perpisahan, baik yang direncanakan, maupun yang tidak direnca-nakan, dimaksudkan untuk menciptakan kerinduan? Semua merupakan sesuatu yang entah; tidak berjawab! Dan kepada kita, pembaca, penyair menyodorkan soalan itu melalui awal sebuah penyimpulan: Nostalgi sama dengan transendensi/
Larik-larik berikutnya: betul, ini permainan kata/lagi-lagi kata asing/tapi apa sih yang tidak asing/tapi itu hanya ilusi .... Seperti sebuah pertanyaan yang hendak dijawab dan dibenarkannya sendiri, penyair mencoba memberi argumen atas penyimpulan pada larik awal tadi. Tetapi kembali, argumen: betul, ini permainan kata/lagi-lagi kata asing, diterjang pula oleh soalan baru: /tapi apa sih yang tidak asing/ Di sini, kesan penyair yang seolah-olah bersoal-jawab sendiri itu, digugat kembali dan tampak penyair hendak memberi penyadaran, bahwa di sekeliling kita, terkadang keasingan atau munculnya sesuatu yang asing, bisa datang secara tiba-tiba, atau bahkan secara serempak. Ringkasnya, kehidupan manusia sering kali terpenjara oleh berbagai keasingan. Sampai di sini, kembali, penyair seolah-olah hendak memberi argumen yang lain: tapi itu hanya ilusi/ Ilusi sendiri --sesuatu yang berada di dalam pikiran atau angan-angan-- juga sesungguhnya merupakan masalah lain lagi. Kita tidak tahu persis, mengapa kita tidak dapat menghindar dari ilusi. Jadi, penyair secara sadar hendak mengganggu kita dengan argumen yang sebenarnya bermakna pertanyaan.
Dalam larik berikutnya, penyair kembali mengajak kita kepada soalan awal tadi: kembali pada nostalgi/berarti kehilangan/yang dulu-dulu dibayangkan/hanya tidak mencekam lagi, karena/lembut dengan ironi// Mengapa mesti lembut dengan ironi? Memang, jarang sekali kita protes pada sesuatu yang bertentangan dengan harapan jika hal itu hanya terjadi dan diciptakan oleh pikiran atau angan-angan kita sendiri. Dan penyair merumuskannya dengan sangat padat lewat enjambemen pada larik-larik: karena/ lembut dengan ironi//
Dalam tiga larik bait terakhir, penyair terkesan tidak lagi hendak mempersoalkan ihwal nostalgi. Dikatakannya: saat kini yang berkilas balik/siapa tahu nanti .../kini --dulu-- nanti, teratasi/bukankah itu transendensi? Sebuah penyimpulan baru dihadirkan, bersamaan dengan itu serangkaian soalan dimunculkan: siapa tahu nanti ... Dan ketika kita dapat meng-atasi berbagai persoalan itu, tiba-tiba hadir pula pertanyaan: bukankah itu transendensi?
Demikianlah, “Nostalgi = Transendensi” telah menjajakan serangkaian pertanyaan yang titik berangkatnya sengaja dimulai lewat penyimpulan-penyimpulan. Dalam konteks ini, penyair menangkap esensi kehidupan dan mencoba merumuskannya. Tetapi ketika itu mengganggu dan menggelisahkan pikirannya, ia mengeluarkan kembali kesimpulan itu yang bermuara pada pertanyaan. Jadi ia berangkat dari kesimpulan dan berakhir dengan pertanyaan. Bahwa pertentangan-pertentangan itu terjadi merupakan suatu keniscayaan yang tidak dapat dihindari manusia. Itulah ironi! Banyak hal yang kita harapkan, dan sering kali kenyataan berbicara lain. Jika kenyataannya seperti itu, majas apa yang paling tepat untuk mengungkapkannya? Toeti memilih ironi. Dengan begitu, penyair ini tidak hanya mengangkat problem manusia yang ironis, perilaku kaumnya yang sering kali juga sangat ironis, tetapi juga memanfaat majas itu untuk alat pengucapannya sekaligus. Itulah salah satu kekhasan kepenyairan seorang Toeti Heraty.
Sebagian besar puisi dalam Nostalgi = Transendensi cenderung menggambarkan suasana hati dan suasana pikiran yang gelisah seperti itu. Tampak juga di sini, kematangan menangkap problem dunianya, problem citra sesamanya, dan problem kemanusiaan secara universal, disajikan dengan gaya yang demikian. Akibatnya, ironi tidak hanya menjadi sangat menonjol, tetapi juga berpadu dan menjadi bagian dari tema-tema puisi bersangkutan. Dalam hal yang menyangkut sikap dan usaha memahami dan memaknai kehidupan, penyair gagal menyembunyikan kearifannya. Lewat ironi yang disampaikannya, kita masih dapat menang-kap kearifan penyair dalam memandang berbagai masalah dan pengalaman di sekitar dirinya.
***
Bahwa puisi-puisi Toeti Heraty dalam Nostalgi = Transendensi didominasi oleh citraan yang menggambarkan suasana hati dan suasana pikiran, tidaklah berarti tidak ada sama sekali puisi yang menggambarkan suasana tempat dan peristiwa. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, cermatilah puisi-puisinya yang berjudul “Wanita”, “Dua Wanita”, “Jogging di Jakara” dan “Balada Setengah Baya”. Keempat puisi itu, dapat dikatakan merupakan protes atau bahkan gugatan keras terhadap citra wanita yang dalam kacamata laki-laki selalu ditempatkan sebagai inferior. Yang menarik, penyair terkesan sekadar merekam atau memotret tanpa pretensi apa-apa. Sepertinya, penyair tidak hendak mela-kukan pemihakan, juga tidak mau menyampaikan fatwa-fatwa. Barangkali, ia sengaja se-kadar menyampaikan sebuah peristiwa atau mewartakan fakta yang justru telah menjadi pemandangan kita sehari-hari. Ia telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian kaum wanita. Inilah ironi kehidupan, jika tidak dapat dikatakan sebagai sebuah tragedi kehidupan kaum wanita. Dengan perekaman dan pewartawan yang seperti itu, kita, pembaca, malah justru diganggu-gugat rasa kepeduliannya.
Perhatikan kutipan sajak di bawah ini yang memperlihatkan kepiawaian Toeti Heraty dalam membangun imaji dan menyodorkan ironi tematis.
hari ini minggu pagi kulihat tiga wanita tadi
berjalan lambat karena kainnya kain berwiru
meninggalkan rumah depan menuju jalan
terlentang antara pohon palma berderetan
jari hati-hati memegang wiru kataku
sedangkan tangan lincah mengelus rambut rapi
kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi
belum lagi angin melambaikan selendang warna warni
Dua bait puisi di atas (“Wanita” hlm. 29) menggambarkan tiga wanita di hari Minggu pagi, keluar rumah menuju jalan yang di pinggirnya berderet pohon palma. Dengan hati-hati ketiganya berjalan bersijingkat. Lalu apa yang terjadi ketika selop ting-ginya menginjak kerikil? Dan pada saat yang bersamaan angin melambaikan selendang-nya. Mengapa penyair mengatakannya dengan: kenakalan kerikil menggoyahkan tumit selop tinggi/belum lagi angin melambaikan selendang warna warni, dan bukan jatuh terjerembab gara-gara menginjak kerikil, lalu kainnya tersibak lantaran diterjang angin? Dalam hal ini, penyair sengaja menciptakan imaji yang merangsang kita, pembaca, untuk membayangkan apa yang terjadi lantaran kerikil dan angin.
Dalam bait-bait berikutnya puisi itu, asosiasi kita dibawa pada peristiwa yang menggambarkan kerepotan mereka membawa diri, tawar-menawar dengan tukang beca, dan perjuangan mereka mencapai tempat tujuan: arisan! Bagi ketiga wanita itu, itulah keriangan, keasyikan dan dinamika kehidupan mereka. Sebaliknya, bagi si aku liris, peristiwa itu, justru merupakan pilu yang tak tersembuhkan lantaran mereka tidak menyadari peranannya sebagai wanita, sebagai manusia. Sungguh ironis!
Ironi yang juga sangat kuat, dapat kita jumpai dalam puisi “Balada Setengah Baya”. Penggambaran perselingkuhan sepasang manusia setengah baya yang terjadi di sebuah penginapan --dua jam saja-- dalam puisi ini, sungguh kaya dengan imaji: kondisi hotel yang memilukan, suasana di dalam dan di luar hotel yang tidak bersahabat, kencan yang berlangsung tergopoh-gopoh, dan akhirnya ditutup dengan kemafhuman si pelayan hotel: “tadi kamar sudah dibayar, ini kembalinya/sekalian handuk kami antar/lantas mau pesan minum apa?”//
Dalam puisi itu, penyair terkesan sekadar memotret peristiwa, suasana, dan tempat berlangsungnya perselingkuhan itu. Tetapi dunia persekitarannya tak ada yang peduli. Peristiwa yang sesungguhnya dapat dimaknai sebagai pelecehan terhadap perkawinan, harga diri manusia, dan ajaran agama itu, dianggap sebagai sesuatu yang sangat lumrah. Bahkan pelayan hotel pun tak punya hati untuk mempersoalkannya. Sungguh ironis.
***
Pembahasan ringkas puisi-puisi Toeti Heraty ini, tentu saja sangat tidak memadai. Meskipun begitu, duduk soalnya bukanlah di situ. Masih terlalu banyak pertanyaan yang niscaya bakal merepotkan kita jika kita mencermati puisi-puisi yang termuat dalam antologi ini. Hampir semua puisinya sangat enak dibaca, tetapi kembali, kita akan terkejut sendiri, betapa derasnya serangkaian pertanyaan menerjang kita manakala kita berusaha memahami pesan dan maknanya.
Jika kita hendak menempatkan antologi Nostalgi=Transendensi sebagai antologi puisi yang memberi penikmatan estetik, tentu saja antologi ini menawarkan banyak hal. Akan tetapi, sebagai antologi yang memberi pemahaman tematis, diperlukan pembacaan yang berulang-ulang. Dengan cara itu, kadang kala, puisi yang bersangkutan berbaik hati, membukakan jalan yang agak berkelak-kelok dan memberi pencerahan, dan mengajak kita menuju ke maknanya, meskipun dalam sejumlah puisi tertentu, diperlukan pula alat bantu lain yang bernama wawasan. Percaya atau tidak, silakan simak sendiri!
msm/23/11/2000
---------------------------------------------
[1] A. Teeuw, Sastra Indonesia Modern II, Jakarta: Pustaka Jaya, 1989; hlm. 129.
[2] A. Teeuw, Tergantung pada Kata, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980; hlm. 78.
[3] Ibid.
[4] Budi Darma, “Sosok Toeti Heraty,” dalam Toeti Heraty, Nostalgi = Transendensi, Jakarta: Grasindo, 1995.
[5] Subagio Sastrowardoyo sendiri tidak mengatakannya di luar arus, melainkan di luar mainstream persajakan modern kita. Tulisan di Horison itu kemudian dimuat lagi dalam buku Subagio Sastrowardoyo, Pengarang Modern sebagai Manusia Perbatasan, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 180.
[6] Budi Darma, Loc. Cit., hlm. xiv.
[7] Periksa Ernst Ulrich Kratz, Bibliografi Karya Sastra Indonesia dalam Majalah, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988, hlm. 350--351.
[8] Sajak-sajak Isma Sawitri sebagian besar masih bertebaran di berbagai majalah. Beberapa di antaranya termuat dalam sejumlah antologi bersama. Korrie Layun Rampan pernah mengulas serba sedikit puisi-puisinya dalam Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1997, hlm. 149--190. Dalam buku ini, Korrie juga membincangkan karya-karya 30 penyair wanita Indonesia, mulai dari Nursyamsu sampai Nenden Lilis. Di dalamnya ada juga pembicaraan puisi-puisi Toeti Heraty, terutama yang terdapat dalam Mimpi dan Pretensi (Jakarta: Balai Pustaka, 1982), berisi 64 buah puisi.
[9] Diah Hadaning telah menghasilkan beberapa antologi, di antaranya, Surat dari Kota (mendapat penghargaan dari Gapena, Malaysia, 1980), Balada Sebuah Nusa (1979), Jalur-Jalur Putih (1980), Pilar-Pilar (1981), Balada Sarinah (1985), dan Sang Matahari (1986).
[10] Susy Aminah Azis menghasilkan beberapa antologi, di antaranya, Seraut Wajahku (1961) sebuah antologi yang masih memperlihatkan romantisisme, lalu Tetesan Embun (1977) dan Wajah Penuh (1980).
[11] A. Teeuw, Tergantung pada Kata, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, hlm. 78--79.
[12] Mengenai puisi yang seolah-olah sekadar menggambarkan suasana, beberapa kritikus mema-sukkannya ke dalam kotak puisi suasana. Toto Sudarto Bachtiar dan Ajip Rosidi termasuk dua di antaranya yang kuat sekali penggambaran suasananya. Lantaran yang hendak digambarkan hanya suasana, maka puisi-puisi seperti ini, cenderung agak sukar dipahami. Imaji yang dibangun dalam puisi-puisi sejenis ini sulit dikaithubungkan dengan sesuatu. Itulah sebabnya, untuk puisi-puisi yang seperti itu, ada juga yang menyebutnya sebagai puisi gelap, yaitu puisi yang sukar ditangkap pesan dan maknanya.
Jumat, 17 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar