Maman S. Mahayana
Taufiq Ismail, penyair Angkatan 66 itu, kini berhak menyandang gelar Doktor di depan namanya. Sabtu, 8 Februari 2003, Senat Universitas Negeri Yogyakarta (UNY, dulu IKIP Yogyakarta), resmi menganugerahi gelar doktor honoris causa kepada penyair yang juga dokter hewan itu. Lalu apanya yang istimewa dari pemberian gelar yang seperti itu? Atas dasar apa pula UNY menganggap pantas untuk mengalungkan samir kepada penyair kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935 itu? Apakah lantaran dua antologinya, Tirani dan Benteng (1993) dan Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia (1999) begitu terkenal atau ada kiprah lain yang dipandang penting bagi dunia pendidikan di Indonesia? Barangkali pertanyaan lain masih dapat kita deretan. Dan pertanyaan itu pantas pula kita ajukan, justru untuk menempatkan peranannya secara proporsional.
Sebagai institusi ilmiah yang orientasinya pada dunia pendidikan, UNY memang menganugerahkan gelar doktor kehormatan itu untuk bidang Ilmu Pendidikan Sastra. Dengan demikian, UNY mencermati bahwa kiprah Taufiq Ismail dipandang telah memberi sumbangan besar bagi dunia pendidikan sastra di tanah air. Lalu langkah apa saja yang telah dilakukannya, sehingga UNY merasa perlu memberikan gelar itu kepada seseorang yang justru tidak berasal dari lingkungan pendidikan?
Boleh dikatakan, gerak langkah Taufiq Ismail beberapa tahun belakangan ini merupakan terobosan atas kebuntuan yang terjadi dalam pengajaran sastra di sekolah. Serangkaian keluhan tentang rendahnya minat baca para pelajar kita, keterasingan siswa terhadap kesusastraan bangsanya sendiri, dan kegagapan para guru mengajar sastra kepada siswa, seolah-olah memperoleh pencerahan ketika penyair yang juga salah seorang pendiri majalah sastra Horison itu, mengusung sejumlah program yang langsung menyentuh puluhan ribu siswa, ribuan guru, dan ratusan sekolah di pelosok tanah air.
Taufiq Ismail juga begitu “nyinyir” dan tiada henti-hentinya menghasut para pemegang kebijaksanaan di bidang pendidikan (bahasa dan sastra Indonesia). Ia mendesak agar pemerintah membantu program-program yang telah dirancangnya. Ia juga terus mengingatkan agar pemberdayaan guru-guru dilakukan lewat pelatihan yang “benar”. Mereka patut diberi ruang yang lebih leluasa untuk mengembangkan kreativitasnya. Bersamaan dengan itu, kurikulum diperbaiki secara mendasar dan penyusunan soal-soal Ebtanas tidak terjebak pada pilihan tunggal.
***
Ketika berbagai seminar, diskusi, lokakarya dan sejumlah forum ilmiah lainnya diselenggarakan di universitas-universitas dan institusi akademik, Taufiq Ismail diam-diam mencermati berbagai solusi yang ditawarkan dari serangkaian pertemuan ilmiah itu. Hampir semua solusi yang dihasilkan dari pertemuan ilmiah yang seperti itu adalah idealisasi para pemikir yang berkutat dengan konsep dan teori. Yang ditawarkan adalah gagasan-gagasan besar yang sangat ideal, namun tidak membumi; tidak menyentuh akar masalahnya. Selalu muncul kambing hitam untuk saling melemparkan kesalahan. Dan para guru yang menjadi sasaran timpukan kesalahan itu. Para guru pun tentu saja tidak mau tinggal diam. Mereka juga merasa berhak untuk menuding kurikulum.
Begitulah, masalah pendidikan dan pengajaran (bahasa dan) sastra Indonesia, pada akhirnya seperti sengaja dijadikan objek bulan-bulanan, agar mereka dapat berpikir keras menghasilkan solusi teoretis yang sedemikian ideal, meskipun tanpa tindakan yang konkret. Masalah pengajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah jadilah mirip benang kusut, ruwet bagai lingkaran setan, dan tak jelas ujung-pangkalnya.
Dalam keadaan begitu banyak pemikir pendidikan berkeluh-kesah, diam-diam Taufiq Ismail membuka rubrik kakilangit di majalah sastra Horison, akhir 1996. Majalah yang semula begitu angker bagi guru-guru dan para pelajar, tiba-tiba menyediakan tempat untuk mereka. Tidak hanya itu, di sana ada tulisan ringkas tentang riwayat sastrawan, proses kreatif, karyanya berikut ulasan karya bersangkutan. Rubrik itu, bagi guru-guru, tentu saja seperti obat pelepas dahaga. Mereka tak perlu repot cari bahan pembelajaran. Informasi itulah yang sesungguhnya diharapkan betul oleh guru. Maka, selain oplah Horison yang melonjak cepat dari sekitar 3000-an eksemplar, mendadak jadi lebih dari 15.000-an eksemplar. Lebih dari 5000 sekolah berlangganan majalah ini. Dan yang lebih penting dari itu, setiap bulan redaksi Horison menerima lebih dari sekitar 600-an puisi dan 50-an cerpen karya para siswa SMU.
Sejalan dengan itu, Taufiq Ismail muncul mengusung hasil pengamatannya selama empat bulan (Juli—Oktober 1997) tentang pengajaran sastra di SMU 13 negara. Sebagai sebuah pengamatan, semacam snapshot, ia sama sekali tidak memakai kerangka teoretis dan metodologi yang canggih. Ia juga tak punya pretensi menghasilkan sebuah buku penelitian yang menelurkan teori dan konsep-konsep ilmiah. Taufiq sekadar membuat data kuantitatif yang terkesan sederhana. Itulah sebabnya, ketika hasil pengamatannya yang diberi judul “Benarkah Kini Bangsa Kita telah Rabun Membaca dan Lumpuh Menulis?” itu dimuat secara bersambung di harian Republika, sejak 24 Oktober 1997, tidak sedikit doktor di bidang pendidikan, ahli sastra akademi, dan para pakar pengagum teori Barat, menanggapi secara agak mencibir.
Meskipun demikian, kesimpulan dari hasil pengamatannya itu sungguh membuat banyak pihak terbelalak. Dibandingkan SMU di 13 negara, pengajaran sastra di SMU di Indonesia ternyata berangkat dari nol buku. Artinya, tak ada buku sastra yang diwajibkan untuk dibaca para siswa sampai tamat, apalagi dibahas tuntas! Maka wajarlah jika pengajaran sastra cenderung berkutat pada bentuk hapalan. Pelajaran sastra diperlakukan tidak lebih sebagai ilmu pengetahuan teoretis. Yang disampaikan adalah konsep-konsep, pengertian, judul buku, nama pengarang, dan pengetahuan sejarah sastra. Pelajaran sastra nyaris selalu bertumpu pada buku paket yang lebih banyak kacaunya daripada baiknya.
Bersamaan dengan itu, pelajaran mengarang yang juga harus diberikan kepada para siswa, lebih banyak membahas definisi berbagai jenis dan aneka macam sistematika karangan. Pelajaran mengarang (menulis) ibarat belajar berenang di dalam kelas, tanpa pernah sekalipun merasakan derasnya sungai, dinginnya kolam atau telaga, dan asinnya air laut. Akibatnya pelajaran mengarang jadi seperti sebuah ilmu yang –kembali— sangat teoretis, njlimet, dan penuh konsep.
Hasil pengamatan itu justru memperoleh respons dari para guru dan mahasiswa. Bahkan, Bapennas ketika itu mengundangnya untuk mempresentasikan hasil pengamatan itu. Belakangan, Depdikbud seperti mendapat jalan terang dan kemudian ikut membantu program yang ditawarkan Taufiq Ismail. Dari sinilah lahir sebuah program yang diberi nama Pelatihan MMAS (Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra). Pesertanya adalah guru-guru bahasa dan sastra Indonesia di SMU. Pertimbangannya, mereka adalah agen, distributor, juru bicara, sekaligus ujung tombak pengajaran bahasa dan sastra Indonesia. Mereka berhadapan langsung dengan siswa. Maka pembenahan harus dimulai dari sana.
Bahwa Diklat MMAS berada di luar kurikulum, itu soal lain lagi. Bagaimanapun loyang-emasnya kurikulum, tokh ujung-ujungnya jatuh pada guru-guru juga. Oleh karena itu, penumbuhan rasa percaya diri, peningkatan keterampilan, dan pencerahan orientasi guru menjadi faktor krusial. Dengan meyakinkan pentingnya perubahan orientasi dan memberi sejumlah “tips” kepada mereka, bagaimana menciptakan kegembiraan dalam pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, diharapkan kegairahan siswa terhadap pelajaran itu, tumbuh secara sehat dan kreatif. Itulah muara yang hendak dituju diklat ini. Sampai tahun 2002, guru-guru yang telah mengikuti diklat ini tercatat lebih dari 600-an orang yang berasal dari SMU di seluruh Indonesia.
Hasilnya sangat mengagetkan. Dari angket yang disebarkan kepada para peserta diklat ini, lebih dari 98 % menyatakan bahwa diklat itu telah menumbuhkan rasa percaya diri, memberi pencerahan, dan menyodorkan berbagai cara pengajaran mengarang dan apresiasi sastra, serta memahami bagaimana menumbuhkan minat baca para siswa. Tidak cuma itu, mendadak pula tumbuh semangat para guru untuk menulis. Berdasarkan naskah yang diterima Panitia Lomba Menulis Cerpen dan Lomba Mengulas Karya Sastra, lebih dari 60 % naskah itu berasal dari para guru yang pernah ikut diklat MMAS. Sejak lomba itu diselenggarakan tahun 2000 sampai tahun 2002, jumlah naskah yang diterima panitia terus meningkat dengan kualitas yang juga meningkat.
***
Selain Diklat MMAS dan kedua lomba itu, lewat bantuan The Ford Foundation, Taufiq Ismail dan kawan-kawan menyelenggarakan dua program penting, yaitu (1) Sastrawan Bicara, Mahasiswa Membaca (SBMM) dan (2) Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (SBSB). Program pertama membangun dialog antara sastrawan dan mahasiswa lewat karya-karya sastrawan yang bersangkutan, dan program kedua semacam jumpa sastrawan dengan siswa. Secara signifikan, program SBSB dalam tiga tahun itu (2000—2002), telah menjangkau lebih dari 100 sekolah di sekitar 25 propinsi, di dalamnya terlibat 100-an sastrawan dan 60.000-an siswa dan guru SMU.
Melalui program SBSB itu pula lahir sebuah langkah penting; menyusun antologi. Dari lembar-lembar yang tercecer fotokopian karya sejumlah sastrawan, dihimpunlah ke dalam buku yang bertajuk Dari Fansuri ke Handayani (2001), sebuah antologi yang memuat sejumlah puisi karya 79 penyair Indonesia. Menyadari bahwa buku itu perlu penambahan jumlah karyanya, maka pada tahun 2002 lahirlah empat serangkai Horison Sastra Indonesia 1 (Kitab Puisi), 2 (Kitab Cerita Pendek), 3 (Kitab Nukilan Novel), dan 4 (Kitab Drama), ditambah dengan Kaki Langit: Sastra Pelajar. Keempat antologi itu bolehlah dikatakan merupakan monumen penting bagi perjalanan sastra Indonesia. Bagaimanapun juga, keempat antologi itu telah tampil paling lengkap dibandingkan buku antologi yang pernah ada. Lebih daripada itu, kelima buku itu secara gratis dikirim ke lebih dari 1000 SMU di tanah air. Dengan demikian, terjawab sudah keluhan para guru mengenai langkanya bahan pembelajaran sastra.
Kiprah lain dari sosok Taufiq Ismail dalam memajukan usaha pembelajaran sastra Indonesia di sekolah menyangkut adanya revisi kurikulum serta ditetapkannya sekitar 200-an karya sastra untuk bacaan wajib di SLTP dan SMU. Tentu saja langkah itu bakal berpengaruh secara signifikan bagi peningkatan minat baca dan apresiasi siswa terhadap karya sastra. Hasilnya, bolehlah kita lihat dalam empat—lima tahun mendatang.
***
Dalam dua—tiga tahun terakhir ini, memang kelihatan kontribusi atas peran yang telah dimainkan Taufiq Ismail. Dengan begitu, wajar jika Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) menganugerahi gelar doktor honoris causa. Tetapi pentingkah gelar itu bagi Taufiq Ismail sendiri. Boleh jadi, ia tidak memerlukan gelar itu. Ada atau tidak ada penghargaan itu, baginya tak menjadi persoalan benar. Yang justru lebih penting adalah perhatian institusi pendidikan atas jasa yang telah diperlihatkan seseorang, meski ia berada di luar bidang itu. Dalam konteks itulah, peristiwa itu mesti kita tempatkan.
Apa yang telah dilakukan Taufiq Ismail sesungguhnya melengkapi apa yang juga dilakukan Ajip Rosidi, Rendra, Asrul Sani, A.A. Navis, Mochtar Lubis, dan sederet panjang nama sastrawan kita. Dalam perjalanan usia negeri ini, tercatat H.B. Jassin dan Sutan Takdir Alisjahbana yang juga memperoleh gelar serupa. Pertanyaannya kini, begitu pelitkah institusi pendidikan di Indonesia memberi penghargaan yang sepatutnya pada sastrawan atau budayawan kita atau itu memang cermin arogansi kaum akademis? Ada dua kemungkinan jawaban pertanyaan itu: Pertama, institusi pendidikan kita merasa minder atas kiprah yang dimainkan orang-orang di luar institusinya. Kedua, institusi pendidikan kita terlalu asyik-masyuk dengan dirinya sendiri. Entahlah.
Terlepas dari persoalan itu, Taufiq Ismail memang pantas mendapat penghargaan itu. Dan UNY telah mengambil prakarsa yang cerdas dan terhormat. Tahniah!
(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar