Maman S. Mahayana
Sastra adalah catatan sebuah kesaksian atas satu atau serangkaian peristiwa yang terjadi pada saat dan zaman tertentu. Sebagai sebuah kesaksian, sastra boleh jadi sekadar mencatat segala peristiwa itu tanpa pretensi. Atau, mungkin juga ia mencoba melakukan pemaknaan atas hakikat di balik peristiwa itu. Itulah sebabnya, dari karya sastra, kita (: pembaca) kerap menemukan berbagai hal yang baik atau yang buruk; yang tersirat atau tersurat. Jadi, sebagai catatan sebuah kesaksian, sastra menghasilkan rekaman situasi sosial pada zamannya. Ia menampilkan semacam potret sosial. Dari sana, terungkap situasi sosial, tersembunyi semangat zaman, bahkan juga luka sejarah masa itu.
Mengingat catatan dan rekaman itu kadangkala dihasilkan dari sebuah tafsir dan evaluasi tentang satu atau berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupan dan sastrawan mencoba memberi makna terhadapnya, maka tidak sedikit pula karya sastra yang mengisyaratkan tanda-tanda, petunjuk atau prakiraan. Ia mencatat dan merekam situasi sosial pada zaman tertentu dan kemudian mencoba pula memaknainya bagi kehidupan ini, sekalian mengisyaratkan berbagai kemungkinan akibat-akibatnya sebagai buah dari peristiwa itu. Jika kondisi sosial pada zamannya dimaknai sebagai sebuah isyarat, lalu apa yang bakal terjadi di masa hadapan atas masyarakat yang bersangkutan: kebahagiaan atau kehancuran, kegembiraan atau kepedihan, serangkaian doa harapan atau teror atau caci-maki? Dalam hal ini, sastra sering juga diperlakukan sebagai ramalan tentang perkembangan zaman dan tanda-tanda yang akan dihadapi di masa depan. Apakah ramalannya itu benar-benar terjadi atau tidak, tidaklah penting. Ia hanya bertugas memberi tanda-tanda, mengisyaratkan tentang sebuah peristiwa yang (mungkin) akan terjadi dan melanda masyarakatnya kelak.
Antologi puisi Tirani dan Benteng karya Taufiq Ismail juga memperlihatkan, bahwa penyair tidak duduk berpangku tangan dan diam memandangi segala yang terjadi dan menimpa masyarakatnya. Ia tidak sekadar mengejawantahkan tanggung jawab sosialnya, tetapi juga berusaha memberi penyadaran pada masyarakat pembaca, sekaligus mencoba menyodorkan pencerahan bagaimana peristiwa yang melanda masyarakatnya harus disikapi, dijawab, dimaknai, dan jika mungkin dicari solusinya. Bahkan, penyair terlibat langsung dalam pergolakan yang terjadi ketika itu. Ia hadir sebagai pelau sejarah dan kemudian menjadi korban yang diteror, diintimidasi, dipecat dari pekerjaannya, ditutup ruang geraknya, dianiaya fisik dan mentalnya. Penyair coba memaknainya bagi kehidupan manusia dan coba pula menawarkannya kepada pembaca. Tentu saja tawarannya tidak berupa slogan, pamflet, propaganda atau dakwah. Yang dilakukan penyair adalah sebuah catatan tanpa pretensi, refleksi, renungan, introspeksi atau bahkan retrospeksi, dan sentuhan yang bersumber dari kata hati menuju kata hati yang lain. Berbagai peristiwa yang dilihat dan didengarnya itu, ia olah ke dalam isi kepalanya, kemudian ia bicarakan dengan kalbunya, dan akhirnya diejawantahkan lewat bahasa, lewat kata-kata. Wujudlah sebuah karya kreatif: cipta karya yang dibangun melalui proses pemikiran dan sentuhan kalbu. Dengan kata lain, penyair coba menyentuh pikiran dan hati nurani pembacanya melalui pengungkapan problem kemanusiaan. Ia berpikir dan berbicara dari hati nurani untuk menyapa hati nurani pembacanya. Itulah yang dapat kita tangkap dari antologi puisi Taufiq Ismail.
***
Taufiq Ismail seperti tahu persis, bagaimana ia harus bertindak menyalurkan aspirasi dan kegalauan masyarakatnya. Itulah kesadaran profesional seorang penyair. Itulah wujud tanggung jawab sosialnya. Maka apa yang kemudian terjadi dalam ekspresi puitiknya? Taufiq Ismail melalui puisi mengungkapkan fakta sosial. Melalui puisi pula ia menyampaikan fakta sosial itu untuk konsumsi kejernihan pikiran dan kesucian kata hati. Akibatnya, puisi-puisi Taufiq Ismail cenderung tidak mengarahkan pembacanya berkerut kening, berpikir keras mencari makna filsosofis, tetapi cukup sekadar menyampaikan informasi sebagai bentuk tegur—sapa antarhati nurani dan mengingatkan tanggung jawab manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas sosial dalam kehidupan sebuah negara atau dalam kehidupan di dunia ini.
Demikianlah, hampir semua puisi Taufiq Ismail, tidak menampakkan kebencian pada orang per orang, tidak pula memendam dendam dan kemarahan pada pribadi-pribadi. Ia tak membidik individu sebagai pribadi, orang per orang, melainkan lebih menitikberatkan pada masalah manusia dan kemanusiaan. Jadi, meski puisi-puisinya mengangkat peristiwa-peristiwa yang khas, sesungguhnya ia berbicara tentang masalah manusia dan kemanusiaan. Bukankah sastra yang baik selalu menggambarkan problem personal, sekaligus juga universal? Bukankah karya-karya sastra yang tak lekang ditelan zaman dan tak terkubur oleh waktu, selalu memperlihatkan kekhasan dan sekaligus keuniversalannya? Lihatlah karya-karya klasik Sophokles (Yunani), Shakespeare (Inggris), atau karya Valmiki, Bhagawad Gita (India) masih terus dibaca orang lantaran siapa pun merasa bahwa karya-karya klasik itu berbicara tentang manusia dan kemanusiaan; berbicara tentang diri kita tanpa sekat sukubangsa, ras, agama, atau ideologi?
Dalam hal itulah, peristiwa itu akan tetap aktual karena penyair menyeretnya sebagai peristiwa kemanusiaan yang kapan dan di mana pun, sangat mungkin akan terus terjadi dan berulang lagi. Oleh karena itulah, Taufiq Ismail mengingatkan nurani kita, memberi penyadaran, mengusung pencerahan, tentang sebuah tragedi kemanusiaan ketika kesewenang-wenangan meraja lela, ketika anak-anak muda menghadapi kekuasaan yang represif, ketika moral jatuh berderak-derak. Di situlah puisi (: karya sastra) memainkan peran sosialnya. Dalam hal ini, sastra mencatat dan menangkap potret sosial. Sastra juga mengangkat semangat zaman. Di balik itu, ia mengingatkan nilai-nilai kemanusiaannya tak akan lekang ditelan zaman, tak akan terkubur oleh waktu yang terus berjalan.
MSM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar