“Hanya ada satu kata: Lawan!” Itulah kalimat pendek yang lahir dari kegelisahan panjang ketika kekuasaan telah menjelma gurita raksasa penindasan, membunuhi kemanusiaan, dan membungkam apa pun yang lahir dari hati nurani. Wiji Thukul, sang penyair, terus bergerak sampai nasib menggelindingkannya pada misteri tak berjawab: Hilang diterkam kekuasaan. Ia lalu menjadi sebuah ikon bagi gerakan perlawanan atas apa pun yang bernama tirani. Asrizal Nur –yang pernah menjadi kawan seperjuangan Wiji Thukul—juga tetap konsisten melakukan perlawanan atas kebrengsekan tirani, penindasan, keterpurukan nasib buruh, dan kemunafikan. Dalam doanya, ia tegas bermohon:
Ya Allah
berikan aku kekuatan
untuk senantiasa
berani mengatakan
TIDAK!
pada kemunafikan
Keterlibatan Asrizal Nur dalam perjuangan itu adalah salah satu bagian dari sebuah gerakan raksasa yang bernama Reformasi. Sejarah formal memang tidak mencatatnya, sebagaimana banyak terjadi pada peristiwa-peristiwa yang dipandang sebagai lelatu. Tetapi, bagaimana mungkin kobaran api bisa lahir tanpa serangkaian peristiwa yang dipandang sebagai lelatu itu? Itulah sejarah yang selalu terpukau oleh peristiwa besar dan melalaikan sejumlah peristiwa lain yang sebenarnya justru menjadi pemicu lahirnya peristiwa besar. Persaksian Asrizal Nur pun sesungguhnya merupakan bagian dari peristiwa sejarah itu. Di sinilah puisi menjadi sebuah kesaksian, sebagaimana yang dilakukan Taufiq Ismail atau penyair lain dalam menyikapi peristiwa itu. Maka, persaksiannya adalah catatan sejarah yang mewujud dalam puisi yang lahir dari tindak perlawanannya sebagai bagian dari gerakan itu. Ia memang mewujud larik-larik kalimat. Tetapi, di
dari kepungan badai kata
bila sepatumu masih injak
nasib kurus orang kecil
maka puisi ini duri!
Konsekuensi atau risiko apapun dalam perjuangan kemanusiaan adalah bagian dari proses mewujudkan sesuatu yang diyakini sebagai langkah menegakkan dan membangun kebenaran. Mengusung suara hati dan menegakkan nurani. Sangat mungkin ia menjadi korban. Tetapi, ia bukan korban yang sia-sia.
Seorang Rendra, Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, Hamid Jabbar, Agus R. Sarjono, Wiji Thukul, Asrizal Nur, atau penyair lainnya yang tentu akan sangat panjang jika dideretkan di sini, kapan pun dan dalam suasana apa pun, tak mungkin akan tinggal diam, berkeluh kesah meratapi nasib, bersidakap menonton atau duduk anteng mengurung diri, ketika kejahatan kemanusiaan berseliweran di depan matanya. Mereka akan berbuat, bertindak dan melakukan perlawanan dengan kemampuan dan caranya sendiri. Itulah dinamika kehidupan perjalanan bangsa ini. Dan kesusastraan,
Meskipun demikian, mereka sadar, bahwa nilai puisi tidak hanya terletak pada pesan yang hendak disampaikannya. Puisi bukanlah papan pengumuman atau teriakan caci-maki. Ia juga mengusung estetika. Jika estetika diabaikan, sangat mungkin ia akan jatuh pada pamflet propaganda yang artifisial dan tak mengajak pada sebuah perenungan. Bukankah esensi puisi tidak lain adalah metafora, dan metafora pada akhirnya bersifat analogi. Ia tidak lagi bermain dalam tataran logika, melainkan dalam kualitasnya menyentuh ke dasar perasaan yang paling dalam: hati nurani!
Bahasa dalam puisi dan melalui metafora itu terpancarlah daya pukau yang sangat mungkin dapat menyihir pembacanya. Oleh karena itu, ideologi, tata nilai, pandangan, sikap, dan élan yang dihembuskannya mesti dapat menyelinap masuk dan kemudian menciptakan keterpesonaan atau keterpukauan. Ia sekaligus berusaha mengganggu—menggoncangkan pikiran dan perasaan pembacanya. Bahasa dan lebih khusus lagi, metafora, memang mempunyai kualitas untuk menanamkan nilai-nilai, merusak keangkuhan dan ketersesatan, dan kemudian menggoda dan merebut hati pembaca untuk mempertanyakan eksistensi kepedualiannya pada kemanusiaan. Dalam hal ini, pembaca –tanpa sadar—digiring memasuki wilayah pemihakan. Dengan cara itulah, puisi dapat menjadi sarana yang efektif menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Melalui cara itu pula yang secara sadar dilakukan Asrizal Nur.
***
Antologi puisi karya Asrizal Nur ini, secara tematik bermain dalam tindak perlawanan menentang para penindas nilai-nilai kemanusiaan. Perlawanan terhadap sebuah rezim yang korup, temaha, dan busuk yang terjadi di negeri ini. Maka, ke-30 puisi yang terhimpun dalam buku antologi puisi ini sesungguhnya merupakan representasi dari kegelisahan penyair dalam menyikapi carut-marut kehidupan bangsanya. Jadi, jelas, Asrizal Nur menyimpan pretensi. Dengan sikap itulah, ia coba mengemasnya lewat deretan kata dan tumpukan larik yang sengaja disajikannya dengan kekuatan metafora dan simbolisme. Ia tidak melupakan metafora sebagai esensi puisi. Ia tidak membuat pamflet atau menyebarkan papan pengumuman. Ia menyampaikan puisi yang dibangun dengan kesadaran estetik, dan secara tematik mengejawantah sebagai tindak perlawanan yang menjadi pilihan perjuangannya. Maka, keprihatinannya atas nasib bangsa ini dikatakannya sebagai anak duka yang menanggung beban atas keserakahan penguasa (“Anak Duka”). Lihat juga, betapa luka bangsa ini sebagai buah dari utang dan pinjaman luar negeri yang dilakukan para penguasa itu. Sementara, harapan dan cita-cita anak negeri harus kandas oleh mahalnya biaya pendidikan.
Aku berkepala cahaya
Garis tangan kusut
Tersungkur di bell sekolah
Terhantuk buku
Ditelanjangi baju seragam
Diusir uang bangunan
Bukankah itu yang kini sedang melanda dunia pendidikan kita: semrawut dan segalanya ditentukan oleh limpahan biaya? Lalu dicampakkan ke manakah butir undang-undang dasar kita yang menyebutkan bahwa: Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran? Lihat juga nasib para buruh dan tenaga kerja kita di luar negeri yang berhasil membengkakkan devisa negara. Mereka sekadar ingin hidup layak: mencari rumah yang teduh. Tetapi yang mereka temukan adalah kenistaan.
Dalam puisi “Anak Duka” kita seperti berhadapan dengan kegetiran panjang yang menimpa para petani, buruh wanita, guru, seniman, pedagang kaki lima, dan secara keseluruhan, kehidupan bangsa ini yang selalu gagal menghindar dari tipu daya politikus dan penganiyaan yang dilakukan penguasa. Salahkah jika kemudian lahir ketidakpercayaan pada apa pun dan kepada siapa pun. Bahkan, menunggu uluran tangan Tuhan pun harus dihadapinya dengan kesangsian:
aku menunggu Tuhan
menyeka duka
Kegelisahan Asrizal Nur dalam menyikapi carut-marut kehidupan bangsa ini, seperti muncul begitu saja dari suara batinnya. Maka, krisis yang melanda negeri ini, dikatakannya sebagai besi tua—rongsokan yang moralitas bangsanya, penegakan hukumnya, perilaku aparat pemerintahnya dikatakan: “digerogoti tikus api” yang menyebabkan bangsanya sakit (“Rumah Kita”). Betapa busuknya aparat pemerintah, sehingga bencana alam pun, dimanfaatkan sebagai proyek untuk menenggak keuntuingan. Mereka itulah yang sebenar-benarnya pencuri, penjarah, perampok.
Dalam puisi “Rumah Kita” Asrizal memosikan dirinya sebagai pengamat yang tak tahan melihat berbagai kebusukan terjadi dalam setiap sendi struktur birokrasi.
Lihat juga ketika kota-kota dibangun dengan sepenuh gemerlap seolah-olah hidup telah sampai pada “cahaya terang”. Tetapi justru di situlah masalahnya. Dalam hingar-bingar kemajuan yang seolah-olah itu, tersimpan banyak penyelewengan. Maka, kejayaan dan kehancuran, kebenaran dan penyelewengan, kejujuran dan kemunafikan, sudah sulit lagi dibedakan yang dikatakannya: “sulit memilih jalan bersimpang.” Meski begitu, menyerah dan pasrah berarti masuk ke dalam kesia-siaan. Harus ada senjata untuk melakukan perlawanan, bukan pada moncong senapan atau kilau pedang, melainkan pada hati nurani:
Jika punya hati
nyalakan jadi matahari
matahari hati
niscaya tahu telah tiba di musim gelap
manakala orang-orang berpaling
menyangka malam tak pernah jelang
Ya, matahari hati pembeda
mana terang mana kelam
badai menguji seberapa besar cahaya hati
bila padam kegelapan menipu pandang
Semua puisi yang terhimpun dalam antologi ini adalah persaksiannya tentang kehidupan penuh luka yang terjadi di negeri ini. Sejumlah besar puisinya memang terasa menyimpan kegeraman dan kepedihan. Periksa juga, puisinya yang berjudul “Belajar dengan Bahasa Daun” berikut ini:
Mengapa menara yang kita dirikan
bila kaki terhimpit pilarnya
mengapa bukan bangun kincir
sehingga riak telaga jadi samudera
kita terlanjur suka gemerlap neon
sedang kabelnya
dibiarkan konslet di gudang
kita ciptakan dari hati yang kelam
belajarlah dengan bahasa daun
saat hening
bersahabat dengan angin
kerikil kerikil telaga
burung pun bernyanyi
embun senggayut di rerantingan
belajarlah dengan bahasa daun
bila gugur
terciptalah kehidupan baru
Puisi ini, selain memperlihatkan kekuatan metaforanya, juga berhasil membina citraan (image) yang kemudian melahirkan kesan asosiatif. belajarlah dengan bahasa daun/saat hening/bersahabat dengan angin/kerikil kerikil telaga/burung pun bernyanyi/embun senggayut di rerantingan// Sebuah penghadiran citraan suasana yang sangat kontras dengan suasana yang dimunculkan dalam bait sebelumnya. Penciptaan suasana dalam bait ini membawa kita pada kehidupan alam penuh damai. Di
***
Mengingat sebagian besar puisi dalam antologi ini merupakan representasi dari sebuah perlawanan atas sebuah rezim yang busuk, maka sesungguhnya, ia akan menjadi alat retorika yang andal jika puisi-puisi itu tak sekadar menjadi santapan di ruang baca atau dalam kamar tertutup. Ia akan menjadi sebuah gemuruh derap kuda dengan kepak sayap burung gagak, jika penyairnya sendiri –yang memang deklamator ulung—membacakannya dalam sebuah pentas. Bukankah pikiran dan perasaan pembaca (atau pendengar) akan terhegemoni oleh sang penyair jika penyair mempunyai kemampuan memanfaatkan bahasa sebagai alat retorika? Sesungguhnya, Asrizal Nur potensial memaksimalkan kekuatannya melakukan retorika. Bukankah setelah Rendra –si Burung Merak, Sutardji Calzoum Bachri –Sang Presiden Penyair—atau Hamid Jabbar (alm)—yang total mengabdi lewat puisi—masih sangat sedikit penyair yang coba memanfaatkan puisi sebagai alat retorika.
Jika Asrizal Nur menyadari kualitas dan kapasitasnya sebagai deklamator ulung, bukan tidak mungkin, derap kudanya –yang mencerminkan semangat dalam melakukan perlawanan—dan kepak sayap burung gagaknya –yang mencerminkan kualitas sebagai deklamator— akan memukau dan menyihir kita. Puisi jadinya bukan sekadar alat yang menggiring pembacanya melakukan perenungan, tetapi juga sebagai alat retorika yang dapat merusak sikap pendengarnya untuk tidak diam membisu, melainkan bergerak bersama dan ikut terlibat dalam meneriakkan yel-yel perlawanan. Maka, seperti yang digoreskan Wiji Thukul: “Hanya ada satu kata: Lawan!” puisi-puisi perlawanan Asrizal Nur potensial menjadi gelombang dahsyat yang akan terus menggelinding menjadi sebuah gerakan perlawanan terhadap tirani dan para penindas kemanusiaan. Kita tunggu saya derap kuda dan kepak sayap sang rajawali!
Semoga bangsa ini terbebas dari penjajahan bangsanya sendiri!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar