Selasa, 14 Oktober 2008

TENTANG PUISI EPIK

Maman S. Mahayana

Pembicaraan puisi epik biasanya selalu dikaitkan dengan kisah-kisah klasik peperangan dan kepahlawanan yang menakjubkan. Mengingat kisah-kisah itu terdiri dari serangkaian peristiwa dan sejumlah episode, maka bentuk puisi epik hampir selalu berupa puisi naratif yang panjang. Di dalam perkembangannya kemudian, panjang pendeknya puisi itu, bukanlah merupakan ukuran mutlak. Ia juga bukan merupakan ciri satu-satunya. Oleh karena itu, puisi naratif yang panjang itu, harus diikuti pula oleh ciri lainnya, baik yang menyangkut isi, maupun gaya atau style yang digunakan. Jadi, puisi naratif yang panjang, belum tentu dapat disebut puisi epik, jika di dalamnya kita tidak menjumpai peristiwa besar peperangan, kisah kepahlawanan, kehebatan tokoh-tokoh digdaya atau campur tangan makhluk supernatural.

Sekadar contoh, sebutlah puisi Priangan Si Jelita karya Ramadhan K.H. Ia adalah puisi naratif yang panjang. Di dalamnya, kita dibawa pada keindahan panorama alam pegunungan Priangan. Tetapi, adakah kita menjumpai peristiwa besar yang mengangkat kepahlawanan seseorang? Sebutlah Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Ia puisi naratif yang lebih panjang dari Priangan Si Jelita. Kita hanya menjumpai sosok tokoh Pariyem yang naif dan lugu. Tidak ada kedigdayaan yang menakjubkan dalam diri tokoh itu. Sebaliknya kita justru prihatin dan berduka pada nasib tokoh Pariyem. Itulah dua contoh puisi naratif yang tidak termasuk puisi epik. Lalu, apa yang dimaksud dengan puisi epik?
***

Kata epik berasal dari bahasa Latin, epicus dan dalam bahasa Yunani, epikos yang kemudian menurunkan kata epos. Dalam bahasa Indonesia, kata epik dan epos sering digunakan untuk pengertian yang sama, yaitu yang berkaitan dengan cerita kepahlawanan atau wiracarita. Padahal, epik merupakan kata sifat dari kata benda epos. Jadi, untuk mengacu pada sifatnya kita memakai epik, sedangkan untuk mengacu pada bendanya kita memakai epos. Hal yang sama terjadi dalam bahasa Inggris. Epos dimaknai sebagai puisi epik (epic poetry), sedangkan epik (epic) dimaknai sebagai puisi naratif yang panjang yang mengisahkan sebuah tradisi atau sejarah kepahlawanan yang ditempatkan dalam kedudukan yang tinggi. Dalam bahasa Perancis, maknanya lebih jelas. Epik (epique) dimaknai yang bersifat syair kepahlawanan atau bersifat kidung perwira. Jadi pengertian puisi epik berkaitan dengan kisah-kisah epos, seperti epos Mahabarata atau epos Ramayana.

Berdasarkan asal-usul cerita yang diangkatnya, puisi epik dibagi ke dalam dua jenis, yaitu epik primer dan epik sekunder. Yang pertama disebut epik tradisional, epik anonim, epik rakyat (folk epics) yang semuanya termasuk ke dalam sastra lisan. Yang kedua disebut epik seni (art epics) atau epik sastra (literary) yang termasuk ke dalam sastra tertulis. Yang membedakan keduanya, terletak pada siapa pengarangnya dan bagaimana cara penyebaran.

Epos Ramayana dan Mahabarata yang konon disusun Valmiki dan Vyasa, misalnya, keduanya dipercayai berasal dari sastra lisan, Pancatantra yang muncul sekitar abad ke-3. Siapa pengarangnya? Tidak ada yang tahu, karena Valmiki dan Vyasa hanya penyusunnya. Lalu, bagaimana pula penyebarannya? Dari mulut ke mulut. Jadi, pada mulanya keduanya berasal dari sastra lisan yang tidak diketahui pengarangnya. Bahwa kemudian kita menemukan banyak naskah (tertulis) Ramayana dan Mahabarata dalam khasanah sastra Melayu klasik, ia tetap termasuk jenis epik primer karena keanoniman pengarangnya dan cara penyebarannya yang dari mulut ke mulut.

Mengenai contoh puisi epik, hampir semua sumber Barat menyebut mahakarya Yunani klasik, seperti epos Iliad dan Odyssey yang mengisahkan kepahlawanan Achiles dan Odysseus. Iliad mengangkat peperangan Yunani dan Troya, dan Odyssey mengangkat pengembaraan Odysseus yang pulang ke tanah airnya, Ithaca, selepas perang Troya.

Di antara sumber Barat, hanya satu-dua yang menyebut Mahabarata sebagai contoh puisi epik. Sesungguhnya, dalam khasanah kesusastraan klasik Nusantara, terdapat begitu banyak epos seperti itu, di antaranya dapat disebutkan, Lutung Kasarung, Babad Sunda (Sunda), Babad Banten, Babad Cerbon (Jawa), Anak Dalom dan Si Dayang Rindu (Sumatra Selatan), Syair Perang Mengkasar (Palembang), Syair Perang Johor (Riau), Hikayat Muhammad Hanafiah (Melayu), dan niscaya banyak banyak lagi.

Dalam epik sekunder yang diperlakukan sebagai sastra tertulis, tema yang diangkat bersumber dari sastra tradisional, baik yang berasal dari mitologi, legenda, atau sejarah yang berkembang di masyarakat. Paradise Lost karya John Milton (1608--1674), misalnya, dianggap paling mewakili jenis puisi epik sekunder. Puisi ini mengangkat tema jatuhnya manusia, Adam dan Hawa, dari surga karena tergoda bujukan setan. Karya yang terdiri dari 12 bagian ini, tidak hanya menggambarkan kehidupan di surga, neraka, dan alam semesta, tetapi juga mengangkat pikiran-pikiran yang bernafaskan keagungan ilahiah.

Puisi panjang Javid Namah karya Mohammad Iqbal, sebenarnya juga termasuk ke dalam jenis puisi epik. Dalam karya itu, Iqbal menggambarkan pengembaraannya ke berbagai planet yang membawanya pada diskusi panjang dengan berbagai tokoh dunia.

Secara ringkas, dapat disebutkan ciri-ciri puisi epik sebagai berikut: (1) Tampilnya sosok pahlawan atau manusia digdaya yang mengagumkan. Kehebatannya masyhur, baik di lingkungan bangsanya, maupun di masyarakat dunia. (2) Latar yang diangkat meliputi wilayah yang luas atau bersifat universal yang berlaku di sembarang tempat. (3) Keberanian dan kehebatan tokoh yang digambarkan menjadi bagian penting dalam keseluruhan tema. (4) Adanya keterlibatan kekuatan supernatural. (5) Gaya (style) tinggi tidak dapat dipisahkan dari penyajian puisi bersangkutan. (6) Tindakan kepahlawanan yang digambarkan bersifat objektif.
***

Ciri-ciri tersebut di atas, tentu saja tidak harus semuanya ada dalam satu puisi epik. Sangat mungkin, ada satu-dua ciri yang tidak terdapat di dalamnya. Yang penting adalah bahwa puisi itu berupa puisi naratif panjang yang di dalamnya terkandung beberapa ciri sebagaimana yang disebutkan di atas.

Dengan pemahaman ciri-ciri yang seperti itu, kita dapat pula mengamati puisi-puisi Indonesia yang termasuk jenis puisi epik. Sungguhpun demikian, harus diakui, bahwa puisi epik dalam sastra Indonesia, boleh dikatakan terlalu sedikit dibandingkan dengan jenis puisi lainnya. Dari yang sedikit itu, Jante Arkidam karya Ajip Rosidi, agaknya dapat dijadikan contoh yang baik untuk jenis puisi epik. Puisi naratif yang terdiri dari 119 larik dari 40 bait itu, mengisahkan kedigdayaan dan kehebatan Jante Arkidam di dalam meloloskan diri dari kepungan mantri polisi. Meskipun tokoh itu bukan pahlawan, gambaran kesaktian tokoh itu, termasuk dalam ciri-ciri puisi epik.

Sebuah drama berjudul Prabu dan Puteri karya Mh. Rustandi Kartakusuma, sebenarnya juga termasuk ke dalam puisi epik. Naskah drama itu, ditulis dalam bentuk puisi naratif yang panjang yang mengisahkan kerajaan Pajajaran abad ke-15. Drama yang ditulis dalam bentuk puisi naratif yang panjang, juga pernah ditulis Rustam Efendi dalam dramanya, Bebasari yang menggambarkan perkelahian Rawana dengan Rama yang berusaha menyelamatkan Sita.
***

Pengenalan serba sedikit mengenai puisi epik ini, penting artinya bagi kita untuk membedakannya dengan puisi naratif yang lain. Sayang sekali, khasanah puisi Indonesia sangat kekurangan jenis puisi epik, padahal kisah-kisah kepahlawanan dan kehebatan tokoh-tokoh legenda kita, banyak bertebaran di hampir setiap daerah di Nusantara ini.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima Kasih atas penjelasan tentanf puisi epiknya....

sebenarnya saya baru tahu kalau ada puisi jenis ini....

terima asih sekali lagi