Selasa, 14 Oktober 2008

SEJUMLAH MASALAH DALAM APRESIASI PUISI

Maman S. Mahayana

Karya-karya agung dalam banyak kesusastraan dunia selalu memberi pencerahan. Ia mengajak kita untuk senantiasa bersikap kritis dalam menanggapi dunia sekitar kita atau merangsang pembacanya agar tumbuh kepekaan emosional ketika hakikat keberadaan ma-nusia dilecehkan. Di sebalik itu, ia juga menyodorkan kenikmatan estetik. Meski ia berbi-cara tentang manusia tertentu dengan identitas dan warna lokalnya yang khas, sangat mungkin ia berlaku universal mengingat masalahnya manyangkut keberadaan manusia dan hakikat kemanusiaan.

Puisi, mengingat bentuknya yang lebih padat dan ekspresif, konon paling mewakili kegelisahan emosional. Konon juga, manusia sering kali merasa lebih mudah mengungkap-kan kegalauan perasaan dan pikirannya lewat puisi daripada ragam sastra yang lain. Meski-pun persoalan itu masih dapat diperdebatkan, setidak-tidaknya fakta menunjukkan bahwa puisi lebih banyak ditulis orang daripada cerpen, novel atau drama. Lagu dolanan anak-anak, senandung timang-timang para ibu dalam meninabobokan bayinya, panggilan kepada angin ketika anak-anak bermain layang-layang, atau berbalas pantun para orang tua dalam upacara pelamaran, dan entah apalagi, adalah pola puisi yang diungkapkan secara spontan.

Meskipun hampir setiap orang dapat membuat puisi, niscaya tidak semua orang dapat menjadi penyair. Lalu, bagaimanakah seseorang dapat dikatakan sebagai penyair? Pertama-tama tentu saja predikat itu datang lantaran karya-karyanya dipandang berkualitas dan bukan sekadar menulis puisi. Kuantitas bukanlah yang menjadi ukurannya. Oleh sebab itu, banyak-tidaknya seseorang menulis puisi, belum menjadi jaminan untuk menyebutnya sebagai seorang penyair. Kepenyairan seseorang semata-mata ditentukan oleh kualitas kar-yanya yang mampu memberi pencerahan kepada pembacanya.
***

Puisi yang baik lazimnya menawarkan serangkaian makna kepada pembacanya. Untuk menangkap rangkaian makna itu, tentu saja pembaca perlu masuk ke dalamnya dan mencoba memberi penafsiran terhadapnya. Langkah dasar yang dapat dilakukan untuk pe-mahaman itu adalah ikhtiar untuk mencari tahu makna teks. Sebagai sebuah teks, puisi menyodorkan makna eksplisit dan implisit. Makna eksplisit dapat kita tarik dari perwu-judan teks itu sendiri; pilihan katanya, rangkaian sintaksisnya, dan makna semantisnya. Pilihan kata atau diksi menyodorkan kekayaan nuansa makna; rangkaian sintaksis berhu-bungan dengan maksud yang hendak disampaikan, logika yang digunakan berkaitan de-ngan pemikiran atau ekspresi yang ditawarkan; makna semantis berkaitan dengan keda-laman makna setiap kata dan acuan-acuan yang disarankannya. Adapun makna implisit berkaitan dengan interpretasi dan makna yang menyertai di belakang puisi bersangkutan.

Apapun jenis puisi yang menjadi objek apresiasi atau kajian kritis terhadapnya, langkah-langkah sebagai usaha pemahaman itu sangat mungkin dapat membantu pembaca menyelam ke dalam dunia puisi yang bersangkutan dan kemudian muncul kembali dengan membawa pemahaman tekstual dan kontekstualnya. Pemahaman tekstual atau makna teks tersurat dapat dilakukan lewat dua tahapan. Sebelum kita memasuki langkah-langkah apre-siasi puisi, perlu kiranya kita memahami dahulu pengertian apresiasi itu sendiri, agar tidak terjadi pencampuradukan antara apresiasi puisi dan pengetahuan tentang puisi.
***

Apresiasi puisi atau apresiasi sastra pada umumnya merupakan salah satu bentuk penghargaan terhadap karya sastra (puisi). Sebagai penghargaan, maka langkah pertama yang mesti dilakukan adalah pembacaan teks sastra (puisi) itu sendiri. Jika apresiasi dilaku-kan dengan cara pembacaan penggalan-penggalan teks, maka itu bukanlah apresiasi. Seba-gai pelajaran sastra atau sebagai usaha menyampaikan pengetahuan tentang sastra, hal itu boleh saja dilakukan. Tetapi sebagai sebuah apresiasi, tindakan itu justru keliru dan meren-dahkan kekayaan nilai-nilai yang terkandung di dalam karya yang bersangkutan. Masalah-nya, bagaimana mungkin penghargaan terhadap karya sastra (puisi) dapat dilakukan jika membaca karyanya itu sendiri secara utuh tidak dilakukan. Dengan demikian, langkah pa-ling awal yang mesti dilakukan dalam apresiasi adalah pembacaan teks sastra.

Langkah kedua dalam apresiasi sastra (puisi) adalah penyisihan teori-teori atau konsep-konsep baku mengenai pengertian, rumusan atau definisi. Definisi pada hakikatnya dimaksudkan untuk memberikan pemahaman abstrak mengenai apa yang didefinisikan. Apresiasi justru penghargaan terhadap wujud konkret karyanya itu sendiri. Dengan demi-kian, apresiasi yang diawali dengan pemberian --apalagi jika kemudian dijadikan sebagai hapalan mati-- definisi, justru tidak hanya melanggar hakikat karya sastra itu sendiri, me-lainkan juga memulainya dengan langkah yang dapat menyesatkan. Sebagai contoh, per-hatikan definisi puisi yang saya kutip dari beberapa buku pelajaran sastra: Puisi adalah ka-rangan yang terikat oleh: 1) banyaknya baris dalam tiap bait, 2) banyaknya kata dalam tiap baris, 3) banyaknya suku kata dalam tiap baris, 4) adanya rima, dan 5) irama.

Jika definisi ini dijadikan sebagai landasan dalam apresiasi puisi, maka bagaimana dengan puisi yang mungkin tidak sesuai dengan rumusan definisi tersebut? Perhatikan salah satu puisi karya Sapardi Djoko Damono yang berjudul “Air Selokan” berikut ini:

AIR SELOKAN
“Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit,” katamu pada suatu hari minggu pagi. Waktu itu kau berjalan-jalan bersama istrimu yang sedang mengandung -- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu wak-tu kau lahir: campur darah dan amis baunya.
Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mandi.
+
Senja itu ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu: “Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu-- alangkah indahnya!” Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali.

Apakah puisi “Air Selokan” itu memenuhi syarat sebagai puisi seperti yang menjadi kriteria definisi puisi tersebut di atas? Jika begitu, lalu apakah secara serta-merta kita me-masukkan puisi karya Sapardi Djoko Damono itu sebagai prosa atau cerpen? Tentu saja tidak. Hal yang sama berlaku juga bagi definisi dalam ragam sastra yang lainnya. Sebagai contoh, perhatikan definisi alur dalam cerita rekaan (prosa) berikut ini: Alur adalah rang-kaian peristiwa di dalam cerita rekaan yang mensyaratkan adanya hubungan sebab-aki-bat.” Definisi ini memang berlaku bagi prosa yang konvensional, tetapi bagaimana dengan novel atau cerpen karya-karya Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma atau Danarto? Perhatikan kutipan berikut yang diambil dari cerpen “Dinding Waktu” karya Danarto.

Saya yang telah memfosil, tua renta, dengan sisa-sisa tenaga dalam usia 1350 tahun, berlindung di balik batu besar itu dari tembakan, semburan api, maupun ledakan bom. Saya bukan tentara, bukan pula wartawan, melainkan penonton biasa. Penonton perang ....

“He! Jangan lupa, medan perang masih berkobar! Inilah berita tentang batu. Wartawan perang Anda siap mewawancarainya,” celetuk wartawan yang lain sambil mengarahkan mike-nya ke arah bongkahan batu besar di depannya itu.
“Siapa Anda dan kenapa teronggok di sini?” Kamera-kamera pun berebutan tempat.
“Sesungguhnya saya seorang ibu ...,” jawab batu itu.

Di dalam logika formal, logiskah tokoh “Saya” berusia 1350 tahun? Bagaimanakah pasalnya sehingga tokoh “Saya” yang mengaku seorang ibu itu, ternyata sesungguhnya sebuah batu? Demikianlah, dari dua kutipan di atas, terbukti bahwa apresiasi yang dimulai dari definisi akan mendatangkan bahaya penyesatan. Mengapa demikian? Di sinilah unik-nya karya sastra. Sebagai bahan pelajaran, definisi memang diperlukan. Tetapi manakala kita berhadapan dengan karya konkret sebagai bahan apresiasi atau kritik, maka definisi untuk sementara waktu mesti ditanggalkan dahulu. Apresiator atau kritikus harus membu-ka diri dari berbagai macam kemungkinan. Masalahnya, seperti yang dikatakan Prof. A. Teeuw, “Sastra senantiasa berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi.” Artinya, di satu pihak sastra mengikuti konvensi sastra, dan di lain pihak, ia berusaha terus-menerus menampilkan pembaruan. Dan untuk menampilkan pembaruan inilah, ia harus memberontak dari konvensi yang berlaku. Itulah yang dimaksudkan sebagai inovasi; pemberontakan terhadap konvensi dan tradisi.

Dengan mempertimbangkan bahwa sastra selalu berada dalam ketegangan itu, maka definisi janganlah dijadikan sebagai landasan absolut. Ia mesti ditempatkan sebagai rumusan yang masih mungkin diperbarui jika ada karya sastra yang tidak sesuai dengan definisi itu. Dalam hal ini, apresiator atau kritikus harus selalu melihat berbagai perspektif yang memungkinkannya dapat menguak kekayaan karya yang bersangkutan. Di sini, yang dipentingkan dalam apresiasi bukanlah penghapalan definisi dan konsep-konsep, melainkan hubungan komunikasi antara teks dan pembaca. Lewat cara ini pula, setiap kita melakukan apresiasi, setiap itu pula sangat mungkin makna baru akan muncul.

Lalu, bagaimanakah jika terjadi pemaknaan yang berbeda-beda terhadap karya sas-tra yang sama? Justru dalam hal itulah tujuan apresiasi dilakukan. Setiap pembaca boleh memberi pemaknaan apapun. Tak ada keharusan bahwa hasil apresiasi itu seragam. Dalam hal ini, pemaknaan dari tindak apresiasi tidaklah menyangkut benar atau salah, melainkan logis atau tidak logis. Alasannya dapat diterima dan masuk akal atau tidak. Jika alasannya tidak meyakinkan, maka hasil apresiasinya meragukan, tidak terterima. Jadi, apresiasi sesungguhnya berkaitan pula dengan persoalan argumentasi yang logis atau tidak logis.
***

Dibandingkan apresiasi terhadap novel, cerpen atau drama, apresiasi puisi lebih memberi peluang pada terjadinya penafsiran yang beragam. Masalahnya, bahasa puisi lebih padat, langsung, lugas, dan tidak memerlukan deskripsi panjang lebar. Oleh karena itu, pada umumnya bahasa dalam puisi bersifat sugestif (penyaranan), asosiatif (pertalian), dan imajis (pembayangan). Perhatikanlah sebait puisi yang berjudul “Di Meja Makan” karya W.S. Rendra yang dikutip di bawah ini:

DI MEJA MAKAN
...
Ruang diributi jerit dada
Sambal tomat pada mata
meleleh air racun dosa
...

Larik pertama, Ruang diributi jerit dada, memberi pembayangan (imaji) kepada kita tentang kegelisahan yang tak terperikan. Mungkin hatinya sedang diliputi ketakutan atau penderitaan, mungkin juga sedang dilanda kemelut yang tak terpecahkan. Suasana hati yang demikian itu, disugestikan lewat larik berikutnya: Sambal tomat pada mata yang menyarankan kepedihan luar biasa; bagaimana rasanya jika sambal yang pedas itu menge-nai mata; perih dan panas. Larik ini juga mengasosiasikan kepedihan yang dinyatakan lewat perihnya mata yang terkena sambal. Larik berikutnya seolah-olah menyimpulkan, bahwa penderitaan dan kegelisahan itu lebih disebabkan oleh perbuatan-perbuatan dosa: meleleh air racun dosa. Jadi, ada semacam penyesalan yang mendalam.

Mengingat bahasa puisi yang bersifat sugestif, asosiatif, dan imajis inilah, maka para ahli sastra mengatakan, bahwa hakikat puisi adalah citraan (imaji); bagaimana puisi itu mengungkapkan banyak hal melalui bahasa yang padat, lugas, dan bernas. Akibatnya, terbuka peluang yang begitu luas kepada pembaca untuk menafsirkan sendiri puisi yang bersangkutan. Dan semakin banyak tafsiran, semakin tinggi nilai karya itu.

Sungguhpun ada kebebasan dan keleluasaan dalam mengapresiasikan sebuah puisi, apresiator perlu juga membekali diri dengan pemahaman, bagaimana apresiasi itu dilaku-kan. Tujuannya semata-mata agar hasil apresiasi itu berlandaskan alasan yang logis, argu-mentatif, dan meyakinkan; juga agar kekayaan makna puisi dapat diungkapkan lebih men-dalam. Oleh karena itu, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan tindak apresiasi puisi.

Langka pertama lewat titik pandang (point of view) yang digunakan dengan men-cermati beberapa pertanyaan berikut ini::
(1) Siapa yang berbicara; aku liris, engkau liris, dia liris, atau subjek liris.
(2) Kepada siapa berbicara; kepada sesama manusia, alam, Tuhan atau dirinya sendiri.
(3) Apa yang dibicarakan; dirinya sendiri, orang lain, masyarakat, alam atau apapun.
(4) Bagaimana ia berbicara; bersemangat, sedih, datar, marah atau gembira.

Perhatikan bait pertama puisi berjudul “Surat dari Ibu” karya Asrul Sani berikut ini:

SURAT DARI IBU
Pergi ke dunia luas, anakku sayang
pergi ke hidup bebas!
Selama angin masih angin buritan
dan matahari pagi menyinar daun-daunan
dalam rimba dan padang hijau

Pertanyaan siapa yang berbicara dan kepada siapa ia berbicara, dalam puisi tersebut kiranya cukup jelas, yaitu seorang ibu yang berbicara kepada anaknya (melalui surat). Lalu, apa yang dibicarakannya dan bagaimana ia berbicara. Yang dibicarakannya adalah nasihat kepada anaknya yang pergi mengembara. Karena nasihat, tentu saja ia berbicara dengan nada yang halus dan penuh cinta kasih.
Perhatikan juga puisi berjudul “Doa si Kecil” karya Taufiq Ismail berikut ini:

DOA SI KECIL
Tuhan Yang Pemurah
Beri mama kasur tebal di surga

Tuhan yang Kaya
Berikan ayah pipa yang indah

Amin.

Yang berbicara dalam puisi “Doa si Kecil” adalah seorang anak yang berdoa kepa-da Tuhan. Sesuai dengan alam pikiran anak-anak, ia berdoa dalam bahasa yang sederhana. Adapun suasana yang hadir dalam puisi itu, tentu saja suasana khidmat, sebagaimana lazimnya ketika seseorang sedang berdoa.

Langkah kedua lewat pemahaman teks denonatif yang dapat ditangkap dari kata-kata yang digunakannya, termasuk diksi, ungkapan, urutan sintaksis, dan makna semantis. Larik Beri mama kasur tebal di surga, tentu saja pertama-tama harus dimaknai secara de-notatif. Kasur tebal di mata si anak adalah tempat yang memungkinkan ibunya dapat tidur nyenyak. Jika ibunya dapat tidur pulas, maka sangat mungkin mimpi-mimpi indah akan datang melengkapi kenikmatan si ibu. Untuk selanjutnya, dapat saja larik itu ditafsirkan sebagai kenikmatan atau kebahagiaan. Jadi, si anak sesungguhnya berdoa agar ayah-ibunya memperoleh kebahagiaan.

Setelah pemahaman makna teks denotatif, langkah berikutnya adalah pemahaman teks tersirat (makna konotatif) yang juga dapat dilakukan dalam dua tahapan.

Pertama, pemahaman teks tersirat (makna konotatif) yang pemunculannya berda-sarkan kesan yang dapat kita tangkap dari citraan (imaji), kisahan (narasi) dan gambaran peristiwa atau suasana yang mencuat dari dalam puisi yang bersangkutan. Pergi ke dunia luas, anakku sayang/pergi ke hidup bebas!Selama angin masih angin buritan/dan mata-hari pagi menyinar daun-daunan/dalam rimba dan padang hijau// mencitrakan kerelaan seorang ibu yang melepaskan anaknya untuk pergi mengembara menyeberangi lautan, panas terik matahari, hutan rimba pegunungan atau padang pesawahan. Kisahannya dapat kita tangkap dari keseluruhan teks puisi bersangkutan. Mengenai hal ini, puisi-puisi naratif, sangat kuat memberi kesan yang demikian. Adapun gambaran peristiwa atau suasana da-lam puisi, sangat bergantung pada tema dan pesan puisi itu sendiri. Selepas itu niscaya kita pun tidak akan mengalami kesulitan menangkap pesan dan amanat yang hendak disampai-kannya, setidak-tidaknya membantu pembaca mengarahkan pemahamannya pada tema atau amanat yang terdapat dalam puisi bersangkutan.

Kedua, penafsiran teks yang tidak dapat lain mesti dilakukan dengan cara memper-kaitkan makna tersurat dengan makna tersirat, acuan-acuan yang disarankan, dan kaitan makna tersurat-tersirat dengan tema dan amanat.

Mengapakah cara itu perlu dilakukan dalam apresiasi, analisis atau kajian kritis ter-hadap puisi? Sesungguhnya.lewat cara itulah berbobot tidaknya sebuah puisi dapat ditentu-kan. Soalnya sederhana. Bagaimanapun, puisi sebagai salah satu ragam sastra yang haki-katnya citraan (imaji) menyodorkan persoalan yang diangkatnya secara tidak langsung. Sa-ngat mungkin cara tidak langsung itu dilakukan lewat pergantian makna (displacing), pe-nyimpangan makna (distorting) atau penciptaan makna (creating of meaning).

Sekadar contoh, larik Aku ini binatang jalang, misalnya, merupakan bentuk peng-gantian arti. Binatang jalang digunakan untuk mengganti makna kegelisahan, keliaran, atau kegalauan perasaan yang sedang melanda si aku liris. Sedangkan penyimpangan arti, dapat kita perhatikan dari larik berikut: Kalau sampai waktuku. Sampai waktuku merupa-kan makna lain dari ajal atau kematian. Adapun penciptaan arti dapat kita perhatikan dari larik ini: ia hampir muntah karena bau sengit itu. Kata sengit yang mengikuti kata bau merupakan penciptaan makna baru untuk menggambarkan bau yang luar biasa.

Demkianlah, mengingat ketiga hal itu, puisi yang baik tidak hanya memberikan pencerahan dan nilai estetik, melainkan pemerkayaan makna kata-kata, ungkapan, dan ba-hasa secara keseluruhan. Oleh karena itu, puisi sering juga dianggap sebagai karya yang banyak memberikan sumbangannya bagi kekayaan bahasa. Sebaliknya, jika ada puisi yang tidak memberikan ketiga hal itu, niscaya puisi itu sekadar tampil sebagai puisi. Ia sama sekali tidak memberikan apa-apa bagi perkembangan puisi itu sendiri, bagi kekayaan baha-sa, dan juga tidak menampilkan fungsi sosialnya. Ia hadir cuma sebagai puisi yang hanya penting bagi penulis puisinya sendiri.
***

Langkah-langkah apresiasi puisi sebagaimana dipaparkan di atas, tentu saja hanya sekadar pegangan agar apresiasi puisi yang kita lakukan dapat dilakukan secara sistematis dan logis. Jika dalam pelaksanaannya terjadi perbedaan penafsiran dan pemaknaan, tentu saja hal itu sah-sah saja, sejauh alasan yang dikemukakannya logis. Jadi, perbedaan penaf-siran dalam apresiasi puisi, bukanlah hal yang tabu, bahkan justru sangat penting.

Perbedaan-perbedaan itulah yang mestinya dikembangkan dalam setiap kegiatan apresiasi, agar terbuka peluang kemungkinan pengungkapan makna karya. Dengan cara demikian, maka akan lahir berbagai penafsiran dengan argumentasi dan logikanya yang beraneka ragam. Oleh karena itu, pintu pertama dalam apresiasi tidak lain adalah pemba-caan teks karya itu sendiri untuk membuka jalan terjadinya komunikasi antara pembaca dan teks. Nah, selamat mencoba! (Maman S. Mahayana, Staf Pengajar FSUI, Depok).

Tidak ada komentar: