Selasa, 14 Oktober 2008

CHAIRIL ANWAR ATAU SUTARDJI CALZOUM BACHRI

Maman S. Mahayana

Chairil Anwar telah menjadi sejarah. Puisi-puisinya dipandang telah berhasil menghancurkan konsep bentuk konvensional; persoalan seputar larik dan bait, tidak lagi menjadi syarat sebuah puisi. Ia juga menawarkan kemungkinan pemanfaatan bahasa sehari-hari sebagai sarana ekspresi yang memberi ruang yang lebih luas bagi penyair. Dengan begitu, penyair leluasa dan bebas mengumbar gagasan kreatifnya.

Pengaruhnya memang segera kelihatan. Puisi seperti dapat mewakili kegelisahan penyair atas berbagai problem sosial budaya yang terjadi di sekitarnya. Puisi tidak lagi bercerita tentang dunia di entah-berantah. Model bahasa masa lalu yang menjadi dasar puitika Pujangga Baru, makin surut ke belakang dan seperti barang antik yang dipajang di ruang tamu, sekadar penyedap pandangan atau pengindah ruangan, tetapi tak dapat digunakan untuk urusan rumah tangga. Ia menjadi sesuatu yang penting, tetapi tak fungsional menerjemahkan fakta sosial dalam kehidupan real.

Langkah Chairil Anwar sesungguhnya tidak sendirian. Ia membangun komunitas yang kemudian menghasilkan sebuah gerakan estetik. Pada pertengahan 1946, atas usaha Chairil Anwar, sejumlah seniman antara lain, Asrul Sani, Baharuddin, Basuki Resobowo, Henk Ngantung, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, Mochtar Apin, dan M. Balfas, bertemu dan coba merealisasikan pendirian perkumpulan kebudayaan (kunstkring) Gelanggang Seniman Merdeka. Ada persoalan ideologis di belakang pembentukan perkumpulan ini. Semangatnya membuat sintesis atas simpang-siur konsepsi kebudayaan Indonesia yang terjadi dalam Polemik Kebudayaan.

Pada tanggal 19 November 1946, lahirlah preambul Gelanggang. Isinya seolah-olah menyuarakan élan baru dengan menolak semangat Pujangga Baru dan menggantikannya dengan kesadaran membangun kebudayaan Indonesia atas usaha dan kemampuan sendiri dengan tidak melupakan peninggalan kekayaan cultural nenek-moyang. Perkumpulan ini lalu mengklaim diri sebagai Generasi Gelanggang. Jelas, Chairil tidak bergerak sendirian. Gerakan estetik Angkatan 45, dirumuskan bersama sebagai bentuk perlawanan atas generasi sebelumnya, dan sekaligus sebagai kesadaran menyikapi terjadinya perubahan kehidupan sosial-politik di Tanah Air.

Dalam preambul Anggaran Dasarnya itu, dinyatakan bahwa Generasi Gelanggang lahir dari pergolakan roh dan pikiran yang sedang mencipta manusia Indonesia yang hidup. Generasi yang harus mempertanggungjawabkan dengan sesungguhnya penjadian bangsa ini. Oleh karena itu, ia harus melepaskan diri dari susunan lama yang telah mengakibatkan masyarakat yang lapuk. Ia juga harus berani menentang pandangan, sifat dan anasir lama itu untuk menyalakan semangat dan bara kekuatan baru. Semangat, elan, dan sikap Generasi Gelanggang ini lalu dirumuskan dalam sebuah surat terbuka yang diberi nama Surat Kepercayaan Gelanggang, bertarikh 18 Februari 1950, hampir setahun setelah Chairil Anwar meninggal.

Sebelum itu, Chairil Anwar, Rivai Apin, dan Asrul Sani menerbitkan sebuah antologi bersama yang berjudul Tiga Menguak Takdir (1949). Seperti pisau bermata dua, buku ini secara idealis, menolak gagasan Alisjahbana tentang kemutlakan menatap Barat, dan di lain pihak sesungguhnya melanjutkan gagasan itu, meskipun dengan memberi tekanan pada harga diri untuk tidak menerima secara membuta-tuli semua yang datang dari Barat. Meskipun begitu, baik mukadimah Anggaran Dasar Generasi Gelanggang, maupun Surat Kepercayaan Gelanggang, secara jelas masih memperlihatkan adanya jejak pemikiran Alisjahbana. Dengan demikian, Generasi Gelanggang pada dasarnya justru melanjutkan kembali perjuangan Alisjahbana.

Dalam berbagai pembicaraan Angkatan 45, Surat Kepercayaan Gelanggang dianggap mewakili sikap pendirian dan wawasan estetik mereka. Dalam hal ini, meski dalam soal penerimaan pengaruh Barat, kita masih dapat menelusuri jejak Alisjahbana, demikian juga pandangan mengenai tradisi masa lalu yang dikatakan “tidak ingat kepada me-laplap hasil kebudayaan sampai berkilat... tetapi memikirkan kebudayaan baru yang sehat,” angkatan ini tampak lebih reflektif dan berhasrat menggali kemampuan sendiri. Jadi, di satu pihak Angkatan 45 menolak estetika Pujangga Baru, dan di lain pihak meneruskan semangat Sutan Takdir Alisjahbana dengan kemasan yang lain.

Sejumlah besar puisi Chairil Anwar dan para penyair sezamannya, menunjukkan sikap ambivalesi itu. Persoalan bentuk memang berhasil dihancurkan, tetapi tokh tidak sedikit pula penyair, termasuk Chairil Anwar sendiri, yang masih memanfaatkan pembagian bait dan bentuk persajakan zaman Pujangga Baru. Dalam hal pencapaian estetik, Chairil Anwar berada di atas penyair sezamannya. Capaian estetik itu kemudian seperti trend baru dalam perpuisian Indonesia. Asrul Sani, Toto Sudarto Bachtiar, Dodong Djiwapradja, Ajip Rosidi, adalah beberapa penyair waktu itu yang berhasil dengan sangat baik mengembangkan kecenderungan itu.
***

Sampai tahun 1970-an, reputasi Chairil Anwar tetap menjulang sendiri seperti sebuah monumen yang tak tergoyahkan. Munculnya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) awal tahun 1970-an, memang menggebrak jagat perpuisian, bahkan kesusastraan Indonesia. Tetapi kebesaran dan reputasi Chairil Anwar tetap terjaga dalam satu kotak dan SCB berada dalam kotak yang lain. Kredo puisi SCB yang diproklamasikan 30 Maret 1973, masuk pula dalam kotak itu. Berbagai tanggapan bermunculan, tetapi tidak ada yang coba membandingkan kebesarannya dengan Chairil Anwar. Bahkan A. Teeuw dan Umar Junus, menyebutkan puisi SCB, seperti POT atau SHANG HAI dan puisi SCB lainnya yang semodel dengan itu sebagai tak ada artinya.

Sejumlah penyair senior juga tiba-tiba seperti mengalami sindrom buah apel, yaitu ketika seorang melabeli anggur yang menggantung di atas kepalanya sebagai masam, karena ia tidak sanggup meraihnya. Sesungguhnya, sejauh manakah capaian estetik SCB? Relevankah kita mambandingkan monumen yang telah ditancapkan Chairil Anwar dengan monumen (: capaian estetik) SCB? Mari kita cermati lebih jauh, siapakah gerangan sosok Sutardji Calzoum Bachri itu?
***

Di manakah tempat SCB dalam panggung kesusastraan Indonesia. Begitu pentingkah peranannya sehingga kebesaran Chairil Anwar layak menjadi ukuran untuk melihat kebesaran SCB? Sekadar catatan kecil, tulisan ini coba mengungkap sisi lain sosok SCB dan capaian estetik yang ditancapkannya.

Sutardji Calzoum Bachri bukan prototipe penyair yang membangun kerajaannya di atas kepala penyair yunior. Ia tak membesarkan diri lewat serangkaian wacana dan diskusi omong kosong. Ia tak punya komunitas yang memanggul dan menggotong dirinya ke segala pelosok. SCB bukan penyair yang gemar menebarkan uang, budi-jasa, dan pengaruh, agar karyanya mendapat sanjungan dan puja-puji. SCB tak punya kerajaan dan komunitas. Ia sendirian, tanpa serdadu, tanpa anak buah yang menjilati pantatnya. Ia sendirian dan tak suka kasak-kusuk. SCB tak punya karyawan yang dapat seenaknya dicekoki, diintimidasi, dan ditakuti bayang-bayang pemecatan. Ia sungguh sendirian dan tak peduli pada apa pun yang berkaitan dengan jaringan, komunitas, armada dan pesekongkolan yang saling membesarkan.

O, Amuk, Kapak, dan kredonya yang fenomenal dan monumental, antologi cerpen, Hujan Menulis Ayam, esai yang bertebaran, puisi-puisi yang terbaru yang masih berserakan, dan aksi panggungnya ketika membaca puisi, cerpen, atau ketika menyampaikan kecerdasan gagasannya, itulah kerajaannya. SCB membangun kerajaannya semata-mata karena karya dan aksi panggungnya. Ia membangun republik puisi di atas karya sendiri. Fenomena SCB tiba-tiba bagai badai yang menghempaskan para birokrat dan makelar kesusastraan dan kebudayaan. SCB terbang bersama karyanya. Menciptakan gempa yang meruntuhkan bangunan lama. Di atas reruntuhan itu, karya-karyanya menjulang sendirian, tanpa saingan, menjadi monumen. Para epigon pun gagal. Para pembebek terperosok pada lubang yang digalinya sendiri. Maka, jika kemudian SCB memproklamasikan diri sebagai Presiden Penyair, itu sudah hukum estetika.
SCB melahirkan karya-karyanya sendiri yang menggelinding, melindas, melibas, menerabas, melompat-lompat, dan menerbangkan penyairnya melayang-layang di puncak gunung. Dari sanalah, mereka yang tak punya sayap, menciptakan sindrom buah apel. Dari sanalah mereka menyalahkan lantai lantaran tak bisa berdansa. Mereka gemas, kesel, iri, tetapi SCB dengan karyanya, tetap bergeming, dan sekaligus terus menggelinding, bergerak melingkar macam spiral.

Karya-karya SCB sungguh telah membesarkan penyairnya. Bahkan, membesarkan kharisma dan wibawa kesusastraan Indonesia secara keseluruhan. Kultur etnik tiba-tiba terangkat. Tradisi serempak jadi bahan pencarian. Tipografi jadi asesori penting. Kata-kata—bahasa segera jadi alat permainan dan sekaligus ukuran kualitas kesastrawanan. Puisi serta-merta menjadi pentas bergengsi. Pembacaan puisi segera bergerak, membentuk pementasan artistik yang bermartabat. Pembacaan puisi menjadi pagelaran produk budaya yang asyik ditonton!
Dalam pentas dunia, Sastra Indonesia kini tak lagi sebagai warga sastra dunia, melainkan menjelma bagian dari sastra dunia itu sendiri. Maka, ketika para pengamat sastra Indonesia –dalam dan luar negeri—secara seksama mencermati karya-karya SCB berikut kiprah kesastrawanannya selama hampir empat dasawarsa ini, Chairil Anwar tiba-tiba surut ke belakang. Berada dalam cengkeraman ngiau Tardji.

Dari sudut pandang, perspektif dan pendekatan disiplin ilmu apa pun, melalui berbagai kajian yang telah dilakukan, hanya satu kesimpulan yang paling pas menempatkan Sutardji Calzoum Bachri:
Sutardji Calzoum Bachri lebih besar dari Chairil Anwar!

Tidak ada komentar: