Maman S. Mahayanað
Masa Lalu yang Agung
Aceh, pasca-tsunami adalah sebuah dunia baru. Paling tidak, ia mesti menjadi sebuah awal yang coba lahir kembali lewat serpihan dan serakan masa lalu yang mengagumkan dan sekaligus juga mengenaskan. Masa lalu Aceh yang mengagumkan tentu saja lantaran pada masa awal kedatangan Islam di Nusantara, Aceh menyimpan beragam peristiwa sejarah yang agung. Sebutlah beberapa nama di antaranya, seperti Hamzah Fansuri, Abdul Rauf Singkel dan Nurrudin Ar-Raniri. Bukankah mereka telah menjadi sebuah mitos dan ikon tentang perdebatan intelektual yang bersumber pada ideologi agama. Perbedaan tafsir dan pemahaman mengenai konsep Tuhan dan keberadaan-Nya sesungguhnya tidak lain sekadar usaha manusia untuk coba memahami Sesuatu yang berada di luar batas rasio. Tuhan bermukim entah di mana dan manusia bersikeras masuk ke wilayah metarasional itu. Maka, tafsir pun datang bersama perbedaan makna dan keyakinan. Dalam konteks itu, Aceh telah memberi sumbangan penting bagi pergulatan pemikiran Islam yang kemudian mempengaruhi perkembangan Islam di Nusantara. Di sanalah tempat Hamzah Fansuri berdiri sebagai tokoh pembaharu spiritualisme Islam. Lewat karya-karyanya yang simbolik dan puitis Hamzah Fansuri berhasil membuat tonggak sendiri bagi kepenyairan Melayu, dan belakangan, kepenyairan Indonesia.[1]
Pada masa itu, keharuman Aceh sebagai salah satu pusat pertumbuhan dan perkembangan intelektual telah merebak jauh melewati batas wilayah Nusantara. Ia lalu menjadi sihir bagi para intelektual mancanegara. Sejak itu, kesultanan Aceh seperti terus berkelanjutan mengibarkan panji-panji keagungannya.
Ketika sejarah pergerakan bangsa mengisahkan kepahlawanan Teuku Umar dan pejuang Aceh lainnya, kita makin yakin bahwa Aceh tidak dapat melepaskan dirinya dari keindonesiaan. Ia bagian dari riwayat hidup Indonesia. Itulah salah satu ikon heroisme dan patriotisme keindonesiaan Aceh dalam perlawanan menentang penjajah (: Belanda). Bukankah perang terbesar yang memakan waktu paling lama dan biaya begitu besar bagi Belanda, terjadi justru lantaran Perang Aceh? Setelah itu, Perang Jawa berada di urutan kedua dengan Pangeran Diponegoro sebagai tokoh sentralnya.
Teuku Umar tak melangkah sendirian. Sang istri melanjutkan perjuangannya: Cut Nyak Dhien menjadi simbol perlawanan dan tampil sebagai representasi wanita-pejuang Aceh, wanita pejuang Indonesia. Aceh ternyata juga tidak hanya punya Cut Nyak Dhien. Pada zamannya dan berlanjut ke depan masih ada Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, dan Pocut Meurah Intan. Ke belakang, tak dapat pula kita melewatkan Ratu Nur Ilah, Ratu Nahrasiyah, Laksamana Keumalahayati, Sultanah Tajul Alam Safiatuddin Syah, sampai Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah, Ratu Inayat Zakiatuddin Syah, Ratu Kamalat Zainatuddin Syah.[2]
Niscaya masih ada nama-nama lain di antara itu. Setidaknya, Aceh mempunyai sejarah yang tidak hanya membanggakan warga puaknya, melainkan juga warga bangsa. Aceh telah mengajarkan makna perlawanan—perjuangan bagi sebuah bangsa bernama Indonesia. Nama-nama itu, niscaya tidak lahir tanpa makna. Di sana, ada semangat, élan, dan keyakinan yang teguh tentang pentingnya mempertahankan harga diri dan martabat sebuah bangsa. Aceh telah menggoreskan garis-garis tinta emas yang membanggakan Indonesia dan memancarkan pujian bangsa-bangsa di belahan bumi yang lain.
Masa Lalu yang Layu
Ketika tak ada musuh bersama yang bernama bangsa asing dan para founding fathers merumuskan sendiri bentuk negara dan pemerintahannya, konon, Aceh masih sempat memberi tanda mata berupa sebuah pesawat. Lalu selepas itu, minyak bumi dan kekayaan alam lainnya mengucur ke Jakarta. Aceh dibiarkan menjadi penonton pasif yang harus menerima begitu saja “belas kasihan” Jakarta. Mulailah muncul gumpalan pertanyaan yang lalu meneteskan benih luka yang barangkali masih dapat ditahan sambil berharap ada perbaikan.[3]
Tetapi mengapa heroisme dan patriotisme Aceh harus dicurigai sebagai keinginan untuk mendirikan sebuah negara (Islam)? Lalu dijalankanlah apa yang disebut Daerah Operasi Militer (DOM). Mengapa DOM harus terjadi di Aceh, wilayah yang warga puaknya sudah dikenal sejak lama mempunyai integritas, kesetiaan dan loyalitas terhadap Indonesia. Luka itu seperti makin lebar ketika tak ada usaha (dari pemerintah) untuk menuntaskan duduk perkara peristiwa hitam itu. Lalu muncul Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang tiba-tiba terjebak pada peristiwa saling membunuh dengan tentara dan polisi? Apa dan bagaimana sesungguhnya yang melatarbelakangi dan yang melatardepani peristiwa berdarah itu? Mengapa sesama saudara harus saling mengeluarkan darah? Sejarah keagungan Aceh, perdebatan intelektual tentang Islam, semangat patriotisme dan heroisme Teuka Umar dan pejuang Aceh lainnya, seketika seperti masa lalu yang beku. Aceh menjadi sebuah kawasan yang di sana, harga nyawa manusia tiada bermakna.
Sungai-sungai seketika juga berubah menjadi aliran yang membawa bau busuk entah mayat-mayat siapa.[4] Tempat-tempat pengungsian menjadi pemandangan kesengsaraan orang-orang yang tak berdosa. Hidup bertetangga di tengah warga tiba-tiba berubah menjadi kegiatan saling mencuri nyawa. Aceh menjelma kengerian dengan desing peluru entah dari moncong senjata siapa, mengoyak dada saudara sendiri. Inikah Aceh yang telah mengajari Indonesia dengan patriotisme dan heroisme?[5]
Ketika warga Aceh dihinggapi tanda tanya, saat kata damai makin jauh dari bumi Serambi Mekah, seketika itulah bencana datang: tsunami! Di manakah Aceh sekarang?
Sihir Tsunami
Ziarah Ombak[6] adalah sebuah persaksian tentang bencana mahadahsyat itu. Ia seperti sebuah klimaks dari rentetan segala luka. Tsunami telah mencatatkan dirinya sebagai bencana paling dahsyat dari semua bencana apa pun yang terjadi di muka bumi pada abad ini. Dan pada saat tak ada lagi kata yang dapat melukiskan kemahadahsyatan musibah itu –yang dikatakan Anton Kieting, kehabisan kertas dan tinta untuk bercerita atau dalam pandangan Asa Gayo, tak ada lagi yang bisa berkata-kata/semua diam membisu/berdzikir dalam air mata atau juga seperti dikatakan Deddy Satria: kupahatkan tanpa kata-kata//—Aceh menjadi pusat simpatik dan empati segenap bangsa di dunia. Tsunami telah menyihir umat manusia dalam hamparan kedukaan yang meluas. Aceh menjadi sebuah ikon yang tiba-tiba saja merampas empati siapa pun. Ia seperti menjadi alat yang dapat mempersatukan berbagai perbedaan ras, suku, agama, politik, dan kultur. Ia serempak lebur dalam perasaan yang sama: duka umat sejagat!
Dalam konteks keindonesiaan, Aceh dan tsunami telah membukakan mata dan hati warga bangsa ini memasuki babak penyadaran, bahwa segala konflik berdarah dengan latar belakang berbagai kepentingannya, harus segera dihentikan. Tentara, polisi, GAM, guru, penyair, pegawai negeri, atau apapun sesungguhnya sekadar label profesi. Ia melekat pada diri manusia Aceh, manusia Indonesia, yang hendak menjalankan hidup sebagai manusia bermartabat—berbudaya. Label itu sekadar alat mencari penghidupan dan menunjukkan tanggung jawabnya sebagai Manusia (dengan M besar). Lalu, mengapa pula label itu dimaknai sebagai sumber perbedaan yang kemudian berujung pada pertumpahan darah? Aceh, kini, bukan lagi milik aku atau engkau, kami atau mereka. Aceh adalah kita, dan kita bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan Aceh.[7]
Sebuah peristiwa absurd dan irasional. Ketika tanah Aceh dibanjiri darah penduduk tak berdosa, darah anggota GAM, tentara atau polisi, tiba-tiba semua menjadi kita selepas tsunami meninggalkan duka yang tak terperikan. Dalam sekejap, batas tegas antara aku dan engkau, kami dan mereka, serta-merta lebur menjadi kita. Inilah sebuah rekonsialiasi paling menakjubkan yang menghancurkan segala sekat perbedaan atas nama berbagai kepentingan. Semua tumpah dalam perasaan yang sama: duka Aceh adalah kita.[8] Pertanyaannya kini: bagaimanakah model persaksian para penyair Aceh sendiri tentang tsunami itu sebagaimana yang terungkap dalam Ziarah Ombak? Bagaimana pula mereka menyikapi musibah itu dan merefleksikannya dalam puisi?
Tsunami: Sebuah Peringatan
Ziarah Ombak yang diawali tegur-sapa semangat penyadaran Helmi Hass dan kemudian Kata Pengantar Ahmadun Y. Herfanda, penyair, cerpenis, dan redaktur budaya harian Republika. Buku ini memuat 130 puisi karya 48 penyair. Dengan melakukan tiga pembagian, yaitu Ziarah (Bagian Satu), Makam (Bagian Dua) dan Membaca Tanda-Tanda (Bagian Tiga), editor –D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa—tampaknya hendak membuat tanggapan evaluatif atas musibah mahadahsyat itu.
Bagian Pertama bolehlah dimaknai sebagai sikap keprihatinan para penyair Aceh yang selamat dari prahara tsunami. Pada bagian ini ada 85 puisi karya 38 penyair Aceh. Mereka seperti bermaksud melakukan semacam ziarah kepada segenap korban, mewartakan persaksian, dan sekaligus menyatakan kedukaannya yang mendalam. Bagian Kedua yang bertajuk Makam memuat 26 puisi karya tiga penyair Aceh –Nurgani Asyik, Maskirbi, dan Mustiar AR—yang diyakini termasuk korban dari sekitar 200-an ribu korban lainnya. Ketiga penyair Aceh itu hingga kini tidak jelas di mana jasadnya. Jadi, tentulah karya ketiga penyair itu ditulis sebelum dating bencana dahsyat itu. Bagian Ketiga (Membaca Tanda-Tanda) memuat 19 puisi karya tujuh penyair Indonesia dan Malaysia –yang entah mengapa, biodatanya tak ada di sana. Bagian ketiga ini, bolehlah dipandang sebagai bentuk empati penyair di luar Aceh yang hendak berbagi duka atau pemberi semangat untuk tidak larut dalam kesedihan yang berkepanjangan.
Bagian Ketiga itu, niscaya belum dapat dikatakan merepresentasikan tanggapan keseluruhan penyair Indonesia dan Malaysia, meskipun di sana disebutkan “sangat dekat dengan Aceh.” Editor tentu punya alasan sendiri atas pilihan itu yang duduk perkaranya sering jatuh pada masalah teknis. Dalam hal ini, sepatutnya kita memberi apresiasi atas usaha dan kerja keras editor buku ini. Terlepas dari persoalan teknis itu, mari kita coba menelusuri, bagaimana para penyair Aceh memandang, menempatkan, dan memaknai tragedi mahadahsyat itu.
Puisi karya Anton Kieting (“Sajak kepada Penyair”) dan Armiati Langsa (“Bangkitlah”) cenderung merupakan seruan kepada Aceh untuk mengubur tsunami sebagai catatan hitam dan menatap masa depan sebagai langkah yang sudah semestinya dijalankan. Meski begitu, ada hal menarik yang terungkap di sana. Pada “Sajak kepada Penyair” Kieting seolah-olah hendak bertegur-sapa dengan penyair Maskirbi yang menempatkan tugas kepenyairan sebagai bilal –sebuah profesi yang tak populis, jauh dari keuntungan materi, dianggap pekerjaan tak bermakna dan cenderung dipandang tak punya fungsi sosial. Bilal –pengumandang azan—memang dapat dilakukan sesiapa pun. Tetapi siapakah yang punya kesadaran bahwa tugas bilal adalah titik berangkat menuju kemenangan, menjauhkan kemungkaran, dan mendekatkan kebaikan? Maskirbi telah melakukan itu dan hendak dilanjutkan oleh si aku liris: Aku akan tetap menjadi penyair yang mengabarkan kesaksian/pada setiap perjanjian/Karena kau pinta aku menjadi bilal/Yang selalu mengabarkan setiap perjanjian// Jadi, di sana ada persaksian dan sekaligus juga perjanjian.
Bahwa kemudian tsunami datang dan menggerus segalanya sebagai pertanda, sang penyair melihatnya dari dua sisi. Pertama, sebagai musibah yang tak terperikan sehingga ia tak mampu mengungkapkannya dengan kata apa pun. Kedua, sebagai bagian yang tak terlepas dari masa lalu. Tsunami dipandang sebagai buah dari serangkaian kealpaan yang dilakukan entah oleh siapa pada masa lalu. Inilah yang dikatakan Sigmund Freud sebagai ketaksadaran traumatik.[9] Kecemasan yang bersumber dari tindakan masa lalu: … buta mata hatinya/mencuri perut saudara-saudaranya/menzalimi anak yatim// Sebuah seruan introspektif untuk tidak melakukan kesalahan yang sama.
Cara pandang seperti itu juga ternyata tampak pada puisi Armiati Langsa yang melihat Aceh dalam tiga dimensi waktu: masa lalu, kini, masa depan. Maka, ia melihat tsunami sebagai peringatan dan sekaligus awal untuk memulai kebangkitan kembali keagungan Aceh. Ketika ranting cabang dan pohonnya dicabik peringatan/Allah yang Maha Punya…/Pemilik tangan pengatur jagat raya// Jadi, bagi Armiati Langsa, tsunami sebagai representasi tangan Tuhan, agar bangsanya tak lalai menjalankan kewajibannya sebagai manusia. Kelalaian itulah yang sesungguhnya “telah mengundang bencana.”
Begitulah Langsa melihat tsunami tak berdiri sendiri. Ia menjadi bagian masa lalu yang penuh kelalaian: hura-hura, pesta pora, gelimang dosa, narkoba, dan syahwat yang secara metaforis dikatakannya sebagai paha yang tak lebih mahal dari kaki rusa// Maka, tak ada pilihan lain bagi rakyat Aceh, kecuali bangkit membangun kembali Aceh Raya, sambil bertaubat, bertasbih, dan berdoa. Atau, bagi Rianda Asriani: … bertafakur/ mengaca dari segala dosa, dengan kaca mata batin yang/bersih//. Ajakan Asriani tentu tidak datang secara serta-merta. Ia juga melihat masa lalu: Anak, anak yang dulu terlahir suci/yang dulu juga pernah diyatimkan oleh gemuruh senapan …. Bagaimanapun, bagi Asriani tsunami mesti dimaknai sebagai peringatan yang dikataknnya sebagai dian di kegelapan. Jadi, masih ada titik harapan untuk menatap masa depan. Biarlah masa lalu tentang tanah yang penuh sengketa/… yang diredam gelombang senjata/… dan penuh air mata (Syarifuddin Abe, “Air Tanah”) tetap sebagai masa lalu, dan tsunami menjadi batas tegas yang memisahkan masa lalu dan masa depan.
Pada diri penyair Mh Agam Fawirsa, tsunami telah meninggalkan pekuburan massal yang justru melengkapi kepedihan dan catatan kelam Tanah Rencong. Di depan makam massal ini/air mata memang telah terlalu banyak tumpah/membasuh jejak-jejak kaki yang terkubur/dalam catatan sejarah paling kelam/di bumi tanah rencong// Bagi Fawirsa, meski banyak orang menebarkan empatinya, ia masih belum yakin benar, bahwa catatan hitam itu akan berhenti di sana yang dikatakannya: bersama badai belum pasti berlalu/dalam derap langkah anak negeri ini/menyongsong masa depan yang tak pasti// (“Catatan Malam”). Sebuah masa lalu yang juga dirasakan Reza Idria (“Luruh”):
Belati menghujam berkali-kali
kami tak menangkis
kami tak menangis
maut terus-menerus mengerus takut
Di sini
Lelaki lama telah menyendiri
lalu anak dan perempuan pergi
lalu harapan
lalu ingatan
lalu mati
lalu sunyi
Apalagi yang masih tersisa selain sunyi? Sebuah pesimisme yang lahir dari serangkaian pengalaman traumatik yang tak gampang terkubur, meski tsunami telah menguburnya. Bagi Fawirsa {“Cerita Nenek kepada Cucunya”) yang masih mungkin dilakukan adalah membuat monumen peringatan bagi generasi yang akan datang tentang gejala tsunami dan tentang pengharapan terbesar dalam hidup di dunia ini: Tuhan. Ingatlah cucuku/Jangan lupa pesan dan cerita nenekmu ini/jangan lupa kepada Allah//
Begitulah, musibah dahsyat itu ternyata disikapi sebagai kepedihan yang tidak berdiri sendiri. Mohd. Harun Al-Rasyid, Reza Idria, Rianda Asriani, Sukran Daudy, Syarifuddin Abe, dan Win Ruhdi Bathin, misalnya, melihat tsunami sebagai sebuah klimaks dari rangkaian kepedihan yang dialami Aceh. Maka, kembali, di satu sisi, tsunami bagi korban hadir sebagai semacam katarsis, pelepasan dari kedukaan yang bertumpuk-tumpuk, dan di sisi yang lain, bagi mereka yang selamat, tsunami menambah kisah duka tentang sanak keluarga, tetangga, dan orang-orang tercinta. Jadi, dari satu titik harapan terkecil, sebagai bentuk apologia bagi para korban itu, tsunami laksana langkah berangkat menuju Tuhan. Para korban diyakini pula mencapai kebahagiaan di dunia sana. Bukankah mereka sudah sekian lama menahan sabar, menunggu Tuhan mencipratkan kebahagiaannya. Perhatikan kepedihan yang tak terucapkan di balik larik-larik berikut:
Tuhan
Sebagai ayah, aku hanya ingin bertanya
Karena kutahu anakku yang belia
Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan
Belum kenal aneka kemusyrikan
Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam
Apalagi dengan nafsu angkara murka (“Aku Bertanya Pada-Mu”)
Anakku, damailah ruhmu dalam kebahagiaan
Selamat berdandan di sisi Tuhan
Memilih gaun ulang tahun di almari
Dan merebahkan jasad di ranjang dambaan
Andai engkau telah pergi berkelana di taman Tuhan
Ayah ucapkan selamat jalan ananda tersayang
Jangan lagi berpaling ke belakang
Karena ayah telah ikhlaskan
Kita bertemu di yaumil mahsyar (“Kenangan dalam Keikhlasan”)
Sungguh, larik-larik tadi secara tekstual menyampaikan sebuah pertanyaan retoris: mengapa Tuhan membawa orang-orang tercinta yang tak berdosa (“Aku Bertanya Pada-Mu”) dan di bagian lain (“Kenangan dalam Keikhlasan”) menyampaikan pewartaan seorang ayah tentang anaknya. Tetapi di balik itu ada gugatan yang datang dari segumpal kepedihan yang tak tertahankan. Di sana, ada tangis yang kehabisan air mata. Inilah yang dalam konteks teologis disebut mysterium tremendum et fascinans: misteri yang menakjubkan sekaligus juga menakutkan. Bukankah kuasa Tuhan itu penuh misteri yang berada di luar batas logika. Oleh karena itu, di balik ketidakpahaman tentang kuasa Tuhan, manusia sering merasa takjub dan sekaligus takut. Dalam tarik-menarik –takjub dan takut itu, kabar tentang “Kenangan dalam Keikhlasan” menegaskan sikap keberimanannya yang kukuh dan tak tergoyahkan. Hanya dengan kekuatan iman itulah si aku lirik (ayah) masih menyimpan setitik harapan dapat jumpa di Yaumil Mahsyar. Yang dalam bahasa Muhammad Irvan: menanti … di tempat yang dekat.
Demikian, sejumlah besar puisi karya penyair Aceh yang terhimpun dalam antologi ini memperlihatkan, betapa mereka tidak dapat begitu saja melupakan masa lalu, meski telah datang malapekata yang jauh lebih dahsyat: tsunami. Dalam hal ini, kebesaran masa lalu tentang dinamika intelektual Hamzah Fansuri atau Nurrudin, panji-panji keagungan para sultannya, dan heroisme Teuku Umar dan sederet panjang nama lainnya, seolah-olah tenggelam huru-hara konflik berdarah sesama saudara. Maka, tsunami disikapi sebagai peringatan atas sejumlah kelalaian itu.
Tsunami: Sebuah Persaksian
Selain sebagai “peringatan”, tsunami bagi sejumlah penyair Aceh lainnya –yang puisi-puisinya terhimpun dalam buku ini—merupakan peristiwa yang kedatangannya penuh dengan misteri yang dengan cara apapun tidak dapat dicari jawabannya. Jadi, di antara serangkaian pertanyaan yang justru malah menciptakan spiral pertanyaan, sejumlah penyair itu coba melakukan semacam persaksian. Maka, meski di sana-sini muncul hasrat melakukan refleksi evaluatif, mereka berusaha menangkap momentum tsunami sebagai bagian dari tanggung jawab sosialnya. Mereka berusaha merefleksikan persaksiannya, meski di belakang itu, ada sejumlah pertanyaan yang tak dapat mereka jawab: pertanyaan yang berada di luar batas logika; pertanyaan yang dapat digolongkan sebagai pertanyaan metarasional. Di situlah, puisi (: sastra) dapat ditempatkan sebagai potret sosial zamannya. Ia akan menjadi catatan sejarah yang sekaligus mengungkapkan berbagai akibatnya serta makna di balik peristiwa itu. Tentu saja sikap itu merupakan pilihan penyairnya sendiri. Bukankah setiap penyair (: sastrawan) kerap tidak dapat melepaskan dirinya dari fungsinya sebagai suara zaman?
Lihatlah sejumlah besar puisi Audi Nugraha, Arafat Nur, Azhari, D. Kemalawati, Deny Pasla, Deddy Satria, Dhe’na, Doel CP Allisah, Faridah, Fikar W. Eda, Fozan Santa, Jingga Gemilang, LK Ara, Mustafa Ismail, Mustika Ajerso, Nurdin F Joes, Ridwan Amran, Rosni Idham, Saifullah Thahir, Salman Yoga S. Sujiman A. Musa, Sukran Daudy, Sulaiman Juned, Sulaiman Tripa, Wina SW1, Win Ruhdi Bathin, Wiratmadinata, Yun Casalona.
Audi Nugraha dalam “Ada Apa Saat Itu” misalnya, menempatkan tsunami yang hanya dalam sesaat tiba-tiba menghancurkan segalanya. Ia seperti memotret hiruk-pikuk ketika gelombang tsunami bergulung-gulung di hadapan matanya. Ia takjub, sekaligus takut atas kedahsyatannya. Maka, tidak saat itu saja/manusia tetap ingat akan saat itu/ setiap saat pasti terjadi seperti saat itu/karena saat itu adalah milik-Nya//.
Dalam puisi “Jadi, Maka Jadilah” Audi Nugraha melihat tsunami sebagai fenomena alam yang di belakangnya, bisa saja tangan Tuhan ikut bermain. Ketika manusia melakukan eksploitasi dan eksplorasi alam, menguras kekayaannya tanpa mempertimbangkan ekosistem, dan membiarkan kerusakannya terjadi di mana-mana, ketika itulah alam tidak lagi diperlakukan sebagai “sahabat—saudara”. Alam menjadi sebuah kata benda yang dapat diperlakukan seenaknya. Maka, ketika ia memperlihatkan kekuasaan-Nya, segalanya sudah terlambat. Nugraha lalu mengajak kita melakukan perenungan: Sadarkah manusia bahwa alam bisa marah?/ Maka bersahabatlah dengan alam/karena manusia bukan makhluk bumi/kita diterima di alam ini karena titipan sementara dari Maha Pencipta//
Kesadaran manusia sebagai homo religius akan memperlihatkan intensitasnya ketika sesuatu yang mahadahsyat –kuasa alam—tiba-tiba datang serempak seperti hendak menyergapnya. Pada saat itulah manusia cenderung berlari atau mencari perlindungan pada sesuatu kuasa yang lain yang diyakini dapat menolongnya. Bagi umat beragama, sesuatu itu tidak lain adalah Tuhan. Inilah yang terjadi pada diri Asa Gayo yang diungkapkannya dalam puisinya yang berjudul “Baitur Rahman.” Maka ketika ia melihat kedahsyatan tsunami, secara instingtif ia serta-merta menempatkan Baitur Rahman sebagai “tempat berlindung.” Ya Rabbi/Izinkan kami bersujud/Di rumah-Mu yang suci/Izinkan/Izinkanlah kami yang hina ini/Bertaubat pada-Mu/Ya Rabbi//[10] Hal itu pula yang dirasakan Arafat Nur (“Tsunami 3) yang menempatkan tsunami bukan sebagai “bencana” melainkan sebagai uluran tangan Tuhan berkat dzikir dan sembahyang, akan membawanya pada perjumpaan dengan Tuhan.
Dalam “Alia, Gadis Kecilku” si aku liris meyakini bahwa perpisahannya dengan sang bidadari itu sesungguhnya merupakan perjalan baginya untuk sampai pada Tuhan. Jadi, meski metafora yang dibangunnya begitu tenang, mengalun, seperti sebuah rintih kecil yang tak menggugat, ada kegetiran yang tak terucapkan di sebaliknya. Ia pun menempatkannya sebagai sebuah perjalanan untuk kelak jumpa kembali di Surga. … mungkin besok/atau lusa/kita bertemu juga/di surga//
Peristiwa perpisahan itu pula yang juga dirasakan Azhari (“Ibuku Bersayap Merah”) ketika orang-orang tercintanya tak ia jumpai di kampungnya. Meski begitu, Azhari pun berkeyakinan bahwa Tuhan tak akan membiarkannya berpisah tanpa arti. Malaikatlah yang akan membawa mereka berkumpul kembali.
D. Kemalawati dalam “Kita tak Belajar Membaca Tanda-Tanda” dan “Dahaga Laut” membuat persaksian atas kegalauan yang terjadi saat tsunami memperlihatkan tanda-tanda kedatangannya yang kemudian disusul dengan bertumpuk-tumpuk kegalauan lain yang tak terperikan. Sebuah potret metaforis yang seperti hendak menyihir kita (pembaca) untuk coba melihat dan merasakan sendiri peristiwa itu. Kedua puisi itu laksana pewartaan yang disuarakan melalui dunia batin yang ikut goncang. Berbagai cemas, takut, ngeri, sesal, dan entah segala rasa apa lagi seperti meluncur begitu saja menciptakan potret hitam yang garis-garis gambarnya masih dapat kita cermati. Kemalawati seperti hendak bercerita panjang dalam setiap lariknya yang padat. Hampir setiap lariknya membangun peristiwa yang mengajak kita untuk membayangkan kembali peritiwa 26 Desember itu.
Sebagai penyair (: sastrawan), Kemalawati telah menjalankan tugasnya menyampaikan kesaksian sebuah peristiwa yang terjadi pada zamannya. Tak ada air mata di sana, tetapi kita ikut hanyut dalam galau yang disampaikannya. Lalu, bagaimana ia menyikapi peristiwa itu? Pada larik terakhir kedua puisi itu jawabannya. … mengapa berlari dari masjid yang mengisyaratkan pentingnya kembali menghidupi masjid. Sementara dalam “Dahaga Laut,” Kemalawati masih menyimpan optimisme untuk membangun kembali Aceh dari sisa semangat yang berserakan: memungut kayu-kayu yang berserakan/untuk tiang gubuk kami yang baru//
Doel CP Allisah (“Ingatan”) juga menyampaikan persaksiannya atas musibah itu. Baginya, segenap korban adalah syuhada. Bagaimanapun, hanya kerelaan yang dapat ia lakukan sambil menyampaikan doa yang tak pernah putus. Di balik itu, tsunami makin meneguhkan keyakinannya pada kuasa Sang Khalik yang tak terbatas.
Persaksian yang lain disampaikan Rosni Idham yang keterkejutannya cukup ia katakana: Aku terperangah. Sebuah gebalau psikologis yang berada dalam batas tipis antara percaya dan tidak percaya, antara mimpi buruk dan realitas. Sebuah ekspresi psikis yang sebenarnya tidak mewakili apa-apa, tetapi sekaligus mewakili seluruh goncangan jiwanya yang dahsyat. Bagaimana ketika tiba-tiba jerit histeris, kekacauan, hiruk-pikuk, dan gelombangan tangis menghancurkan ketenangan? … aku terperangah/Aku tak mengerti maknanya/Aku terpajak kehilangan kata//
Sejumlah besar puisi dalam antologi ini sesungguhnya menyimpan begitu banyak peristiwa. Semuanya bersumber dan bermuara pada satu kata: tsunami! Pembicaraan ini jelas sama sekali tidak mengungkapkan keseluruhan persaksian yang disampaikan para penyair Aceh. Dengan demikian, pilihan puisi yang diambil sebagai contoh kasus pembicaraan ini pun, sekadar hendak menegaskan bahwa penyair Aceh, dengan caranya sendiri dan dalam suasana ketercekamannya, masih dapat membuat persaksian tentang musibah mahadahsyat itu. Maka, yang dapat kita tangkap dari persaksian itu adalah usaha mereka untuk menempatkan dan memaknai tsunami sebagai (1) peristiwa yang tidak berdiri sendiri mengingat ada persoalan lain di belakangnya, dan (2) peristiwa yang harus diterima sebagai sebuah hukum alam yang memang sudah terjadi. Maka, menerima dengan ikhlas dan menatap kembali masa depan adalah tindakan yang lebih bertanggung jawab. Bagaimanapun juga, Aceh harus bangkit kembali mengibarkan panji-panji keagungannya.
Makam: Melupakan Potret Buram
Bagian Dua yang bertajuk “Makam” menghimpun sejumlah puisi karya tiga penyair yang menjadi korban tsunami.[11] Sebagai korban, pastilah ketiganya tidak berkesempatan memahami dan menempatkan tsunami. Mari kita coba melihatnya:
Ada 26 puisi dalam bagian ini. Lengkapnya: 10 puisi karya M. Nurgani Asyik, 11 puisi karya Maskirbi, dan lima puisi karya Mustiar AR. Dari ke-26 puisi itu, kita dapat merasakan bahwa jeritan paling kuat dari ketiga penyair ini bukanlah kerinduannya pada Sang Khalik, melainkan kecemasannya menyaksikan konflik berdarah yang tak kunjung selesai. Mereka bersaksi tentang Aceh yang terluka oleh tembakan, seorang anak yang membawa lukanya ke surga, anak negeri yang diperkosa kezaliman, rektor yang tak membayangkan kematiannya melalui pintu yang mana, dan serentetan peristiwa berdarah lainnya. Segalanya ingin dikisahkan, sebagaimana yang dikatakan Maskirbi: Banyak yang ingin kutulis/tapi tak tertulis/kata-kata sudah tak lagi sebagai kata// (“Gagap”). Apa maknanya bagi kita ketika persaksian ketiga penyair itu berkisah tentang Aceh yang luka oleh tembakan? Mustiar AR coba mengingatkan kita:
Ya Allah
Engkau Yang Maha Kuasa
damaikan hati saudaraku yang bertikai
tunjuki mereka ke jalan yang Kau ridhai
Amin Ya Rabbal Alamin
Maka, Aceh pascatsunami adalah Aceh yang …memungut kayu yang berserakan/ untuk tiang gubuk kami yang baru// Atau, dalam bahasa Helmi Hass: Menatap esok pagi dengan penuh semangat/Di sanalah ada iman!
***
Ziarah Ombak sungguh mewartakan banyak hal tentang tragedi mahadahsyat. Dalam kegetiran itu, para penyair Aceh mencoba membuat persaksian atas peristiwa itu menurut persepsi dan gebalau kegelisahannya masing-masing. Di belakang gebalau itu, kita seperti menemukan lubang kecil yang dari lubang itulah, terhampar begitu banyak kisah yang tak terucapkan. Ia menyimpan trauma yang bertumpuk-tumpuk. Dan dalam setiap tumpukannya, terpendam keagungan masa lalu Aceh yang dibalut oleh selimut luka berdarah. Lalu datang tsunami sebagai klimaksnya. Jangan ada lagi klimaks yang lain. Cukup sampai di sana. Maka, kinilah saatnya kita melangkah menuju babak baru yang lebih cerah dan bermartabat. Semoga!
-----------------------------------------------
ó Pengantar Diskusi Buku Ziarah Ombak (Editor D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa), Banda Aceh: Lapena, 2005, 235 halaman. Diselenggarakan di Banda Aceh, 22 Oktober 2005.
ð Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
[1] Periksa sejumlah tulisan Abdul Hadi WM, antara lain, Sastra Sufi: Sebuah Antologi (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), Kembali ke Akar kembali ke Sumber (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), Hamzah Fansuri: Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya (Bandung: Mizan, 1995), Islam Cakarawala Estetik dan Budaya (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), dan Tasawuf yang Tertindas (Jakarta: Paramadina, 2001).
[2] Mengenai riwayat tokoh-tokoh wanita Aceh itu, lihat Ismail Sofyan, M. Hasan Basry, dan T. Ibrahim Alfian (Ed.), Wanita Utama Nusantara dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta, 1994).
[3] Konflik Aceh dengan Pemerintah Pusat dimulai dari ketidakpuasan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang coba menerapkan syariat (Islam) di Aceh. Ketakutan yang berlebihan dari Pemerintah Pusat telah menyebabkan konflik itu berkelanjutan, hingga terbentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memicu pemberlakuan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh.
[4] Azhari dengan sangat bagus menggambarkan traged berdarah itu dalam cerpen “Yang Dibalut Lumut” (Perempuan Pala, Yogyakarta: Akademi Kebudayaan Yogyakarta, 2004).
[5] Hampir semua karya yang mengangkat kegetiran rakyat Aceh mewartakan trauma atas konflik berdarah itu. Sekadar menyebut beberapa di antaranya, periksa Alia: Luka Serambi Mekah karya Ratna Sarumpaet (Jakarta: Metafor Publishing, 2003), Aceh Mendesah dalam Nafasku (ed. Abdul Wahid BS, Fikar W. Eda, dan Lian Sahar, Banda Aceh: KaSUHA, 1999), Aceh dalam Puisi (Ed. LK Ara, Bandung: Syaamil Cipta Media, 2003), Rencong karya Fikar W. Eda (Bekasi: KaSuha dan SAJAK, 2003, Cet. II, 2005).
[6]D. Kemalawati dan Sulaiman Tripa (Ed.), Ziarah Ombak: Sebuah Antologi Puisi (Banda Aceh: Lapena, 2005, 235 halaman).
[7]Sebagai wujud keprihatinan dan empati bahwa duka Aceh atas tragedi tsunami itu adalah duka kita, duka Indonesia, tampak dari gelombang solidaritas yang muncul secara spontan dari berbagai kalangan, usia, agama, organisasi dan entah apa lagi. Musibah itu sungguh telah menyentuh rasa kemanusiaan segenap bangsa di dunia. Lalu, seketika itu pula, tiba-tiba setiap orang merasa harus berbuat sesuatu untuk meringankan kedukaan rakyat Aceh. Sejumlah buku tentang ekspresi solidaritas itu, juga diterbitkan, tiga di antaranya, Maha Duka Aceh (Jakarta: PDS HB Jassin, 2005), Duka Atjeh Duka Bersama (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2005), dan Amuk Gelombang (Medan, Star Indonesia, 2005). Buku-buku lain pasti masih akan terus bermunculan. Semua menunjukkan ekspresi solidaritas bahwa duka Aceh adalah duka kita, duka Indonesia, duka umat manusia.
[8] Dalam politik identitas, konsep “Kita” dan “Mereka” penting artinya untuk memberi kesadaran tentang jatidiri sebuah bangsa atau komunitas. Aceh dalam konteks keindonesiaan adalah bagian dari diri “Kita” yang ditandai berdasarkan kesamaan sejarah perjuangan, afiliasi kultural, sistem pemerintahan, wilayah teritorial (space), dan kewarganegaraan (nationality). Meskipun demikian, sikap chauvinistik yang berlebihan atau ketidakpercayaan pada pemerintah dapat melahirkan ketidaksetiaan yang kemudian berujung pada usaha merumuskan identitas sendiri. Maka, sangat mungkin warga Aceh melihat warga di luar Aceh atau sebaliknya membuat semacam garis pembatas identitas yang ditandai dengan penyebutan “kita” dan “mereka”. Masalah Aceh dalam konteks keindonesiaan itu, tidak dapat lain, kecuali menempatkannya sebagai “Kita” yang didasarkan oleh sejumlah kesamaan yang disebutkan di atas.
[9] Mencermati sejumlah besar puisi penyair Aceh sebelum terjadi tsunami, kita akan mendapati ekspresi mereka yang cenderung didominasi oleh trauma konflik bersenjata itu. Trauma psikologis itu tidak lagi menjadi milik orang per orang, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan keseharian masyarakat. Inilah yang psikoanalisa disebut sebagai ketaksadaran traumatic kolektif. Artinya, kegetiran itu sudah menjadi ketakutan massal. Penyembuhannya hanya mungkin dapat dilakukan jika konflik bersenjata itu sudah benar-benar tidak lagi terjadi di Aceh.
[10] Lihat Sigmund Freud, The Future of an Illusion, London: Hogarth Press, 1961. Meskipun Freud menyebutnya sebagai frustasi karena alam, dalam konteks tsunami sebagai fenomena alam, penyair Aceh ini melihat tsunami justru bukan lantaran sikap frustasi, melainkan kesadaran instintif atas keakrabannya dengan Tuhan. Masjid Baitur Rahman kemudian menjadi simbol tempat “bersemayam” Tuhan.
[11] Pemuatan karya tiga penyair yang menjadi korban tsunami tentulah dimaksudkan oleh editor buku ini sebagai penghargaan dan penghormatan atas kiprah kepenyairannya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar