Maman S. Mahayana
Pembicaraan mengenai fungsi latar dalam puisi, sejauh ini jarang sekali kita jumpai. Padahal pembicaraan mengenai masalah itu penting artinya untuk memahami makna puisi sebagai kesatuan estetik. Seperti juga latar dalam drama atau novel, latar dalam puisi berhubungan dengan penyebutan nama tempat, angka tahun, dan penggambaran suasana dan situasi sosial tertentu. Dalam hal ini, penghadiran latar oleh penyairnya tentu bukan tanpa maksud. Ada sesuatu yang sengaja hendak disampaikan, baik untuk kepentingan keindahan puitik, maupun untuk memperkuat tema yang disampaikannya. Oleh karena itu, jika ada puisi yang di dalamnya terdapat nama tempat, angka tahun dan peristiwa atau suasana tertentu, kita dapat menganalisisnya berdasarkan itu. Sebagai bahan apresiasi, berikut ini akan dikutip lengkap puisi Taufiq Ismail yang berjudul “Catatan Tahun 1965”:
Di lapangan dibakari buku
Mesin tikmu dibelengu
Piringan hitam dipanggang
Buku-buku dilarang
Kita semua diperanjingankan
Gaya rabies klongsongan
Hamka diludahi Pram
Masuk penjara Sukabumi
Jassin dicaci diserapahi
Terbenam daftar hitam
Usman dimaki Lentera
Takdir disumpahi Lekra
Sudjono dicangkul BTI
Nasakom bersatu apa
Umat dibunuhi di desa
Kanigoro bagaimana lupa
Kus Bersaudara dipenjara
Mochtar masih diterungku
Osram bungkuk meringkuk
Jalan aspal kubangan
Minyak tanah dikemanakan
Rebutan beras antrian
Siapa mati kelaparan
Inflasi saban pagi
Pidato tiap hari
Maki-maki sebagai gizi
Bahasa carut diperluaskan
Beatles Gondrong dipersetankan
Pita suara dimatirasakan
Susunan syarat dianstesi
Genjer-genjer jadi nyanyian
Tari perang dipamerkan
Warna merah dikibarkan
Warna hitam di kalbukan
Pawai garang digenderangkan
Kolone kelima disusupkan
Sarung siapa dilekatkan
Matine gusti-Allah dipentaskan
(Pawai HUT PKI, 23 Mei 1965)
Judul puisi tersebut jelas mengacu pada angka tahun1965. Jadi, apa yang hendak disampaikan penyair adalah peristiwa yang terjadi pada tahun itu. Dalam hal ini penyair berhasil memotret, dan tidak sekadar mencatat, peristiwa sosial politik dan budaya pada masa itu dengan amat cermat, transparan, namun sama sekali tidak terjerumus pada bentuk propaganda. Penghadiran peristiwa dan nama tokoh yang tetap dengan mempertahankan keindahan puitik, justru memperkuat suasana yang hendap diangkat penyair.
Bentuk kata kerja pasif, seperti dibakari, dibelengu, dipanggang, dilarang misalnya, secara semantis menyiratkan bahwa dalam peristiwa itu, ada yang membakar dan dibakar; membelengu-dibelengu; memanggang-dipanggang; melarang dan melarang? Jelas! Pihak itu yang bertindak lebih aktif-agresif. Penyair, betapapun hanya memotret apa adanya, gaya sinisnya memperkuat suasana huru-hara, ganas-panas, dan kacau-balau. Betapa rusuhnya keadaan pada tahun 1965 di negeri ini. Betapa sadis-ganasnya Lentera, Lekra, BTI, dan corong PKI lainnya menggilas siapa pun yang tak sepaham.
***
Demikianlah, dalam puisi Taufiq Ismail, latar waktu (1965) berfungsi mendukung tema dan menciptakan suasana peristiwa masa itu. Oleh karena itu, tepat sekali penyair menampilkan dengan gaya yang amat sinis. Penuh semangat perlawanan, pemberontakan pada keadaan sosial-politik-budaya yang terjadi waktu itu. Hal yang sama dengan tema berbeda, juga sering dilakukan Sapardi Djoko Damono. Penghadiran latar yang berfungsi memperkuat suasana tampak pula dalam salah satu puisinya, “Air Selokan”:
“Air yang di selokan itu megalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung—ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.
Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu—alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilau hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.
Perhatikan latar waktu yang digunakan penyait: hari minggu pagu/waktu itu (bait 1); dulu/waktu kau lahir (bait 2); tadi sore (bait 3); senja ini (bait 4). Latar waktu dalam puisi ini penting artinya dan berfungsi mengungkapkan perjalanan sejarah sebuah selokan. Dulu, air selokan itu bersih dan dapat digunakan untuk memandikan bayi. Setelah ada rumah sakit, ibu yang sedang mengandung malah hampir muntah lantaran bau sengit air selokan itu; kata “sengit” sangat tepat untuk menunjukkan bau yang amat sangat. Tadi sore, ada mayat dimandikan; tentu airnya mengalir ke selokan itu. Senja ini ada dua anak buang hajat. Ringkasnya, air selokan yang dulu bersih kini sudah sedemikian kotor dan bau luar biasa.
Latar waktu yang memperlihatkan proses perjalanan sejarah selokan itu, diperkuat pula dengan latar tempat (rumah sakit dan kamar mayat) dan latar material (darah dan amis baunya, mayat kamar mati, ada nyawa lagi terapung-apung, yang berkilau-kilauan hanyut, dan air yang anyir baunya). Rumah sakit dan kamar mayat menciptakan suasana yang serba tidak menyenangkan. Pada bait pertama, rumah sakit dikontraskan dengan minggu pagi dan kau berjalan-jalan bersama istrimu yang mengandung. Penghadiran suasana yang bertolak belakang itu, ditegaskan kembali dengan kalimat: ia hampir muntah bau sengit itu.
Pada bait kedua, gambaran yang disampaikan penyair bahwa dulu air selokan itu bersih dan dapat digunakan untuk memandikan bayi, didukung oleh penghadiran latar material; campur darah dan amis banunya. Jadi, yang bau bukanlah air selokan itu, melainkan darah bekas melahirkan. Airnya sendiri bersih dan tidak bau.
Bait ketiga, latar waktu tadi sore yang menyiratkan usia menjelang senja-kematian-kalimat-terasa lebih dramatis dengan adanya mayat yang dimandikan di kamar mati.
Keadaan air selokan yang makin kotor dan bau itu, lengkap sudah dengan dua anak yang buang hajat; ada nyawa lagi terapung-apung; alangkah indahnya; yang berkilau-kilauan hanyut; air yang anyir baunya yang digambarkan pada bait ketiga. Jadi, dalam hal ini, sudah terjadi pencemaran air yang sudah lewat batas ambang. Dalam hal itu, latar waktu, material, tempat, dan suasana secara fungsional menghadirkan masalah pencemaran lingkungan yang pada suatu saat bakal membawa dunia ini ke dalam kehancuran total.
***
Pemahaman latar waktu, tempat, dan material yang berfungsi untuk menciptakan suasana tertentu yang mendukung tema dan makna keseluruhan puisi, sebagaimana tampak dalam puisi Taufiq Ismail dan Sapardi Djoko Damono, menjadi penting saat menjumpai puisi-puisi simbolik. Perhatikan puisi “Malam Lebaran” karya Sitor Situmorang.
Bulan di atas kuburan
Puisi pendek ini sesungguhnya amat kaya dengan suasana yang penuh kemurungan, kesepian, kerinduan, kematian, melankolis, dan tragedi. Judul “Malam Lebaran” yang bagi umat Islam merupakan malam kemenangan seusai berperang melawan hawa nafsu (ramadhan), dikontraskan dengan kuburan (simbol kematian). Jadi, bagi Sitor, malam yang bagi umat Islam sebagai saat mencapai kemenangan, kegembiraan, dan pengagungan kepada Allah, dipandangnya sebagai malam kematian, kesepian, tragedi.
Dari sudut itu, penghadiran latar waktu (malam lebaran) dan latar tempat (kuburan), jelas tidak fungsional, malahan amat kontradiktif. Meski begitu, kita dapat memahami mengapa Sitor berpandangan demikian. Masalahnya dapat kita kembalikan pada sikap keimanan penyair. Akan sangat berbeda jika penyairnya menghayati betul naluri-naluri keislaman. Kesalahan fatal itu, makin jelas kita hubungkan malam lebaran dengan bulan. Mungkinkah bulan muncul pada malam lebaran (1 Hijriah), padahal kemunculannya terjadi pada setiap tanggal 14-15 Hijriah? Jelalah, bahwa pemahaman latar dalam puisi, sangat penting artinya sebagai usaha memahami keseluruhan makna dan tema puisi itu sendiri sebagai kesatuan estetik.
Selasa, 14 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar