Maman S Mahayana*
Jika Muhammad Yamin, lewat Surat Keputusan Presiden RI, 6 November 1973, dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional, penghargaan itu sungguh merupakan penghormatan yang pantas. Yamin merupakan salah seorang tokoh pergerakan, pemikir, dan budayawan yang melihat kehidupan bangsa ini, ke masa depan jauh melampaui zamannya. Sebuah teladan dari sosok manusia yang gagasannya mengenai pentingnya persatuan bagi bangsa yang multietnik waktu itu, mutlak perlu segera dipancangkan.
Muhammad Yamin lahir 23 Agustus 1903 di Talawi, dekat Sawahlunto, Sumatera Barat. Selepas tamat sekolah Melayu, ia memasuki HIS dan kemudian melanjutkan ke sekolah guru di Bukittinggi. Pernah mengikuti Sekolah Pertanian dan Peternakan di Bogor (1923), namun, tidak selesai. Pada tahun 1927, merampungkan pendidikannya di AMS Yogyakarta. Belum puas dengan itu, ia masuk sekolah Hakim Tinggi di Jakarta hingga selesai tahun 1932 dengan gelat Meester in de Rechten (Sarjana Hukum).
Seperti juga pemuda-pemuda terpelajar yang hidup di zaman kolonial, Yamin pun aktif berorganisasi. Antara tahun 1926-1928, misalnya, ia menjadi ketua Jong Sumatra Bond dan Ketua Indonesia Muda (1928). Setelah itu, Yamin hampir tidak pernah meninggalkan aktivitasnya dalam organisasi politik kebangsaan waktu itu. Tercatat, ia pernah menjadi anggota Partindo dan anggota Volksraad.
Selepas merdeka, ia terus aktif dalam membangun negeri ini. Jabatan penting yang pernah disandangnya, antara lain, anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Menteri Kehakiman (1951), menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan (1952-1955), Ketua Dewan Pengawas LKBN Antara (1961-1962), dan Ketua Dewan Perancang Nasional (1962). Pada tanggal 17 Oktober 1962, Muhammad Yamin menhembuskan nafasnya yang terakhir di Jakarta, dan dimakamkan di tanah kelahirannya Talawi.
Sesungguhnya, sejumlah jabatan penting pernah dipegang Muhammad Yamin, menunjukkan bagaimana peran yang telah dimainkannya dalam perjalanan perjuangan bangsa ini. Ketika sebagian besar kaum terpelajar kita lebih suka berbicara dan menulis dalam bahasa Belanda, misalnya, Yamin dalam majalah Jong Sumatra justru menulis dalam bahasa Melayu. Secara sadar, ia hendak mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa yang sesungguhnya sangat berpeluang menjadi alat untuk mempersatukan keanekaragaman suku bangsa kita.
Bahwa bahasa Melayu diperlakukan Yamin secara kreatif, tampak pula dari puisi awalnya yang berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ditulisnya saat masih berusia 17 tahun itu, dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Meskipun belum pola syair dan pantun Melayu dipadukan menjadi sebuah puisi yang mengungkapkan kerinduannya pada tanah air leluhur.
Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan beragam suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa; Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “... Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”
Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memperjuangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam prasarananya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar dikalangan orang-orang Indonesia ...” Di bagian lain, ia berpendapat: “... saya sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan peratuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan ...”
Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan materi-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Yamin dipercaya untuk membuat konsep-konsepnya. Satu diantara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan, sebagai berikut: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.
Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya: “membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.” Ditegaskannya pula: “... bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu ... Pengetahuan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa Indonesia mendapat tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebudayaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.” Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945.
Peranan Muhammad Yamin dalam mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia dan dalam memajukan bahasa Indonesia sebagai bahasa peratuan, diakui pula oleh para pakar sejarah. Hapir semua buku sejarah yang mengangkat peristiwa Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, selalu menyinggung peranan yang dimainkan Muhammad Yamin, baik sebagai pencetus gagasan diselenggarakannya kongres itu, maupun sebagai salah seorang tokoh yang merumuskan ketiga butiran Sumpah Pemuda: “Bertanah Air,: “Berbangsa” dan Menjunjung bahasa Persatuan” Indonesia.
Guru Besar Ilmu Sejarah dari Universitas Monash Australia, M.C. Ricklefs, misalnya, mengatakan: “Muhammad ... menjadi salah satu pemimpin politik Indonesia yang paling radikal, meninggalkan bentuk-bentuk pantun dan syair dan menerbitkan sajak-sajak pertama yang benar-benar modern dalam tahun 1920-1922.” Ricklefs selanjutnya menambahkan: “Yamin menulis sekumpulan sajak yang diterbitkan tahun 1929 dengan judul Indonesia Tumpah Darahku. Sajak-sajak tersebut mencerminkan keyakinan di kalangan kaum terpelajar muda bahwa pertama-tama mereka adalah orang Indonesia, dan baru yang kedua orang Minangkabau, Batak, Jawa, Kristen, Muslim, atau apa saja.”
Sebagai politikus terpelajar, selain aktif dilapangan politik dan pemerintahan, Muhammad Yamin masih sempat membuahkan beberapa karya yang sekaligus juga memperlihatkan minatnya di lapangan kebudayaan. Kumpulan puisi awalnya Tanah Air terbit tahun 1922. kumpulan puisi berikutnya, Indonesia Tumpah Darahku terbit tahun 1928. sedangkan drama awalnya, Ken Arok dan Ken Dedes pertama kali dipentaskan 27 Oktober 1928 dan baru diterbitkan tahun 1934. Dua tahun sebelum terbit naskah drama itu, terbit pula dramanya, berjudul Kalau Dewi Tara sudah Berkata (1932).
Selain karya asli, Yamin juga dikenal sebagai penerjemah. Berbagai karya terjemahannya, antara lain, Menanti Surat dari Raja (1928) dan Di Dalam dan di luar Lingkungan Rumah Tangga (1933) ke duanya karya Rabindranath Tagore, Julius Caesar (1951) karya William Shakespearwe. Sedangkan karyanya yang menyangkut sejarah dan kebudayaan umum, antara lain, Gadjah Mada (1946), Pangeran Dipanegara (1950), dan 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954). Kedua buku sejarah itu mengangkat kebesaran tokoh Gadjah Mada dan kegigihan perjuangan Pangeran Diponegoro, sedangkan karya berikutnya mengisahkan keakraban bangsa Indonesia sejak dahulu terhadap warna merah dan putih yang kemudian dijadikan sebagai bendera Kebangsaan Indonesia.
Demikianlah sosok ketokohan Muhammad Yamin. Ia tidak melupakan tanah leluhurnya. Namun, ia juga hidup sebagai warga Indonesia. Oleh karena itu kepentingan bangsa menjadi yang utama baginya. Dan ia telah membuktikannya dengan mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia yang ternyata kemudian menjadi alat untuk mempersatukan keanekaragaman bangsa Indonesia. Seperti dikatakan dalam puisinya “Indonesia Tumpah Darahku” ia mengawali kata kunci persatuan: “Bersatu kita teguh/Bercerai kita jatuh.” Itulah, di antaranya, teladan yang hendak ditanamkan Muhammad Yamin bagi generasi bangsa Indonesia ini.
***
Dalam sejarah kesusastraan Indonesia, khususnya untuk bidang puisi, ada dua kepeloporan penting yang telah ditanamkan Muhammad Yamin (23 Agustus 1903—17 Oktober 1962). Pertama, dalam hal tema yang dikedepankan, dan kedua, dalam hal bentuk yang digunakan. Muhammad Yamin pada mulanya mengangkat tema kedaerahan yang kemudian secara jelas bergerak menuju tema kebangsaan. Dari sudut ini, ia telah menempatkan puisi tidak sekadar alat untuk mengekspesikan perasaan pribadinya, melainkan juga ekspresi gagasannya selaku warga bangsa. Ia menempatkan alam kedaerahan (Minangkabau-Sumatera) dalam hubungannya dengan Tanah Air Indonesia. Itulah mula pertama konsep Tanah Air digunakan yang sejalan dengan perkembangan pemikiran Muhammad Yamin, pemaknaannya bergerak dari makna yang sempit tentang tempat kelahiran (Sumatera) menjadi vaderland (fatherland)—ibu pertiwi—dan kemudian meluas dalam makna sebagai sebuah negara.
Perkembangan pemikiran Muhammad Yamin tentang konsep Tanah Air, Bangsa, dan Bahasa, yang mula dituangkan dalam sejumlah puisinya itu, makin jelas manakala kita mencermati puisinya yang berjudul “Bahasa, Bangsa.” Di bawah judul puisi itu, Yamin mengutip perkataan Wolfgang von Goethe: “Was du ererbt von deinen Vatern hast/ Erwirb es um es zu besitzen.” Selain itu, bentuk persajakan pantun dan syair yang cenderung lebih banyak menggunakan kalimat-kalimat naratif, melalui Yamin nada itu menjadi bentuk ungkapan ekspresif yang lahir dari gejolak perasaan dan pikiran. Dari sudut pemakaian bahasa Melayu, apa yang telah dilakukan Muhammad Yamin telah membuka peluang bagi pemanfaatan bahasa Melayu secara lebih kreatif. Bahasa Melayu menjadi bahasa budaya yang modern, dan tidak lagi terkungkung oleh kata-kata klise. Perhatikan bait kedua puisi pertamanya, “Tanah Air” dimuat Jong Sumatra, Juli 1920.
Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Cermatilah larik pertama: Sesayup mata, hutan semata. Secara kreatif, Yamin memakai kata sesayup mata dan bukan sekejap mata. Citraan pendengaran sesayup, justru digunakan untuk menggantikan citraan penglihatan sekejap, yang menunjukkan usaha pembebasan ikatan makna pada kata-kata tertentu. Dalam bahasa Melayu memang ada kata sayup mata yang artinya memandang atau sejauh mata memandang. Namun, itu jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari. Jadi, Yamin tampak sengaja menggali kata Melayu yang jarang dipakai yang justru membentuk kesamaan bunyi (rima) dalam larik. Dengan demikian dua larik awal dalam bait kedua di atas: Sesayup mata, hutan semata/
Bergunung bukit, lembah sedikit, memperlihatkan kebaruan dalam hal apa yang disebut rima dalam larik, mata semata/bukit-sedikit. Pola rima a-a-a-a atau a-b-a-b yang lazim kita jumpai dalam syair atau pantun, diintegrasikan dalam larik, bukan dalam bait.
Selain itu, pemanfaatan kata mata dengan dua makna, yaitu sesayup mata yang bermakna denotatif dan hutan semata yang bermakna konotatif, sekaligus menunjukkan kekayaan makna dalam kosakata bahasa Melayu yang coba ditawarkan Yamin. Dengan demikian, di sana ada kesadaran untuk mengeksploitasi bahasa, meskipun belum sampai pada tahap mengeksplorasi makna kata sebagaimana yang kelak dilakukan Chairil Anwar. Usaha mengungkapkan kekayaan bahasa Melayu itu, tampak pula dalam pemakaian sinonim kata surga, janat, dan Firdaus.
Bahwa bahasa Melayu digunakan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak dari pemakaian metafora. Dipagari gunung untuk menunjukkan deretan pegunungan, dan Firdaus Melayu untuk menunjukkan keindahan alam Melayu. Dalam bait berikutnya, Yamin menggunakan majas personifikasi untuk menggambarkan deburan ombak dengan menyatakan: Ia memekik, berandai-randai. Untuk ukuran zaman itu, tentu saja apa yang dilakukan Yamin merupakan sesuatu yang memperlihatkan kebaruan.
Puisi “Tanah Air” sebenarnya terdiri dari tiga bait dengan sembilan larik pada masing-masing baitnya. Dalam hal ini saja, puisi Yamin sudah tidak sama dengan pola syair atau pantun yang lazim terdiri dari empat larik dalam tiap baitnya. Meskipun dalam setiap lariknya masih terasa pengaruh puisi tradisional itu, seperti larik-larik yang terdiri dari dua elahan napas; Sesayup mata-hutan semata/Bergunung bukit-lembah sedikit/jauh di sana-di sebelah situ, dst., hubungan antar-lariknya sama sekali sudah menghilangkan bentuk sampiran dan isi. Jadi, dalam hal bentuk, Yamin telah menampilkan bentuk puisi baru, dan keluar dari konvensi puisi tradisional.
Puisi “Tanah Air” yang dimuat Jong Sumatra, Juli 1920 itu, rupanya dikembangkan lagi dengan beberapa perubahan dan penambahan jumlah bait. Lengkapnya, “Tanah Air” menjadi sebuah buku puisi dengan judul yang sama, terdiri dari lima belas nomor dengan masing-masing nomor terdiri dari dua bait. Jadi seluruhnya terdiri dari 30 bait dan setiap baitnya terdiri dari sembilan larik. Buku tipis itu diterbitkan bertepatan dengan ulang tahun Jong Sumatranen Bond, tahun 1922.
Dari puisi yang bertanggal 9 Desember 1922 itu, kita dapat melihat adanya perkembangan gagasan Yamin mengenai Tanah Air. Ia tidak sekadar menggambarkan kecintaannya pada tanah air (Sumatera), tetapi juga mulai menyinggung soal tanggung jawab pada Tanah Air, bahasa, dan keberadaan bangsa asing. Mengenai tanggung jawab pada tanah air, Yamin mengatakan: Tetapi Andalas di zaman nan tiba/Itu bergantung ke tuan dan hamba. Sedangkan mengenai bahasa, ia mengungkapkan: o, Tanah, wahai pulauku/tempat bahasa mengikat bangsa.
Muhammad Yamin juga melihat keberadaan bangsa asing yang menginjak bangsanya: karena hatiku haram ‘lai girang/kalau bangsaku diinjak orang. Oleh karena itu, kebebasan dan kemerdekaan merupakan hal yang penting untuk membangun kemakmuran bangsanya. O, bangsaku penduduk Emas/Mari bekerja sampaikan bebas. Atau lebih tegas lagi dikatakannya: Selama badanku segenap ketika/Selagi menumpang di dunia nan baka/ Kubawa Andalas ke pada merdeka//
Dalam puisi “Bahasa, Bangsa” yang bertarikh Februari 1921, hubungan bangsa dan bahasa, lebih tegas lagi dinyatakan Muhammad Yamin. Meskipun bangsa yang dimaksud –pada awalnya—masih berkaitan dengan tanah kelahirannya, Sumatera, demikian pula dengan bahasa yang ia maksudkan bahasa Melayu, Yamin makin menyadari pentingnya mempunyai bahasa sendiri sebagai identitas sebuah bangsa. Terlahir dibangsa/berbahasa sendiri ... Lupa ke bahasa, tiadakan pernah/Ingat pemuda, Sumatera malang/Tiada bahasa, bangsapun hilang//
Perkembangan gagasan Muhammad Yamin yang semula melihat Sumatera dan Minangkabau sebagai tanah airnya menjadi Nusantara (Indonesia) yang menjadi tanah airnya, tampak pula dalam puisinya yang berjudul “Bandi Mataram”. Mengenai hal itu A. Teeuw, menyatakan: “Usaha mencari tapak sejarah bagi konsep dan cita-cita nasional Indonesia yang merupakan suatu ciri biasa dalam seluruh kehidupan serta Yamin itu, juga amat jelas kelihatan dalam sebuah puisi panjang dari zaman itu juga, Bandi
Mataram judulnya … disiarkan tahun 1923 menyambut ulang tahun kelima Jong Sumatera.
Dalam bait terakhir puisi itu, Yamin mengatakan: Kini bangsaku, insafkan diri/ Berjalan ke muka, marilah mari/Menjelang padang ditumbuhi mujari/ Dicayai Merdeka berseri-seri// Bait ini mengungkapkan, sekarang telah tumbuh kesadaran pada bangsa ini untuk menatap masa depan menjelang terjadinya persaudaraan setanah air yang disinari semangat untuk merdeka. Secara simbolik, Yamin menulis larik ketiganya dengan Menjelang padang ditumbuhi mujari. Mujari adalah sejenis tumbuhan yang daunnya harum baunya dan biasa digunakan untuk makan sirih. Ada dua makna yang dapat kita tafsirkan dari larik ini. Pertama Tanah Air yang mulai harum namanya, dan kedua, terjadinya persaudaraan lewat perkawinan antarsuku bangsa. Makna kedua ini ditarik dari peristiwa membawa sirih yang biasanya dilakukan menjelang perkawinan.
Bahwa bahasa Melayu diperlakukan Muhammad Yamin secara kreatif, tampak pula dari puisi awalnya yang berjudul “Tanah Air”. Puisi yang ditulisnya saat masih berusia 17 tahun itu, dimuat majalah Jong Sumatra, Juli 1920. Meskipun belum pola syair dan pantun Melayu dipadukan menjadi sebuah puisi yang mengungkapkan kerinduannya pada tanah air leluhur.
Dalam puisinya yang kemudian, “Indonesia Tumpah Darahku” yang ditulisnya 26 Oktober 1928, menjelang Kongres Pemuda yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda, ia menyampaikan kecintaan pada bahasa bangsanya dan pada cita-cita mempersatukan keberagaman suku bangsa ke dalam satu negeri, satu bangsa, dan satu bahasa: Indonesia. “Karena kita sedarah-sebangsa/bertanah air di-Indonesia.” Dalam kata “Penyusuli” yang terdapat dalam buku puisi Indonesia Tumpah Darahku, Yamin menegaskan lagi: “... Bahasa Indonesia sudah demikian lakunya; tetapi harganya yang tertinggi ialah seperti bahasa persatuan.”
Gagasan mengenai bahasa persatuan itu, tentulah tidak datang secara tiba-tiba. Ia lahir dari sebuah proses pemikiran yang matang. Dalam Kongres Pemuda Indonesia I, tahun 1926, Muhammad Yamin pula salah seorang yang memperjuangkan bahasa Melayu agar menjadi bahasa yang dapat dipahami suku-suku bangsa di Indonesia. Dalam prasarananya, ia mengatakan: “Bahwa bahasa Melayu lebih penting dari pada yang sering disangka orang dan bahwa bahasa itu mempunyai satu perkembangan kelanjutan terus menerus. Ia memiliki sastra luas, yang berpijak di berbagai bidang dan sekarang sudah menjadi bahasa pengantar di kalangan orang-orang Indonesia ...” Di bagian lain, ia berpendapat: “... saya sendiri mempunyai keyakinan penuh, bahwa bahasa Melayu lambat laun akan menjadi bahasa percakapan dan peratuan yang tepat bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia di masa depan ...”
Salah satu hasil kongres itu adalah mempersiapkan materi-materi yang akan dibahas dalam kongres berikutnya. Muhammad Yamin dipercaya untuk membuat konsep-konsepnya. Satu di antara butir konsep itu berisi rumusan tentang bahasa yang tertulis: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu.” Setelah melewati perdebatan dan berbagai pertimbangan, dalam Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, disepakati rumusan mengenai bahasa persatuan sebagai Melayu diganti menjadi sebagai berikut: “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Indonesia.” Sebuah keputusan penting yang ternyata didukung oleh tokoh-tokoh berbagai suku bangsa, seperti Ki Hajar Dewantara, Purbatjaraka, Abu Hanifah, Husein Djajadiningrat, Adi Negoro, Sanusi Pane, dll. Dengan keputusan itu, bahasa Melayu resmi diangkat sebagai bahasa Indonesia yang memberi kepastian kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia dalam masyarakat Indonesia.
Gagasan Muhammad Yamin mengenai pentingnya bahasa persatuan terungkap pula dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, tahun 1938. Dikatakannya: “membicarakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa kebudayaan barulah berhasil, jikalau diperhatikan kedudukan bahasa Indonesia dalam seluruh masyarakat Indonesia dahulu dan sekarang, tentang tempatnya pada hari yang akan datang dan tentang artinya bagi bangsa Indonesia dan bagi pengetahuan umum.” Ditegaskannya pula: “... bahasa Indonesia ialah bahasa budaya; sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia: dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu ... Pengetahuan dan kesadaran bangsa Indonesia menguatkan pendirian bahwa bahasa Indonesia mendapat tempat yang semestinya sebagai bahasa pertemuan, persatuan kebudayaan Indonesia dan sebagai bahasa negara.” Terbukti kemudian, bahasa Indonesia resmi menjadi bahasa negara sebagaimana tercantum dalam Pasal 36, Undang-Undang Dasar 1945.
***
Demikianlah, tampak jelas bagaimana perkembangan gagasan Muhammad Yamin mengenai bahasa menjadi cita-cita untuk mempersatukan bangsanya. Hal tersebut, seperti telah disinggung, kemudian memperoleh momentum yang tepat di dalam perwujudan Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Itulah sebabnya, dalam puisi yang ditulisnya menjelang ikrar para pemuda itu, Muhammad Yamin tidak lagi mengatakan tanah air dan bangsanya semata-mata Sumatera atau Minangkabau, melainkan Indonesia. Dalam larik terakhir bait pertama, kedua, dan keempat, misalnya, ia mengatakan: Tumpah darahku Indonesia namanya// Indonesia namanya, tanah airku// Bertanah air di-Indonesia.
Selain itu, secara tegas Yamin mengungkapkan pula kebesaran tokoh-tokoh atau kerajaan masa lalu yang tercatat dalam deretan kemegahan bangsa Indonesia, seperti Sriwijaya, Pasai, Hang Tuah, Malaka, Cindur Mata, Imam Bonjol, dan Gajah Mada. Hal itu juga memperlihatkan kebanggaannya terhadap tokoh-tokoh Nusantara itu.
Keberanian Muhammad Yamin dalam mengangkat tema-tema yang yang demikian itu, diikuti pula oleh kebaruan puisinya yang sebagian besar menggunakan pola soneta, yaitu terdiri dari 14 larik yang dibagi dalam empat bait. Bait pertama dan kedua masing-masing terdiri dari empat larik, dan bait ketiga dan keempat masing-masing terdiri dari tiga larik.
Dalam Sandjak-Sandjak Muda Mr. Muhammad Yamin (Djakarta, Firma Rada, 1954) yang disusun Armijn Pane, kita dapat melihat bahwa sebagian besar puisi dalam buku itu menggunakan pola soneta. Bait yang terdiri dari 4-4-3-3 dengan rima a-b-b-a dan c-d-c atau c-c-c merupakan pola soneta yang boleh dikatakan sudah baku. Pola soneta yang dirintis penyair Italia Petrach (1304—1374) dan dikembangkan penyair Inggris, Edmund Spencer pada abad ke-16 dengan bait yang terdiri dari 4—4—4—2; dan rima a-b-a-b, b-c-b-c, c-d-c-d, dan e-e. Timbul pertanyaan: termasuk pola soneta yang manakah puisi awal Yamin yang berjudul “Tanah Air”?
Bait-bait yang terdiri dari sembilan larik, misalnya, jelas bukanlah merupakan bentuk soneta. Demikian pula pola rimanya yang lebih dekat pada perpaduan antara soneta, pantun dan syair. Barulah dalam puisi berikutnya Yamin lebih berkonsisten menggunakan pola soneta, meskipun itu juga tidak berlaku untuk puisi “Bahasa, Bangsa” yang bait-baitnya terdiri dari 4-3-5-6-6. Sementara itu, puisi berjudul “Tenang” dengan bait yang terdiri dari 4-4-2-2-2, meski jumlah lariknya sama seperti soneta, bait-baitnya tidaklah sama dengan bentuk puisi itu.
Perubahan bentuk yang lebih mencolok dapat kita lihat dari puisi Yamin yang berjudul “Indonesia, Tumpah Darahku” yang setiap baitnya terdiri dari tujuh larik, dan puisi “Bandi Mataram” yang polanya seperti gurindam, tetapi juga bukan gurindam karena pada bait-bait terakhir, lariknya terdiri dari 3-3-3-3-4.
Demikianlah, beberapa usaha pembaruan yang dilakukan Muhammad Yamin dalam merintis perjalanan puisi modern Indonesia. Pola soneta kemudian banyak diikuti oleh para penyair Pujangga Baru, sesungguhnya lebih merupakan pembaruan bentuk. Yang justru jauh lebih penting dari itu adalah muatan puisi-puisinya yang bergerak dari tema kedaerahan menuju nasionalisme, tema kebahasaan menuju semnagt persatuan. Tentulah hal itu juga dibarengi oleh tema-tema yang lebih beragam. Dengan begitu, bagaimanapun juga kita tidak dapat menafikan kepeloporan Muhammad Yamin dalam hal tema yang dikedepankan dan dalam hal bentuk yang digunakan. Dalam hal itulah, kedudukan Muhammad Yamin tetap tak tergoyahkan sebagai perintis puisi baru Indonesia dan penegas tentang konsep Tanah Air dan posisi bahasa Indonesia sebagai alat perekat persatuan keindonesiaan.
***
LAMPIRAN 1
POETOESAN CONGRES PEMOEDA PEMOEDA INDONESIA
Kerapatan pemoeda-pemoeda Indonesia jang diadakan oleh perkoempoelan perkoempoelan pemoeda Indonesia jang berdasarkan kebangsaan, dengan namanja: Jong Java, Jong Soematra, (Pemoeda Soematra), Pemoeda Indonesia, Sekar Roekoen, Jong Islamieten, Jong Bataksbond, Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi dan Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia;
memboeka rapat pada tanggal 27 dan 28 Oktober tahoen 1928 di negeri Djakarta;
sesoedahnja mendengar pidato-pidato pebitjaraan jang diadakan kerapatan tadi;
sesoedahnya menimbang segala isi-isi pidato-pidato dan pembitjaraan ini;
kerapatan laloe mengambil kepoetoesan:
Pertama: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH INDONESIA.
Kedoea: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA.
Ketiga: KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA.
Setelah mendengar poetoesan ini, kerapatan mengeloearkan kejakinan azas jang wadjib dipakai oleh segala perkoempoelan perkoempoelan kebangsaan Indonesia;
mengeloearkan kejakinan persatoean Indonesia diperkoeat dengan memperhatikan dasar persatoeannja;
KEMAOEAN
SEDJARAH
HOEKOEM ADAT
PENDIDIKAN DAN KEPANDOEAN
dan mengeloearkan penghargaan, supadja poetoesan ini disiarkan dalam segala soerat kabar dan dibatjakan di moeka rapat perkoempoelan-perkoempoelan kita.
LAMPIRAN 2
SOEMPAH INDONESIA RAJA
DAN apakah jang berlakoe pada tanggal 28 Oktober 1928 digedoeng Keramat 106 dikota Djakarta-Raja dalam sidang penoetoep jang menjoedahi Congres Indonesia Moeda dan persoempahan terbagi atas doea bagian, jaitoe: soempah jang ketiga dan poetoesan jang tiga poela. Djadi enam semuanja djumlah keboelatan jang diambil dalam sidang penoetoep itoe. Marilah saja oelangi boenji soempah jang tiga:
SOEMPAH JANG TIGA
Pertama: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, Bangsa Indonesia.
Kedoea: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe bertoempah darah jang satoe, Toempah Darah Indonesia.
Ketiga: Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.
Dalam rapat itoe hadirlah lagoe Indonesia-Raja, karena pertama kalinja poedjangga Wage Soepratman melagoekan lagoe Indonesia-Raja, sebagai soembangan kepada perdjoeangan Indonesia Merdeka menoedjoe Indonesia-Raja jang akan bergolak dikalangan rakjat pedjoeang. Dalam rapat itoe dikibarkan pertama kalinja sesoedah beratoes-ratoes tahoen, bendera Sang Merah Poetih sebagai bendera-persatoean, jang nanti akan menjadi benderanegara jang merdeka-berdaoelat pada hari Proklamasi. Kepoetoesan ketiga jaitu meletakkan dasar bersatoe dalam kesatoean boelat dan kokoh jang dinamai dasar oenitarisme dengan segala akibatja bagi pergerakan pemoeda dan pergerakan politik, jang haroes disoesoen kembali menoeroet dasar oenitarisme. Dengan demikian lenjaplah dasar berpoelaoe-poelaoe, bernoesa-noesa ataoe dasar insoelarisme, dan bersihlah roeangan-roehani dan organisasi perdjoeangan dengan dasar kelahiran bangsa, jaitoe dasar oenitarisme.
LAMPIRAN 3
BAHASA, BANGSA
Was du ererbt von deinen Vatern hast.
Erwirb es um zu besitzen.
Wolfgang von Goethe
Selagi kecil berusia muda,
Tidur si anak di pangkuan bunda
Ibu bernyanyi, lagu dan dendang
Memuji si anak banyaknya sedang;
Berbuai sayang malam dan siang
Buaian tergantung di tanah moyang.
Terlahir di bangsa, berbahasa sendiri
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya, permai merdu.
Merayap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya;
Bernafas kita pemanjangan nyawa
Dalam bahasa sambungan jiwa
Di mana Sumatera, di situ bangsa
Di mana Perca, di sana bahasa.
Andalasku sayang, jana bejana
Sejakkan kecil muda teruna
Sampai mati berkalang tanah
Lupa ke bahasa, tiadakan pernah
Ingat pemuda, Sumatera malang
Tiada bahasa, bangsa pun hilang.
TANAH AIR
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang aku, ke bawah memandang;
Tampaklah hutan rimba dan ngarai;
Lagipun sawah, sungai yang permai:
Serta gerangan, lihatlah pula,
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk, daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatra namanya, tumpah darahku.
Sesayup mata, hutan semata,
Bergunung bukit, lembah sedikit;
Jauh di sana, di sebelah situ,
Dipagari gunung satu persatu
Adalah gerangan sebuah surga,
Bukannya janat bumi kedua
-Firdaus Melayu, di atas dunia!
Itulah tanah yang kusayangi,
Sumatra namanya, yang kujunjungi.
Pada batasan, bukit Barisan,
Memandang ke pantai, teluk permai;
Tampaklah air, air segala,
Itulah laut, samudra Hindia.
Tampaklah ombak, gelombang pelbagai
Memecah ke pasir, lalu berderai,
Ia memekik, berandai-randai:
“Wahai Andalas, pulau Sumatra,
“Harumkan nama, selatan utara!
Bogor, Juli 1920
TANAH AIR
Di atas batasan Bukit Barisan
Memandang beta ke bawah memandang:
Tampaklah hutan rimba dan ngarai
Lagipun sawah, telaga nan permai:
Serta gerangan lihatlah pula
Langit yang hijau bertukar warna
Oleh pucuk daun kelapa;
Itulah tanah, tanah airku
Sumatera namanya tumpah darahku.
Indah ‘alam warna pualam
Tempat moyangku nyawa tertumpang;
Walau berabad sudah lampau
Menutupi Andalas di waktu nan silau
Masih kubaca di segenap mejan
Segala kebaktian seluruh zaman,
Serta perbuatan yang mulia-hartawan
Nan ditanam segala ninikku
Dikorong kampung hak milikku.
Rindu di gunung duduk bermenung
Terkenangkan masa yang sudah lindang;
Sesudah melihat pandang dan tilik
Timur dan Barat, hilir dan mudik,
Teringatlah pulau tempat terdidik
Dilumuri darah bertitik-titik,
Semasa pulai berpangkat naik:
O, Bangsaku, selagi tenaga
Nan dipintanya berkenan juga.
Gunung dan bukit bukan sedikit
Melengkung di taman bergelung-gelung
Memagari daratan beberapa lembah;
Di sanalah penduduk tegak dan rebah
Sejak beliung dapat merambah
Sampai ke zaman sudah berubah:
Sabas Andalas, bunga bergubah
Mari kujunjung, mari kusembah
Hatiku sedikit haram berubah!
Anak Perca kalbunya cuaca
Apabila terkenang waktu nan hilang,
Karena kami anak Andalas
Sejak dahulu sampai ke atas
Akan seia sehidup semati
Sekata sekumpul seikat sehati
Senyawa sebadan sungguh sejati
Baik di dalam bersuka raya
Ataupun diserang bala bahaya.
Hilang bangsa bergantikan bangsa
Luput masa timbullah masa...
Demikianlah pulauku mengikutkan sejarah
Sajak dunia mula tersimbah
Sampai ke zaman bagus dan indah
Atau tenggelam bersama ke lembah
Menyerikan cahaya penuh dan limpah.
Tetapi Andalas di zaman nan tiba
Itu bergantung ke tuan dan hamba.
Awal berawal semula asal
Kami serikat berpagarkan ‘adat,
Tapi pulauku yang mulia raya
Serta Subur, tanahnya kaya
Mari kupagar serta kubilai
Dengan Kemegahan sorak semarai
Lagi ketinggian berbagai nilai,
Karena di sanalah darahku tertumpah
Serta kupinta berkalangkan tanah.
Yakin pendapat akan sepakat
‘Akibat Barisan manik seikat;
Baikpun hampir jauh dan dekat,
Lamun pulauku mari kuangkat
Dengan tenaga kata mufakat
Karena, bangsaku, asal’lai serikat
Mana yang jauh rasakan dekat
Waktu yang panjang rasakan singkat,
Dan Kemegahan tinggi tentu ditingkat.
O, tanah, wahai pulauku
Tempat bahasa mengikat bangsa,
Kuingat di hati siang dan malam
Sampai semangatku suram dan silam;
Jikalau Sumatera tanah mulia
Meminta kurban bagi bersama
Terbukalah hatiku badanku reda
Memberikan kurban segala tenaga,
Berbarang dua kuunjukkan tiga
Elok pemandangan ke sana Barisan
Ke pihak Timur pantai nan kabur,
Sela bersela tamasa nan ramai
Diselangi sungai yang amat permai:
Dengan lambatnya seperti tak’kan sampai
Menghalirlah ia hendak mencapai
Jauh di sana teluk yang lampai;
Di mana dataran sudah dibilai
Tinggallah emas tiada ternilai.
Tanah Pasundan, 9 Desember 1922
INDONESIA, TUMPAH DARAHKU
Bersatu kita teguh
Bercerai kita jatuh
Duduk dipantai tanah yang permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau,
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Lihatlah kelapa melambai-lambai
Berdesir bunyinya sesayup sampai
Tumbuh di pantai bercerai-berai
Memagar daratan aman kelihatan;
Dengarlah ombak datang berlagu
Mengajari bumi ayah dan ibu,
Indonesia namanya, tanah airku.
Tanahku bercerai seberang-menyeberang
Merapung di air malam dan siang
Sebagai telaga dihiasi kiambang,
Sejak malam di hari kelam
Sampai purnama terang benderang;
Di sanalah bangsaku gerangan menompang
Selama berteduh di ‘alam nan lapang.
Tumpah darah Nusa-India
Dalam hatiku selalu mulia
Dijunjung tinggi atas kepala
Semenjak diri lahir ke bumi
Sampai bercerai badan dan nyawa
Karena kita sedarah-sebangsa
Bertanah air di-Indonesia
Bangsa Indonesia bagiku mulia
Terjunjung tinggi pagi dan senja,
Sejak syamsiar di langit nirmala
Sampaikan malam di hari kelam
Penuh berbintang cahaya bulan;
Mengapatah mulai, handai dan taulan,
Badan dan nyawa ia pancarkan.
Selama metari di alam beredar
Bulan dan bintang di langit berkisar
Kepada bangsaku berani berikrar;
Salam awan putih gemawan
Memayungi telaga ombak-ombakan,
Selama itu bangsaku muliawan
Kepada jiwanya kami setiawan.
Ke Indonesia kami setia
Di manakah ia di hatiku lupa,
Jikalau darah di badan dan muka
Berasal gerangan di tanah awal;
Sekiranya selasih batang kemboja
Banyak kulihat ditentang mata
Menutupi mejan ayah dan bunda?
Di batasan lautan penuh gelombang,
Mendekati pantai buih berjuang,
Terberai tanahku gewang-gemewang
Sebagai intan jatuh terberai
Dilingkari kerambil lembai-melambai
Menyanyikan lagu dan indah permai
Di sela ombak memecah ke pantai.
Duduk di pantai tanah permai
Tempat gelombang pecah berderai
Berbuih putih di pasir terderai,
Tampaklah pulau di lautan hijau
Gunung gemunung bagus rupanya,
Dilingkari air mulia tampaknya:
Tumpah darahku Indonesia namanya.
Memandang ‘alam demikian indahnya
Ditutupi langit dengan awannya
Berbilaikan buih putih rupanya,
Rindulah badan ingin dan rewan,
Terkenangkan negeri dengan bangsanya
Berumah tangga selama-lamanya
Penuh peruntungan berbagai sejarahnya.
Pasundan, 26 Oktober 1928
BANDI MATARAM!*
Pandangan jauh sekali
kepada zaman yang sudah hilang,
Ketika dewa hidup di bumi
serta bangsaku, bangsaku sayang
Berumah di hutan indah sekali,
atau di ranah lembah dan jurang,
O, Bangsaku, alangkah mujurmu di waktu itu
berjuang di padang ditumbuhi duka
Karena bergerak ada dituju
serta disinari cahaya Cinta
Atau meratap tersedu-sedu
karena kalbunya dipenuhi duka.
Walau demikian beratnya beban
hati nan sesak tiadalah sangka;
Ke langit nan hijau menadahkan tangan
meminta ke-Tuhan junjungan mulia
Supaya peruntungan tuan lupakan,
walau sengsara bukan kepalang
Tuan elakkan segala semuanya
biar terhempas terbawa ke karang,
Karena bangsaku nan sangat mulia
dengan begola, bintang gemilang
Serta bulan bersamaku surya
bertabur di langit gulita cemerlang,
Ia sehati, sekumpul senyawa,
Sebagai anak nan belum gedang
Kulihat tuan bergerak ke muka
dengan sengsara biar berperang,
Kadang berbantu haram tiada:
sungguh demikian Cahaya nurani
Nan bersinar-sinar di dalam dada
Bertambah besarnya bergandakan seri
Biar menentang bala dan baya
yang menceraikan orang, sehidup semati
Atau sepakat taulan saudara.
Dalam pandanganku tampaklah pula
Daripada bangsaku beberapa orang
berjalan berdandan ke padang mulia
Ke medan gerangan hendak berjuang
berbuat kurban meminta sejahtera
Isteri dan anak, sibiran tulang,
Baik bercabul rukun dan damai
bangsaku selalu besar dan tinggi:
Kadang ‘tu fajar hampir berderai
sedangkan embun belumlah pergi
Berjalan tuan alim dan lalai
menjelang sawah sedang menanti,
Beserta kerbau, anak dan bini
Tuan berjerih membuat puja
Kepada tanah yang subur sekali:
berkat pun turun dihadiahkan dewa,
Karena awan di gunung dan giri
turun ke bumi hujan terbawa
Alamat kesejahteraan sangat sejati!
Ditengah malam duduk bersama
Menghadapi seri cahaya pelita
timbullah sukur di hati mesra
Serta mendoa ke-Tuhan Mahakuasa
memulangkan santun, meminta cinta.
Jikalau pekan harilah balai
Alangkah sukanya kecil dan besar.
Segala yang kecil sorak semarai
menurut jalan berputar-putar
Serta sorakan bandar dan permai:
Ada menolong ibu dan bunda
Walaupun ketiding belum berisi!
Ada bermainan, cengkerik dan layang
Dan mengadu ayam, sesuka hati!
Berapalah suka alang kepalang
Bergurau dengan pinangan sendiri,
Si anak dara di hari nan datang!
Gadis perawan muka nan permai,
ketika hari bersuka raya,
Semua berjalan menuju balai:
kalau begini terkenang dik beta
Besarlah hati tiada ternilai,
karena disinari ingatan mulia.
Lihatlah perempuan hiasan di kampung
berpakaian adat bertekatkan emas
Berteduh di surga sebagai payung
menginjakkan kaki langkah yang tangkas
Atau mengidap sebagai ikan tunjung
menceriterakan rahasia, harap dan cemas,
Di belakang berjalan ninik dan mamak,
Ajuk-mengajuk bertukar bicara
Timbang menimbang kuranglah tidak
Ke balai terus gerangan jua
Dengan suara seberapa suka!
Tiada berhingga sehari-harinya.
Apabila hari sudah malam
Datanglah pula satu per satu
berundangan makan di hari kelam:
Demikian teguhnya gerangan bangsaku
Senyawa sebadan, sejahtera dan malam
Membuat kurban setiap sekalu,
kepada kawan handai dan taulan
Jika diserang gundah gulana
tuan sembahkan kedua tangan.
Dan berapalah pula berhati suka
Kalau disinari caya kenangan,
Alamat bagia yang sangat mulia.
Lihatlah gerangan, pandanglah pula
Di sana memutih cahaya mega
Menebarkan harapan di cakrawala.
Dengarkan sungai, air dan gangga
Mengeluarkan lagu merdua suara
Sebagai bunyian di dalam suarga.
Di hati bangsaku di pulau perca
Bersinar Cinta, bersuka riang
Menghadapi usia, gemilang cuaca.
Wahai bangsaku, remaja ‘lah lindang
Sebagai embun di hari pagi
Lenyaplah ke zaman yang sudah hilang
Kini bangsaku, insafkan diri
Berjalan ke muka, marilah mari
Menjelang padang ditumbuhi mujari
Dicayai Merdeka berseri-seri.
Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, Editor H.B. Jassin, Gunung Agung, Jakarta, 1963
--------------------------------------
* Seminar Sehari Hari Kelahiran Bahasa Indonesia 2 Mei 1926: “Sumbangan Karya Sastra dalam Kosa Kata Bahasa Indonesia” Depok, Universitas Indonesia, 2 Mei 2008.
* Pengajar FIB-UI, Depok
Pemikiran Muhammad Yamin tentang Indonesia sebagai Tanah Air dapat ditelusuri mula-mula melalui puisinya yang berjudul “Tanah Air” yang ditulis di Bogor tahun 1920 kemudian diperluas lagi pada 9 Desember 1922 dengan 30 bait dalam rangka memperingati lima tahun Jong Sumatranen Bond (Perhimpunan Pemuda Perca). Lihat Susanto Zuhdi, “Perspektif Tanah-Air dalam Sejarah Indonesia” (Pidato Pengukuhan Gurubesar, 25 Maret 2006). Tanah Air yang mula diperlakukan sebagai tanah kelahiran dalam arti sempit (Sumatera) kemudian dilekatkan pada kawasan Nusantara dan Indonesia sebagai sebuah wilayah milik bangsa Indonesia. Dari pemahaman itu, Yamin menyadari pentingnya bangsa itu mempunyai bahasa sebagai alat perekat penduduknya. Bahasa yang memungkinkan penduduknya bisa berkomunikasi dan bergaul tidak lain adalah bahasa Melayu yang sudah sejak lama dikenal dan menjadi lingua franca penduduk Nusantara. Di situlah Muhammad Yamin makin gencar menerikkan pentingnya memiliki sebuah bahasa yang dapat dijadikan sebagai pemersatu kesukubangsaan (Indonesia). Oleh karena itu, gagasan Muhammad Yamin mengenai Tanah Air sebagai wilayah sebuah bangsa sesungguhnya jauh lebih penting dibandingkan dengan usahanya memperkenalkan soneta dalam perpuisian Indonesia. Kesadarannya dalam merumuskan Indonesia dilandasi oleh tiga faktor penting, yaitu (1) Indonesia sebagai Tanah Air yang secara geografis tercakup dan wujud sebagai wilayah Nusantara; (2) Indonesia sebagai bangsa yang mempunyai sejarah panjang keagungan raja-rajanya; dan (3) Indonesia yang terdiri dari berbagai sukubangsa, etnis, agama, dan bahasa yang mendiami pulau-pulau besar dan kecil yang dipersatukan oleh kesadaran menggunakan bahasa yang sama sebagai alat komunikasi. Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928, dilahirkan atas kesadaran pada ketiga faktor itu. Dalam pidatonya yang bertajuk “Bangsa dan Kebangsaan” yang dibacakan pada Kerapatan Besar Indonesia Moeda yang Pertama, di Surakarta, 29 Desember—2 Januari 1931, Yamin menegaskan bahwa ketiga faktor itu tidak ada artinya jika Indonesia tetap berada sebagai bangsa terjajah, maka kebangunan merupakan hal penting untuk mencapai kemerdekaan. Lihat Pitut Soeharto dan A Zainoel Ihsan, Permata Terbenam (Jakarta; Aksara Jayasakti, 1981, hlm. 251—282).
Apa yang kauwarisi dari ayahmu/Itu yang dapat kaumiliki (terima kasih untuk Rita Maria Siahaan/Leli Dwirika/Lili Tjahjandari yang telah memberikan terjemahannya). Muhammad Yamin agaknya hendak menegaskan tentang masa lalu bangsa (Indonesia) yang mendiami wilayah Nusantara dan sejarah perjalanan bahasa Melayu. Keagungan masa lalu bangsa ini, menurut Yamin, harus dihidupkan kembali pada abad ke-20. Itulah yang dimaksudkannya sebagai renaissance bagi bangsa Indonesia.
Umar Yunus menganggap puisi-puisi Muhammad Yamin masih belum meninggalkan pola berkisah sebagaimana yang lazim digunakan dalam syair. Dalam persajakannya, bahkan masih terasa bentuk pantun yang mengandungi sampiran –tentang alam yang mengantarkan maksud—dan isi (Umar Yunus, Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern, Jakarta: Bhratara, 1981, hlm. 13). Bagi A. Teeuw (Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru, Djakarta: Jajasan Pembangunan, 1953, hlm. 51—53), puisi-puisi Muhammad Yamin belumlah memperlihatkan ciri-ciri puisi modern. Di luar pandangan Yamin mengenai bahasa Melayu, puisi-puisi Yamin tidak memperlihatkan keindahan lantaran terjebak oleh “klise-klise, kata-kata penyumbat, ulangan-ulangan yang tak ada artinya…” Dalam konteks itu, Teeuw lupa, bahwa bagaimanapun juga, Yamin telah membuat rintisan dalam perpuisian Indonesia yang mulai berbeda dengan syair dan pantun. Bahwa di dalamnya ada begitu banyak bentuk klise atau masih belum lepas dari pengaruh pantun dan syair, tentu saja itu merupakan sesuatu yang wajar. Periksalah Antologi Puisi Indonesia Periode Awal yang disusun Suyono Suyatno, Juhriah, dan Joko Adi Sasmito (Jakarta: Pusat Bahasa, 2000). Di sana, kita akan mendapati kuatnya pengaruh pantun dan syair. “Tradisi puisi lama yang diadopsi dalam puisi Indonesia periode awal … hadir dalam pola-pola ekspresi pantun dan syair (hlm. 15). Bahkan, dalam puisi-puisi Pujangga Baru pun, pola syair dan pantun masih bertebaran di sana-sini. Jadi, bagi saya, tidak pada tempatnya penilaian yang dilakukan A. Teeuw atas puisi-puisi Muhammad Yamin yang tidak berdasarkan ukuran zamannya.
Bagi A. Teeuw, pola persajakan seperti baikpun hampir jauh dan dekat atau menggembirakan jantung serta kalbuku merupakan bentuk klise yang boleh jadi juga terjadi pada pola persajakan Bergunung bukit, lembah sedikit/Jauh di sana, di sebelah situ.
Dalam puisi ini, Muhammad Yamin masih menempatkan Tanah Air itu sebagai tempat kelahiran: Sumatera. Dalam perkembangannya, konsep Tanah Air dimaknai tidak sekadar sebagai vaderland , melainkan juga state sebagai wilayah (negara) Indonesia.
janat: sempurna, surga
Belakangan, Muhammad Yamin menegaskan tentang kedudukan bahasa (Indonesia) sebagai berikut: “Pertama-tama tentang bahasa Indonesia berhubung dengan keperluan masyarakat dan kebudayaan yang lahir. Hendaklah bahasa itu mendapat kedudukannya yang sempurna, dan janganlah dijadikan kayu cangkokan, dipupuk dalam gedong arca atau pura-pura dihidupkan di ujung lidah seorang dua orang pegawai negeri. Dalam dunia pengajaran dan pendidikan hendaklah bahasa itu mendapat tempat yang selayaknya sejak dari sekolah Frobel/taman anak-anak sampai ke puncak perguruan tinggi; bukan oleh karena bahasa kita berkata begitu, melainkan karena masyarakat Indonesia yang waras sudah memestikannya begitu.” (Poedjangga Baroe, Nomor 8, Th I, Februari 1934, hlm.268).
Keyakinan Muhammad Yamin tentang masa depan bahasa (Indonesia) sebagai bahasa yang dapat mempersatukan kesukubangsaan Indonesia, bahkan juga sebagai alat persatuan kebangsaan Indonesia disampaikan sebagai Pidato dalam Kongres Pemuda Indonesia Pertama, tahun 1926. Sutan Takdir Alisjahbana dalam tulisannya yang berjudul “Bahasa Indonesia” mengutip pendapat Muhammad Yamin (Poedjangga Baroe, No. 5, Th. I, Novembver 1933, hlm. 158—159) sebagai berikut: “Bagi saya sendiri, saya mempunyai keyakinan bahwa bahasa Melayu lambat laun akan tertunjuk menjadi bahasa pergaulan umum ataupun bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia, dan bahwa kebudayaan Indonesia di masa yang akan datang akan terjelma dalam bahasa itu.” Sejarah kemudian mencatat, bahwa Kongres Pemuda Indonesia tahun 1926 itu gagal menghasilkan deklarasi, tetapi bersepakat untuk melanjutkannya ke Kongres Pemuda Indonesia berikutnya. Salah satu penyebab kegagalan itu ketika hendak mengangkat sebuah bahasa (etnik) untuk dijadikan sebagai bahasa Indonesia. Dari sanalah kemudian telah disepakati bahwa bahasa Melayu kelak akan dipilih menjadi bahasa Indonesia. Pada Kongres Pemuda Indonesia kedua, 28 Oktober 1928, disepakatilah bahasa Melayu (Riau) sebagai bahasa Indonesia: “menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia”.
Gagasan Muhammad Yamin tentang bahasa dan bangsa dalam perkembangannya makin jelas berkaitan dengan semangat kebangsaan—nasionalisme (Indonesia) dalam tarik-menarik dengan bahasa dan bangsa asing (Yamin tidak eksplisit menyebut Belanda: msm). Dalam majalah Poedjangga Baroe (Nomor 8, Th I, Februari 1934, hlm. 268) dimuat sebuah tulisan yang mengulas pandangan Muhammad Yamin mengenai bahasa Indonesia. Dikatakan di sana, “… mula-mula dahulu bahasa Indonesia mendapat kekalahan. Bahasa Indonesia terusir dari dunia pendidikan dan pengajaran, dari rumah tangga dan dari masyarakat seumumnya. Sesudah kekalahan timbul keinsyafan, di antaranya, yaitu keinsyafan kebangsaan yang memagari beberapa pusaka masyarakat dan member tenaga baru. Oleh itu tertolaklah bahasa asing dan bahasa Indonesia yang mula-mula kalah itu mendapat kemenangan, seperti terbukti pada pers bahasa Indonesia, pendidikan dan pengajaran Indonesia, pujangga baru, bahasa rapat, bahasa pergaulan dan sebagainya. Pokok pangkal dari pada kemenangan bahasa Indonesia itu ialah semangat baru yang timbul di tengah-tengah masyarakat Indonesia…” Bandingkan dengan puisi S Yudho, berjudul “Bahasakoe”. Bait terakhir puisi itu tertulis sebagai berikut: Bahasakoe,/Poesaka mojangkoe loehoer/Djika linyap, bila loentoer/Berarti bangsakoe moendoer/Akoe sedia toeroet mengatoer// (Poedjangga Baroe, Nomor 8, Th I, Februari 1934, hlm.261—262).
A. Teeuw, Sastra Baru Indonesia I (Ende: Nusa Indah, 1978)
mujari: nama pohon, daunnya dikunyah sebagai sirih (KBBI, hlm. 759)
Lihat kembali Catatan kaki nomor 8.
Periksa Lampiran 1 dan 2
Bagi Muhammad Yamin, keagungan masa lalu bangsa Indonesia itu tidak hendak dijadikan sebagai sebuah nostalgia, melainkan sebagai sebuah kebangunan kembali. Menurutnya, ada dua janji (: sumpah) yang telah dipancangkan bangsa Indonesia pada masa lalu, yaitu (1) Soempah Seriwidjaja yang berlaku tahun 686 yang isinya supaya bangsa kita (Indonesia) berbakti pada persatuan, karena itulah kemauan nenek moyang, dan (2) janji Patih-Mangkoeboemi Gadjahmada (+ 1340) yang berusaha hendak mempersatukan kepulauan Nusantara (Indonesia). Dengan demikian, Sumpah Pemuda boleh dikatakan merupakan janji ketiga dari bangsa ini atas apa yang dikatakan Muhammad Yamin sebagai persatuan. Pitut Soeharto dan A Zainoel Ihsan, Permata Terbenam (Jakarta; Aksara Jayasakti, 1981, hlm. 258).
* B.M.= Bandee Mataram = ik groet U. Moederland. (Salam. Ibu Pertiwi –H.B. Jassin).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar