Selasa, 14 Oktober 2008

TENTANG PANTUN

Maman S. Mahayana

Dari manakah kita memulai jika hendak mengungkapkan kebudayaan Melayu sebagai salah satu simpul ingatan keserumpunan? Produk kebudayaan Melayu yang manakah yang segera muncul dalam ingatan ketika kita membicarakan kebudayaan Melayu? Sejarah Melayu yang mengungkapkan silsilah raja-raja Melayu, Gurindam Dua Belas—Raja Ali Haji yang penuh nasihat luhur tentang kehidupan, Serampang Dua Belas dengan gerak gemulai yang meliuk dinamis, atau pantun yang unik, sederhana, dan penuh misteri? Pertanyaan lain tentu masih dapat kita kemukakan. Tetapi, ketika kita hendak mencari sebuah ikon yang dapat dianggap merepresentasikan ruh kebudayaan Melayu, boleh jadi kita akan sampai pada pantun. Mengapa pantun dan bukan produk kebudayaan Melayu lain yang sangat mungkin lebih kaya dan memukau? Ada banyak alasan yang melatarbelakangi pilihan pada pantun.

Pertama, pantun tercatat sebagai salah satu produk kebudayaan Melayu yang sejak lama menjadi objek kajian para peneliti dari mancanegara. Pidato Hoesein Djajadiningrat pada Peringatan 9 Tahun berdirinya Sekolah Hakim Tinggi di Betawi, 28 Oktober 1933, mengungkapkan, bahwa pantun telah sejak tahun 1688 menarik perhatian para peneliti Barat. Sedikitnya 20-an tulisan mereka yang dibicarakan Djajadiningrat cenderung keliru memahami pantun, karena ukuran yang digunakannya tidak lain dari persajakan Barat.

Cara pandang Barat yang kemudian keliru menempatkan pantun, juga dikemukakan Intojo. Ia menolak anggapan bahwa pantun tidak lebih dari hasil improvisasi (karangan dadakan) dan isinya amoreus (berhubungan dengan percintaan). Belakangan, Hasan Junus juga mencermati kesilapan yang dilakukan Francois-Rene Daillie dalam menerjemahkan Kalau tidak dengan sucinya? menjadi If it be not neat and clean? yang menurut Junus lebih tepat menjadi If it not with its embroidery? Itulah beberapa contoh, betapa usaha memahami pantun mestinya berdasarkan pemikiran, ukuran atau sudut pandang pantun itu sendiri yang tidak terlepas dari lingkungan sosial budaya yang melahirkannya.

Sejak tahun 1688 sampai 1988 saat buku Alam Pantun Melayu: Studies on the Malay Pantun (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1988) karya Francois-Rene Daillie terbit, entah sudah berapa ratus orang melakukan penelitian mengenai pantun. Belakangan, Dewan Bahasa dan Pustaka menerbitkan Kumpulan Pantun Lisan Melayu bertajuk Kurik Kundi Merah Saga (1990) memuat 5.653 buah pantun dan Sekalung Budi Seuntai Bahasa (1990) menambah daftar panjang buku kumpulan dan pembicaraan mengenai pantun.

Begitu ramainya peneliti (Barat) terjerat oleh pesona pantun, maka niscaya ada sesuatu di sebaliknya. Niscaya pula ada banyak kekayaan tersembunyi yang memang sepantasnya dibincangkan. Pantun seolah-olah telah memancarkan semacam mysterium tremendum et fascinosum –misteri yang dahsyat menggetarkan dan menakjubkan—yang tiada habisnya menggoda para peneliti untuk terus mengungkap kekayaan maknanya, mencoba memahami estetika –dan mungkin juga misteri— yang berada di belakangnya.

Kedua, dibandingkan dengan jenis kesenian lain yang lahir di alam Melayu, pantun relatif tidak terikat oleh batasan usia, jenis kelamin, stratifikasi sosial, dan hubungan darah. Di sana ada pantun kanak-kanak, ada pula pantun remaja, pantun dewasa, dan pantun orang tua-tua yang secara langsung terpecah pula kepada kategori-kategori tertentu, seperti pantun usik-mengusik, pantun jenaka, pantun pengajaran, pantun pendidikan, dan berbagai kategori lagi. Ini menunjukkan bahwa pantun dapat dimainkan, dipahami dan berlaku untuk semua usia. Kaum perempuan dan laki-laki, juga dapat seenaknya bersahut-sahutan, bercanda dan bersenda-gurau, bahkan membujuk-rayu melalui pantun. Kaum bangsawan, pejabat negara, dan rakyat jelata, orang kaya atau orang miskin, saudara sekandung atau bukan, tetangga atau tetamu, bahkan juga orang asing, tidak dilarang bermain atau membacakan pantun. Siapa pun boleh dan punya hak untuk berpantun. Dengan begitu, pantun berlaku untuk semua orang. Ia terbebas dari segala ikatan usia, agama, golongan, jenis kelamin, dan kelas sosial. Pantun menjadi seperti sesuatu yang hidup dan dihidupi masyarakatnya.

Ketiga, pantun dapat digunakan di sembarang tempat, dalam berbagai suasana, atau dalam kegiatan apapun. Ketika sedih atau gembira, orang dapat melantunkan pantun. Seorang pejabat negara dalam pidato resminya, boleh saja menyelipkan pantun. Seorang khatib dalam khotbah keagamaannya, elok pula jika memasukkan pantun di antara fatwa atau ceramah agama yang disampaikannya. Demikian pula, dalam upacara perkawinan, boleh saja orang menyampaikan petuah dan nasihatnya melalui pantun. Dengan begitu, pantun telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat Melayu. Pantun telah menyelusup dan masuk ke berbagai aspek kegiatan kehidupan masyarakat Melayu. Ia boleh berada di mana saja, kapan saja, dan dapat dibawakan siapa saja, tanpa khawatir melanggar tabu. “Pantun telah menjadi alat komunikasi yang lebih luas, di peringkat massa.”

Pertanyaannya kini: mengapa masyarakat Melayu begitu dekat dengan pantun? Sebagai salah satu bentuk kesenian yang lahir dari naluri budaya masyarakat Melayu, pantun sangat mungkin sudah ada jauh sebelum Islam masuk. Tetapi, dibandingkan dengan sejumlah jenis kesenian lain yang hidup di alam Melayu, pantun relatif dapat bertahan meskipun pemakaiannya lebih banyak memanfaatkan pantun-pantun lama atau sengaja dibuat untuk lirik lagu pop atau dikemas dengan menciptakan idiom atau ungkapan-ungkapan baru. Berdasarkan pemikiran itu, pertanyaan berikutnya yang dapat kita ajukan adalah adakah sesuatu yang khas dan istimewa yang dimiliki pantun. Niscaya ada sesuatu yang luar biasa yang melekat dalam pantun. Niscaya pula ada penjelasannya mengenai sesuatu yang luar biasa itu. Dalam hal ini, pantun tak sekadar berurusan dengan kesamaan bunyi a-b-a-b atau hanya berkaitan dengan masalah sampiran dan isi yang telah begitu banyak dibincangkan para peneliti, tetapi juga pastilah ada masalah yang lebih radikal dan filosofis yang mendasarinya. Pasti ada penjelasan yang berkaitan dengan alam pikiran masyarakat Melayu.
***

Dari begitu banyak tulisan yang membicarakan pantun, sebagian besar memusatkan perhatiannya pada tiga pokok persoalan: (1) asal kata pantun dan usaha membandingkannya dengan pola persajakan sejenis yang terdapat di beberapa daerah dan negara lain, (2) fungsi dua larik pertama yang lazim disebut sampiran atau pembayang dan dua larik terakhir yang ditempatkan sebagai isi atau pesan pantun yang bersangkutan, dan (3) pengkategorisasian jenis pantun dan kedudukannya dalam masyarakat.

Setumpuk tulisan itu tentu saja sangat penting, tidak hanya menegaskan –dan sekaligus mengukuhkan—bahwa pantun sememangnya merupakan hasil kesusastraan asli Melayu yang khas, unik, dan menakjubkan, tetapi juga mengungkapkan betapa pantun begitu besar pesonanya, sehingga banyak peneliti yang coba menguak tabir pesonanya. Di luar ketiga pokok persoalan tersebut, tulisan-tulisan yang agak berlainan –meski tidak begitu mendalam—juga mengisyaratkan adanya sesuatu yang penting dalam pantun yang belum terungkapkan. Beberapa tulisan itu memang melihat pantun dalam perspektif yang lain. Zainal Abidin Borhan, misalnya, melihat –secara tematik— pantun dan peribahasa Melayu dalam hubungan dengan pencarian jati diri dan semangat nasionalisme, Philip L. Thomas mengkajinya melalui aspek fonologis dan semantik, dan Hassan Ahmad yang meneruskan gagasan Prof. Ungku Aziz yang hendak membuktikan bahwa pantun membayangkan dua bagian minda Melayu, yaitu minda sebelah kiri dan minda sebelah kanan, seperti bermaksud menawarkan pandangan baru mengenai pantun sebagai produk pemikiran bangsa Melayu.

Tulisan ini mencoba menempatkan pantun sebagai ikon kebudayaan Melayu. Dengan demikian, saya mencoba melihat pantun sebagai sebuah wacana tekstual, dan sekaligus juga sebagai sebuah wacana kontekstual. Perhatikanlah pantun di bawah ini.

Pisang emas dibawa berlayar
Masak sebiji di atas peti
Hutang emas boleh dibayar
Hutang budi dibawa mati

Salah satu ciri khas yang menandai pantun adalah adanya dua larik pertama yang disebut sampiran atau pembayang (Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti), dan dua larik kedua yang disebut isi (Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati). Hubungan sampiran dan isi, secara semantis sering kali terkesan tidak ada hubungannya. Perhatikan saja, adakah kaitan antara Pisang emas dibawa berlayar dengan Hutang emas boleh dibayar? Demikian juga, bagaimana kita menjelaskan hubungan antara Masak sebiji di atas peti dengan Hutang budi dibawa mati? Sebagai sebuah nasihat untuk menekankan hutang emas boleh dibayar/hutang budi dibawa mati, boleh saja orang beranggapan bahwa hubungan antara sampiran dan isi lebih merupakan anasir psikologis. Orang akan lebih menerima sebuah nasihat atau sindiran jika lebih dahulu diawali pembayang (sampiran). Itulah salah satu alasan, bahwa antara sampiran dan isi sesungguhnya ada kaitannya.

I.R. Poedjawijatna, misalnya, mengatakan:
Menyatakan rasa kasih sayang, benci atau tidak suka itu tidaklah mudah. Jika kata-kata yang mengandung rasa tersebut sekonyong-konyong dituturkan, ada kalanya sasarannya itu tidak segera menangkapnya karena kurang mendengar, sebab hatinya belumlah sungguh-sungguh terbuka. Betapakah sulitnya bagi orang tadi, jika kata-kata tadi harus diulangi …. Tetapi jika orang mempergunakan pantun, maka tak usahlah orang khawatir, kalau-kalau orang yang diajak berbicara itu tidak memperhatikan katanya, sebab waktu ia mengucapkan sampiran, sudahlah lawannya berbicara itu mulai memperhatikan kata-kata yang akan dituturkan yang mengandung isi kalbunya.

Terlepas dari persoalan apakah sampiran ada hubungannya dengan isi atau tidak, saya melihatnya –secara ontologis—sampiran niscaya tidak hadir begitu saja. Keberadaan sampiran mesti dicurigai punya kaitan dengan isi. Atau, paling tidak, harus ada penjelasan, mengapa si pemantun yang hendak menyampaikan nasihatnya: Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati harus mengawalinya dahulu dengan sampiran: Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti? Tentu ada sesuatu di balik itu. Kalaupun sampiran itu dibuat sekadar pemanis bunyi, niscaya ia tidak serta-merta lahir begitu saja. Sangat mungkin ia merupakan simbolisasi dari proses berpikir si pemantun. Jika demikian, sudah barang tentu lahirnya sampiran sangat dipengaruhi oleh minda si pemantun yang tidak dapat melepaskan diri dari lingkungan sosial budaya di sekitarnya.

Mencermati sejumlah besar pantun, ada kecenderungan khas menandai sampiran. Sedikitnya ada lima kecenderungan, yaitu: (1) sampiran lazimnya mengungkapkan citraan alam dan benda-benda kongkret, (2) hubungan antarkata dalam satuan sintaksis dan semantis, seringkali tidak logis, (3) sebagai konsekuensi butir kedua, maka kalimat dalam sampiran tidak mudah dipahami, (4) satuan kalimat dalam sampiran tampak lebih kompleks, dan (5) mengingat sampiran lebih menekankan pada bunyi, dan bukan makna, maka ada semacam licentia poetica yang digunakan pemantun, yaitu kebebasan untuk menyimpang dari kenyataan, dari bentuk atau aturan konvensional untuk menghasilkan efek yang dikehendaki.

Kecenderungan yang tampak dalam sampiran itu ternyata tidak terlihat dalam isi atau pada dua larik berikutnya. Isi pantun sebagian besar mengungkapkan (1) perkara tingkah laku, moral, etika yang semuanya berpulang pada diri individu, (2) hubungan antarkata dalam satuan sintaksis dan semantis, dapat terterima dan logis, (3) tata kalimat relatif dapat dipahami, (4) menggunakan kalimat sederhana, dan (5) memperhatikan konvensi yang berlaku. Untuk jelasnya, perhatikan perbedaan sampiran dan isi berikut ini

SAMPIRAN ISI
citraan alam dan benda kongkret perilaku individu dan benda abstrak
hubungan sintaksis dan semantis tak logis hubungan sintaksis-semantis logis
makna kalimat sulit dipahami makna kalimat mudah dipahami
logika bahasa kompleks logika bahasa sederhana
menyimpang dari konvensi memperhatikan konvensi


Memperhatikan dua larik pertama (sampiran) dan dua larik kedua (isi) pantun, sangat mungkin pantun sesungguhnya merupakan simbolisasi alam pemikiran orang Melayu yang melihat dunia dalam dua tataran, yaitu tataran makrokosmos dan mikrokosmos. Citraan alam beserta benda-benda seisinya adalah dunia makro. Manusia adalah sebuah titik kecil dari dunia makro itu. Ketika manusia berhadapan dengan fenomena alam, tidak terhindarkan ada banyak perkara yang tidak dapat dipahaminya. Dengan demikian, meski manusia –dalam konsep Islam—bertindak sebagai khalifah di bumi, manusia sendiri sering kali menempatkan alam sebagai sebuah misteri yang tak kunjung terpecahkan. Kehidupan makrokosmos berada dalam tataran metafisika. Rasio manusia tidak pernah mampu menjelaskan secara tuntas rahasia-rahasia alam itu. Jika manusia sendiri merupakan misteri bagi manusia, bagaimana pula ia dapat memahami jagat raya yang jauh lebih luas. Untuk mengatasi masalah ini, pertama-tama manusia mesti memahami lebih dahulu gejala alam. Paling tidak meleburkan dirinya dengan alam, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari alam, dan jika tidak dapat berbuat itu, melakukan persahabatan dengan alam.

Demikianlah, kini kita dapat memahami, mengapa bagian sampiran dalam pantun dominan memanfaatkan benda-benda alam. Imaji-imaji tentang alam itu tidak hanya merupakan representasi dari kedekatan manusia (Melayu) dengan alam, dan sekaligus juga mengisyaratkan ketidakmampuannya memahami fenomena alam. Oleh karena itu, sampiran yang sering menggunakan kalimat kompleks, tidak logis, sulit dipahami, dan menyimpang dari konvensi boleh jadi merupakan juga representasi dari bentuk ketidaksadaran si pemantun (orang Melayu) dalam berhadapan dengan misteri kehidupan makrokosmos.

Perlu juga diperhatikan bagian isi pantun yang sebagian besar cenderung mengangkat persoalan etik, adab, moral, atau perilaku. Di sana, si pemantun sering kali lebur dan hampir tak hendak menyatakan dirinya dengan identitas tertentu. Ia sepertinya merasa lebih aman menjadi bagian dari alam atau berlindung dalam lingkaran alam. Jadi, jika van Peursen menyebut dunia mitis ditandai oleh rasa takut dalam diri manusia terhadap daya-daya purba dalam hidup dan alam raya, maka si pemantun (: orang Melayu) lebih memilih melakukan persahabatan—persaudaraan dengan alam. Alam menjadi bagian dirinya yang harus diperlakukan sebagaimana manusia menjalankan norma, etika, moral, dan adab sopan-santun yang berlaku dalam hubungan antarmanusia dan dalam hubungannya dengan alam raya. Begitulah perhubungan sampiran dan isi dalam pantun menjadi bagian penting dalam usaha memahami alam pikiran dunia Melayu.

Lalu bagaimanakah orang Melayu harus menyikapi misteri fenomena alam itu? Isi pantun itulah jawabannya. Dalam hal ini, isi pantun yang diuntaikan dalam kalimat yang logis, mudah dipahami, banyak membicarakan perkara etika, moral, adab sopan-santun, perilaku, dan berbagai nasihat lainnya, merupakan imbauan langsung untuk menjaga tata hubungan antara individu dengan individu atau individu dengan kehidupan alam yang berada di sekitarnya. Manusia harus terus-menerus menjaga hubungan harmonis dengan alam. Hanya dengan cara itulah, hubungan makrokosmos (jagat raya) dan mikrokosmos (individu manusia) akan tetap terjaga secara baik. Jadi, hubungan sampiran dan isi dalam pantun sesungguhnya merupakan pesan ontologis, bagaimana manusia harus menyikapi keberadaan dirinya dalam lingkungan sosial dan dalam persaudaraannya dengan alam.

Hubungan makrokosmos dan mikrokosmos dalam alam pikiran masyarakat Melayu tentu saja berkaitan juga dengan sistem kepercayaan yang mendasarinya. “Perbincangan tentang kepercayaan tradisional orang Melayu mestilah bertolak daripada titik kenyataan bahawa orang Melayu adalah beragama Islam. Dalam kehidupan sebuah komuniti Melayu, kepercayaan dan perlakuan mempunyai rujukan kepada kehendak-kehendak ajaran Islam yang ideal.” Dengan demikian, meskipun sangat mungkin pantun lahir sebelum Islam masuk ke Semenanjung Melayu ini, sebagai produk budaya sewajarnya jika pantun sebagai seni sastra yang memperlihatkan “teknik layangan serta bayangan makna, dunia yang berbahagi dua, kepadatan, imej-imej yang luar biasa, bahasa yang merdu menjadi alat-alat yang sering dipakai dan seperti teruji dasarnya,” didekati pula melalui doktrin Islam.

Barangkali pendekatan pantun melalui doktrin Islam, tampak berlebihan. Sebagai sebuah kajian, cara apapun yang dilakukan untuk mengungkap kekayaan makna pantun, tentu saja dibolehkan dan sah. Soalnya, pola sampiran dan isi dalam pantun seperti itu dalam doktrin Islam ternyata seperti sejalan dengan logika dalam kalimat syahadat yang terdiri dari syahadat Allah dan syahadat Rasul. Syahadat Allah sebagai persaksian keberadaan Allah merupakan bagian dari kepercayaan manusia (:keberimanan umat Islam) yang bersifat transenden. Keberimanan terhadapAllah bersifat mutlak dan usaha-usaha untuk mempertanyakan keberadaan-Nya akan terbentur pada keterbatasan rasio manusia untuk menjelaskannya. Allah berada dalam wilayah metarasional. Jika alam dan jagat raya itu saja sudah menjadi misteri yang tak terpecahkan bagi manusia, maka tentu saja keberadaan Allah, jauh melampaui itu.

Berbeda dengan syahadat Allah yang berada dalam wilayah metarasional, syahadat Rasul masih mungkin terjangkau oleh rasio manusia. Keberadaan Muhammad SAW sebagai Rasul Allah masih mungkin dapat ditelusuri melalui kajian historis. Syahadat bagi umat Islam merupakan petunjuk adanya dua dunia, yaitu dunia yang berada dalam tataran metarasional (syahadat Allah) dan dunia yang berada dalam tataran rasional (syahadat Rasul). Implementasi dua dunia itu dijabarkan lagi ke dalam apa yang disebut rukun iman, yaitu seperangkat keniscayaan umat Islam terhadap dunia transenden, dan rukun Islam, yaitu seperangkat kewajiban umat Islam yang harus dijalankan secara konsekuen.

Pertanyaannya: bagaimana kaitan syahadat dengan pantun dan apa pula maknanya? Boleh jadi pantun lahir dari kesadaran –atau ketidaksadaran—si pemantun terhadap misteri alam dan tugas manusia sebagai khalifah di bumi. Sampiran dalam pantun yang cenderung memanfaatkan citraan-citraan alam berikut benda-benda dan seisinya sangat mungkin dimaksudkan sebagai isyarat ketakjuban dan sekaligus ketidakpahamannya terhadap jagat raya yang memang penuh misteri. Maka agar terjadi hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam, manusia mestilah menjalankan tugasnya sesuai dengan norma, etika, dan adab sopan-santun yang berlaku. Dengan demikian, fungsi sampiran dan isi dalam pantun merupakan bagian yang saling berkait, komplementer, tak terpisahkan, dari gambaran mengenai dua dunia, yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.
***

Sebagai sebuah wacana, hubungan sampiran dan isi dalam pantun mengisyaratkan sebuah wacana yang koheren. Sampiran yang maknanya dalam satuan sintaksis dan semantis sering melanggar konvensi, mencitrakan sebuah situasi tertentu (situasional), dan bersifat sangat kontekstual sesungguhnya termasuk ke dalam kategori wacana lisan. Dalam wacana lisan, penutur meski sangat terikat oleh konteksnya, justru –dalam hal tertentu—terbebas dari konvensi tata bahasa yang berlaku dalam wacana tertulis. Kata itu yang dituturkan sambil menunjuk sebuah kursi atau kata ini yang menunjuk buku dalam wacana lisan hanya dapat dipahami jika pendengar atau lawan bicara melihat acuannya (kursi dan buku). Ketika kata itu dan ini memasuki wacana tulis, tidak dapat lain, acuannya harus hadir dan dieksplisitkan. Itulah salah satu problem wacana tulis yang terikat dan tunduk pada konvensi bahasa yang berlaku dalam masyarakat bahasa bersangkutan. Itu pula sebabnya, wacana tulis bersifat relasional yang mensyaratkan sebuah makna atau pesan tertentu dalam satuan bahasa yang membangun kalimat. Di samping itu, wacana tulis bersifat ko-tekstual yang mensyaratkan adanya makna atau pesan dalam hubungan antarkalimat.

Demikianlah, sampiran Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti cenderung memperlihatkan sebagai sebuah wacana lisan daripada wacana tulis. Secara sintaksis, larik pertama dan kedua memang terterima, tetapi bagaimana menjelaskan hubungan Pisang emas dibawa berlayar/Masak sebiji di atas peti. Jika kedua larik itu berbunyi, misalnya, Pedang emas boleh ditawar/Selang sehari harga tak jadi, barangkali lebih terterima sebagai sebuah wacana tulis. Tetapi kesan spontanitas yang menandai ujaran lisan dan citraan alam yang menjadi salah satu ciri estetik pantun, justru tidak muncul.

Keadaannya berbeda dengan isi pantun dalam dua larik berikutnya: Hutang emas boleh dibayar/Hutang budi dibawa mati yang merupakan bentuk wacana tulis. Relasi antarsatuan bahasa dalam Hutang emas boleh dibayar dan Hutang budi dibawa mati, secara sintaksis dan semantis, terterima. Hubungan Hutang emas boleh dibayar dengan Hutang budi dibawa mati, secara ko-tekstual menegaskan bahwa hutang budi tak dapat dibayar dengan apa pun, karena budi akan terus dibawa sampai yang akhir hayat. Satu penegasan betapa budi jauh lebih berharga dibandingkan emas atau barang apa pun. Jadi, sebagai sebuah wacana tulis, isi pantun yang terdapat dalam dua larik terakhir memperlihatkan kesempurnaannya. Larik Hutang emas boleh dibayar barulah memperoleh kelengkapannya ketika diikuti larik berikutnya: Hutang budi dibawa mati.

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa sebagai sebuah wacana, pantun dibangun oleh dua wacana, yaitu wacana lisan (sampiran) dan wacana tulis (isi). Ia sungguh merupakan karya sastra yang menuntut kreativitas yang tinggi dengan tetap mempertimbangkan konvensi yang berlaku, dan sekaligus juga memperlihatkan kepiawaian dalam berbahasa. Dengan demikian, pantun yang secara sepintas tampak sederhana itu, di dalamnya justru kaya dengan makna. Ia laksana simbolisasi kehidupan manusia yang tidak dapat melepaskan dirinya dari kedua wacana itu (wacana lisan dan wacana tulis). Bandingkan jika pantun itu berbunyi seperti ini:
Pisang emas boleh dibayar
Masak sebiji dibawa mati
Hutang emas dibawa berlayar
Hutang budi di atas peti

Dua larik yang menjadi sampiran mungkin masih dapat terterima mengingat sampiran yang cenderung memperlihatkan dirinya sebagai sebuah wacana lisan. Tetapi sampiran itu tetap sebagai sampiran tanpa makna karena isi yang terdapat dalam dua larik berikutnya tidak mengungkapkan makna etis. Jadi, teks di atas jelas telah melanggar syarat sebuah pantun. Ia hanya memanfaatkan bentuk pantun untuk sebuah wacana yang bukan pantun. Perhatikan juga teks berikut yang dikutip Hoesein Djajadiningrat dari teks sebuah lagu yang liriknya ditulis bukan oleh orang Indonesia.

Ik ga melantjong naar Pasar Gambir
Sampe di Gambir membeli laksa
Ik ga krontjongan voor mijn pleizier
Boeat mengiboer hati jang soesa

Dari Semarang ke Soerabaja
Djaman sekarang banjak boeaja
Main guitar main mandolin
Zoetelief denger saja pantoenin

Teks di atas tentu saja tidak termasuk pantun, meskipun bentuknya menyerupai pantun. Dua larik pertama bukanlah sampiran, karena ia tidak berfungsi sebagai pembayang. Juga tidak terlihat spontanitas dan citraan alam yang justru di dalam pantun sangat penting keberadaannya. Dengan begitu, teks itu juga sama sekali tidak menghadirkan kekhasan alam Melayu. Dalam hal tersebut, makin jelas buat kita bahwa pantun sememangnya merupakan representasi dunia Melayu yang khas yang tidak dapat begitu saja diikuti seseorang jika ia tidak menjadi bagian dari alam Melayu itu sendiri. Di situlah, pantun seperti yang dikatakan Muhammad Hj Salleh, “memperlihatkan genius dan kesempurnaan seni sastera bangsa-bangsa Melayu. Pantun mengandungi jiwa, seni, kebijaksanaan, dan budi bahasa Melayu.”
***

Demikianlah, pantun yang tampak begitu sederhana, kemas, lugas, dan spontan, sesungguhnya menyimpan begitu banyak kekayaan. Berbagai penelitian tentang pantun merupakan bukti, betapa pantun tampil sebagai objek kajian yang penuh misteri. Ia laksana memancarkan pesona yang tiada pernah pudar, menakjubkan dan menjerat begitu banyak para pemikir mancanegara. Oleh karena itu, jika ada pertanyaan: produk budaya yang manakah yang merepresentasikan jagat Melayu, boleh jadi jawabannya jatuh pada pantun.

Kajian yang lebih mendalam dengan serangkaian contoh kasus setumpuk pantun, memang masih sangat diperlukan. Dengan demikian, makalah ini bolehlah ditempatkan sebagai sebuah hipotesis yang masih harus dibuktikan kebenaran atau ketidakbenarannya. Atau, jika pemikiran ini hendak dirumuskan dalam satu kalimat, maka rumusan hipotesisnya adalah sebagai berikut: “Pelajarilah pantun, maka akan terbentang pemahaman mengenai jagat Melayu.” Semoga demikian!
------------------------------------------


Prof. Dr. R.A. Hoesein Djajadiningrat, “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib,” Poedjangga Baroe, No. 6, Th. I, November 1933, No. 8 dan 9, Th. I, Pebroeari – Maret 1934.

Djajadiningrat mengutip Pantoen Speelman yang termuat dalam Grammatica Malaica, tradens praecepta brevia idiomatis linguae in India orientali celeberrimae ab indigenis dictae Malayo, Succinete delineate labore Johannis Christophori Lorberi (1688).

Intojo, “Pantun,” Indonesia, No. 4 dan No. 7, Th. II, April dan Djuli 1952. Tulisan Intojo ini secara khusus merupakan tanggapan atas pandangan sarjana Italia, Giacomo Prampolini (“Pantun dan Bentuk Sadjak lain dalam Puisi Rakjat,” Zenith, Th. I, No. 11, November 1951, hlm. 666—671) yang sangat terpengaruh oleh buku W.A. Braasem, Pantuns. Periksa juga tulisan W.A. Braasem, “Seorang Romantikus Djerman tentang Pantun,” Zenith, Th. III, No. 1, Djanuari 1953, hlm. 45—53 dan Giacomo Prampolini, “Pembicaraan Buku W.A. Braasem/R. Nieuwenhuis ‘Puisi Rakjat dari Indonesia,” Zenith, Th. III, No. 8, Agustus 1953, hlm. 486. Tulisan Prampolini itu disinggung juga oleh Achadiati Ikram, “Pantun dan Wangsalan,” Ilmu Sastra Indonesia, No. 22, 1964; dimuat juga dalam Achadiati Ikram, Filologia Nusantara, Jakarta: Pustaka Jaya, 1997, hlm. 187—195.

Hasan Junus, Pantun-Pantun Melayu Kuno, Pekanbaru: Yayasan Pusaka Riau, 2001, hlm. viii—ix.

Daftar panjang itu tentu saja tidak termasuk uraian ringkas mengenai pantun dalam buku-buku pelajaran serta berbagai kamus istilah sastra.

Zainal Abdin Bakar, Kumpulan Pantun Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1984, hlm. 4.

Ibid., hlm. 34.
Zainal Abidin Borhan, “Pantun dan Peribahasa Melayu: Persoalan Jati Diri dan Patriotisme,” Abdul Latiff Abu Bakar dan Othman Puteh (Peny.), Globalisasi dan Patriotisme dalam Sastera Melayu (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000), hlm. 45—58.

Philip L. Thomas, “Penekanan Fonologi dan Semantik dalam Pantun Melayu,” Ahmad Kamal Abdullah, et al. (Peny.), Sempana: Himpunan Esei Penelitian oleh Sarjana Kesusasteraan Melayu Antarbangsa, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1994, hlm. 149—164.

Hassan Ahmad, “Kreatifnya Minda Melayu,” Imbasan (Edisi Kedua), Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2002, hlm. 138—142. Artikel Hassan Ahmad yang pernah dimuat dalam majalah Dewan Masyarakat, Mei 1990 itu –meskipun tidak mendalam—sesungguhnya membuka perspektif baru dalam usaha menguak tabir misteri kekayaan pantun dalam konteks minda Melayu. Saya bersetuju atas pandangan itu mengingat pantun sebagai produk kebudayaan Melayu niscaya berkaitan erat dengan minda Melayu yang melahirkannya.

I.R. Poedjawijatna, “Peralihan Kesusasteraan Indonesia dari Lama ke Baru,” Basis, No. 3, Th. V, Februari 1954. Lihat juga Sutan Takdir Alisjahbana, Puisi Lama, Djakarta: Pustaka Rakjat, 1961, hlm. 10—13, Harun Aminurrrashid, Kajian Puisi Melayu, Singapore: Pustaka Melayu, 1960, hlm. 3—40.

Louis Leahy, Manusia sebuah Misteri: Sintesa Filosofis tentang Makhluk Paradoksal, Jakarta: Gramedia, 1984.

Periksa C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko, Yogyakarta: Kanius, 1976, hlm. 55—84.

Ibid., hlm. 55.
Mohd. Taib Osman, “Kepercayaan Tradisional dalam Sistem Kepercayaan Melayu Ditinjau dengan Pendekatan Antropologi Budaya,” Mohd. Taib Osman dan Hamdan Hassan, Bingkisan Kenangan Pendita, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1978, hlm. 6.

Muhammad Haji Salleh, Puitika Sastera Melayu, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2000, hlm. 40.

Pembicaraan mengenai tafsir syahadat ini, periksa tulisan Maman S. Mahayana, “Syahadat dalam Dimensi Linguistik,” Pelita, 3—5 September 1983.

Hoesein Djajadiningrat, Loc. Cit., hlm. 280.
Muhammad Hj Salleh, Cermin Diri, Petaling Jaya: Fajar Bakti, 1986, hlm. 3.

Tidak ada komentar: